Mafia Tanah Marak, BAKUMSU Desak Kejati Sumut Usut Kasus Makam Mewah

- Warga Rambung Baru kehilangan 75 hektar lahan pertanian
- Kejanggalan di lapangan: putusan MA inkracht, tapi warga masih berjuang
- BAKUMSU: Ini kejahatan korporasi, bukan sekadar sengketa
Medan, IDN Times – Langkah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menahan sejumlah pejabat tinggi dalam kasus dugaan korupsi pertanahan mulai terlihat. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) mengingatkan agar penegakan hukum tak berhenti pada kasus-kasus yang viral saja.
Pada 14 Oktober 2025, Kejati Sumut menahan mantan Kepala Kanwil ATR/BPN Sumut periode 2022–2024 dan Kepala Kantor Pertanahan Deli Serdang periode 2023–2025 dalam kasus dugaan korupsi pengalihan lahan. Beberapa hari kemudian, 20 Oktober 2025, giliran Direktur anak usaha PTPN I ditahan terkait dugaan korupsi kerja sama operasi (KSO) dengan Ciputra Land.
Meski langkah itu diapresiasi, BAKUMSU menegaskan, pemberantasan mafia tanah harus dilakukan secara menyeluruh dan tanpa tebang pilih. “Jika ingin sungguh-sungguh membongkar mafia tanah, maka kasus yang menimpa masyarakat Desa Rambung Baru dan Bingkawan juga harus segera diusut tuntas,” ujar Tommy Sinambela, Staf Studi dan Advokasi BAKUMSUdalam keterangan resminya.
1. Warga Rambung Baru kehilangan 75 hektar lahan pertanian

Kasus di Desa Rambung Baru dan Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, menjadi contoh nyata dugaan persekongkolan antara pemodal, aparat desa, dan oknum BPN. Sekitar 75 hektar lahan pertanian produktif milik warga diduga diserobot oleh PT Nirvana Memorial Nusantara, perusahaan pengembang pemakaman mewah.
Modusnya terbilang sistematis. PT Nirvana menggunakan 63 Akta Jual Beli (AJB) sebagai dasar penerbitan 63 Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama perusahaan. Namun, warga menemukan kejanggalan besar dalam dokumen tersebut.
Banyak nama penjual dalam AJB yang tidak dikenal warga, bahkan bukan penduduk Desa Rambung Baru atau Bingkawan. Lebih parah lagi, terdapat satu AJB atas nama penjual yang telah meninggal dunia sebelum dokumen itu ditandatangani. Fakta ini bahkan sudah terungkap dalam persidangan di PN Lubuk Pakam tahun 2021, memperkuat dugaan adanya pemalsuan dokumen dan praktik mafia tanah.
Tak hanya itu, sertifikat HGB PT Nirvana diterbitkan untuk lahan yang secara administratif berada di Desa Bingkawan, namun pembangunan justru dilakukan di Desa Rambung Baru. Ketidaksesuaian ini menunjukkan adanya kekacauan administratif sekaligus indikasi pelanggaran pidana.
2. Kejanggalan di lapangan: putusan MA inkracht, tapi warga masih berjuang

Meski perkara ini telah memiliki putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), persoalan di lapangan belum selesai. Saat proses konstatering (penetapan batas objek perkara) dilakukan, warga bersama perangkat desa justru menolak.
Pada 21 Juli 2025, Kepala Desa Rambung Baru, Piman Tarigan, bersama warga turun langsung menolak konstatering karena menilai objek yang diklaim sebagai Desa Bingkawan sebenarnya masih wilayah Desa Rambung Baru.
Upaya warga mempertahankan tanah mereka juga telah menempuh jalur hukum dan pelaporan ke berbagai lembaga. Sejak 2022, BAKUMSU bersama masyarakat Rambung Baru telah melaporkan kasus ini ke Satgas Anti Mafia Tanah, Bareskrim Polri, DPR RI, POLDA Sumut, BPN Sumut, hingga Kejati Sumut.
Bahkan, pada 28 Agustus 2025, warga menyampaikan langsung laporan mereka kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat kunjungannya ke Sibolangit.
3. BAKUMSU: Ini kejahatan korporasi, bukan sekadar sengketa

Dari hasil penyelidikan lapangan Kejati Sumut pada 9 Agustus 2022, disebutkan bahwa objek lahan memang berada di Desa Rambung Baru, bukan Bingkawan. Namun, temuan itu justru membuat Kejati berkesimpulan bahwa perkara ini bukan pidana, melainkan perdata.
Sikap itu membuat warga kecewa. Mereka menilai penegak hukum belum serius mengusut keterlibatan korporasi dan oknum pejabat dalam praktik pengalihan tanah rakyat.
“Praktik mafia tanah seperti di Rambung Baru adalah bentuk kejahatan korporasi yang merusak tatanan hukum agraria dan melanggar hak asasi manusia,” kata Tommy.
Tommy menegaskan, Kejaksaan, Polri, dan Kementerian ATR/BPN sebagai bagian dari Satgas Anti Mafia Tanah harus berani membongkar jaringan besar yang bermain di balik kasus tersebut.
“Jangan tebang pilih terhadap kejahatan korporasi, harus diungkap dan dibongkar agar publik tahu siapa bermain di dalamnya,” pungkasnya.