Malangnya Yuni, Layanan BPJS PBI Diputus saat Jadi Korban Kebakaran

Medan, IDN Times - Sri Wahyuni tak kuasa menahan air matanya saat kembali bercerita soal kebakaran yang menimpa kedai makan miliknya di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara pada pertengahan Februari 2025 lalu. Sesekali dia masih melihat luka bakar yang membekas di tangan kanannya. Bekas itu masih terlihat jelas.
Kebakaran itu berujung pada tujuh orang korban. Dua di antaranya meninggal dunia dalam perawatan medis. Salah satu korban adalah Azwar (44) yang merupakan suami Sri Wahyuni. Satu korban lainnya yang meinggal dunia yakni, Suci Aulia Putri (18). Azwar meninggal dunia dalam perawatan di Rumah Sakit Bina Kasih, Kota Medan. Suci juga
Bak jatuh tertimpa tangga, kesedihan perempuan 43 tahun itu belum usai. Dia harus menanggung beban tagihan perawatan di Rumah Sakit, lebih kurang Rp160 juta. Bukan tanpa sebab, Sri harus menanggung tagihan itu. Di saat perawatan, pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diduga memutus layanannya. Padahal Yuni merupakan peserta BPJS Kesehatan dengan kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah.
Tidak hanya Yuni dan suaminya, pemutusan layanan BPJS itu juga dirasakan para korban lainnya. Jika ditotal, mereka harus menunggak biaya perawatan sekitar Rp260 juta pada sejumlah rumah sakit.
1. Pemutusan layanan BPJS dilakukan saat para korban tengah dirawat

Setelah kebakaran, Yuni, Azwar dan lima korbannya dilarikan ke rumah sakit. Lantaran luka bakar yang diderita cukup parah. Almarhum Azwar, misalnya yang menderita luka bakar lebih dari 90 persen.
Mulanya mereka dirawat di Rumah Sakit Umum Sidikalang, Kabupaten Dairi. Di sana mereka mendapatkan perawatan kesehatan dengan layanan BPJS Kesehatan. Kemudian, Suci dan Azwar dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik (HAM) Kota Medan. Setelah dari RSUP HAM, mereka kembali dirujuk ke RS Bina Kasih. Azwar kemudian dijadwalkan menjalani operasi pada Senin (17/2/2025).
Saat itu mereka masih mendapatkan perawatan dengan layanan BPJS Kesehatan. Pemutusan layanan itu terjadi setelah pihak BPJS yang ada RSUP HAM menanyai korban Suci yang dirujuk belakangan.
Kata Yuni, Suci ditanyai soal kronologi. Kemudian pihak keluarga menyebut, jika Suci merupakan pekerja di warung makan itu. “Mungkin ada juga pertanyaan perawatnya tadi menggiring. Supaya, ada mengatakan, misalnya, kerja dan digaji, gitu kan. Pertanyaannya, apakah dia kerja,” kata Yuni ditemui di kantor Perwakilan Ombudsman RI Sumatra Utara, Rabu (14/5/2025).
Tak lama kemudian, layanan yang semula BPJS Kesehatan berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Yuni yang juga tengah menjalani perawatan intensif terkejut. Dia mendapat informasi perubahan status itu saat perawat dari RSUP HAM memberitahu kepada pihak RS Bina Kasih bahwa mereka dalam tanggungan layanan BPJS Ketenagakerjaan.
2. Jenazah suami sempat tertahan 15 jam di rumah sakit karena biaya perawatan menunggak

Usai perubahan status itu, pelayanan rumah sakit, kata Yuni, menjadi berubah. Mereka dilayani dengan status pasien umum. Di tengah rasa sakit karena luka bakar, Yuni harus menghadapi beberapa orang diduga perawat RS Bina Kasih yang menyebut mereka merupakan pasien umum.
Supaya masih mendapatkan perawatan, Yuni dan keluarganya keudian mengusahakan deposit tersebut. Menunggu uang untuk deposit terkumpul, Suami Yuni diduga mendapatkan perawatan kurang baik. Perban yang membalut luka bakar Azwar juga diduga tidak diganti.
Tangisan Yuni kembali pecah saat menceritakan itu. Karena, saat itu, kabar pemutusan layanan BPJS Kesehatan membuat kondisi Yuni dan Azwar semakin menurun. Azwar yang semula diraawat di ruagan perawatan intensif (ICU) juga dipindahkan.
“Obat yang awalnya diberikan, saya ingat saat itu juga dikurangi,” kata Yuni.
Setelah membayarkan deposit, barulah Yuni dan Azwar kembali dilayani. Namun, kondisi Azwar kian kritis. Hingga Azwar dinyatakan meninggal dunia pada 26 Februari 2025.
Duka Yuni belum usai. Jenazah suaminya harus tertahan di RS Bina Kasih. Lantaran, mereka menunggak biaya perawatan sekitar Rp160 juta. “Detailnya kami tidak tahu. Karena tidak diperlihatkan kepada kami,” katanya.
Untuk memulangkan jenazah itu, manajemen rumah sakit meminta agunan yang setara. Semula, Yuni sepakat untuk menjaminkan sertifikat tanah milik keluarganya. Namun batal karena sertifikat itu masih bersengketa waris.
Yuni yang kebingungan kemudian menghubungi teman sekolahnya Suka Edah Angkat. Hingga akhirnya, Suka Edah menjaminkan sertifikat tanah miliknya. Jenazah Azwar pun dipulangkan ke rumah duka setelah sekitar 15 jam tertahan. Sementara, sampai saat ini sertifikat tanah itu masih tertahan di rumah sakit karena Yuni belum bisa membayar tunggakan itu. Selang beberapa hari kepergian Azwar, giliran Suci yang juga meninggal dunia dengan luka bakar cukup parah.
Sampai sekarang Yuni juga bingung, kenapa pihak BPJS Kesehatan memutus sepihak layanan dan mengalihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Karena usaha miliknya tergolong dalam kategori sangat kecil. Hanya warung makan yang baru dirintisnya selama tiga bulan terakhir. Omzetnya juga sekitar Rp300 ribu per hari.
Di tengah kebingungannya, Yuni melapor ke Ombudsman. Dia melaporkan dugaan malaadministrasi yang dilakukan pihak BPJS Kesehatan. Yuni berharap, kasus itu bisa selesai. Saat ini Yuni dan beberapa rekannya tengah melakukan penggalangan dana untuk membayar tunggakan perawatan kesehatan para korban.
3. Ombudsman sebut BPJS Kesehatan lakukan malaadministrasi

Kasus yang menimpa Yuni ditindaklanjuti Ombudsman. Mereka memeriksa sejumlah pihak. Mulai dari pihak rumah sakit hingga BPJS Kesehatan. Dari hasil pemeriksaan itu, Ombudsman menyimpulkan jika BPJS Kesehatan melakukan malaadministrasi. Mereka juga menyebut penahanan sertifikat sebagai jaminan adalah tindakan yang tidak patut.
Ombuudsman juga sudah memberikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada BPJS. Salah satu poin LHP itu, Ombudsman meminta agar pihak BPJS Kesehatan membayarkan tagihan perawatan rumah sakit para korban kebakaran.
"Kami memberikan catatan agar ada perbaikan. Kami menemukan ada malaadministrasi di BPJS Kesehatan. Mereka kami nilai tidak memiliki standar operasional prosedur dalam melakukan analisis dan penetapan, apakah pasien ini ditangani BPJS Kesehatan atau jaminan sosial lainnya. Jadi hanya serta merta saja mereka membuat keputusan. Dari informasi awal yang mereka terima. Semestinya mereka meminta keterangan lebih lengkap dari keluarga, kemudian baru membuat keputusan. Selama keputusan itu belum dibuat, Undang - undang mengamanatkan agar BPJS Kesehatan tetap memberikan jaminan Kesehatan kepada keluarga korban,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumatra Utara Herdensi Adnin.
Densi –sapaan akrabnya—juga menyoroti penilaian BPJS Kesehatan terhadap usaha warung makan milik Yuni. Karena, menurut Densi, usaha itu tergolong masih sangat kecil.
“kalau menurut kamikan (Ombudsman) masih kategori usaha ultra-mikro atau usaha sangat kecil sekali. Itu seperti yang sudah dijelaskan tadi oleh istri almahrum pak Azwar. Nah, yang itu sebenarnya tidak ada kewajiban mendaftarkan mendaftarkan usahanya ke BPJS ketenagakerjaan, sifatnyakan masih sukarela. Kenapa? Karena omzet dan perputaran uangnya masih sangat kecil kalau kemudian dia harus membayar BPJS sesuai dengan usaha yang mereka miliki, ya bisa jadi kemudian usahanya-keuntungannya itu hanya untuk membayar BPJS saja. Padahal tujuan mereka membuat usaha ini sebagai cara supaya ada sumber pemasukan yang bisa menopag kehidupan mereka,” katanya.
Sementara itu, sampai saat ini pihak BPJS Kesehatan belum memberikan konfirmasi. Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah I Mohammad Iqbal Anas Ma'ruf yang dikonfirmasi IDN Times belum memberikan jawaban.