LBH Medan: Putusan 10 Bulan Sertu Riza Lebih Ringan dari Maling Ayam

Medan, IDN Times - Rasa kecewa dan tangis pecah di ruang sidang Peradilan Militer I/02 Medan, Senin (20/10/2025). Lenny Damanik, ibu dari almarhum Mikael Histon Sitanggang (15), tak kuasa menahan air mata ketika majelis hakim membacakan putusan terhadap terdakwa Sertu Riza Pahlivi.
Prajurit TNI itu divonis 10 bulan penjara dalam kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian anaknya. Untuk diketahui, Mikael, meninggal dunia seteah menjalani perawatan di rumah sakit pada Sabtu (25/52024) dinihari.
Pada hari sebelumnya, Mikael disiksa Riza yang merupakan Babinsa. Saat itu Mikael nahas. Niatnya hanya melihat tawuran, malah menjadi korban utama. Polisi, Babinsa dan lainnya membubarkan tawuran antar kelompok pemuda di kawasan Jalan Pelikat, Kecamatan Tegal Sari Mandala II, Kota Medan.
Hukuman 10 bulan penjara ini sontak memicu sorotan publik dan kritik keras dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, yang menjadi kuasa hukum keluarga korban. Direktur LBH Medan, Irvan Saputra, menyebut putusan tersebut sebagai sejarah buruk penegakan hukum dan matinya keadilan di peradilan militer.
“Putusan yang sangat ringan terhadap terdakwa telah melukai rasa keadilan korban dan menyalahi aturan hukum serta HAM. Ini menjadi sejarah buruk penegakan hukum dan matinya keadilan di peradilan militer,” tegas Irvan.
1. Vonis 10 bulan penjara picu tangis dan protes keluarga korban

Majelis hakim yang diketuai Letkol Ziky Suryadi dalam perkara Nomor 67-K/PM.I-02/AD/VI/2025 menyatakan Sertu Riza Pahlivi secara sah dan meyakinkan bersalah karena kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Vonis ini membuat keluarga korban terkejut. Dalam ruang sidang, Lenny Damanik menangis sambil memprotes keras keputusan majelis. Keluarga menilai putusan itu penuh kejanggalan. Salah satunya, pertimbangan hakim yang menyebut tidak ditemukan luka pada tubuh korban. Padahal, menurut saksi Det Malem Haloho, MIKAEL sempat mengeluhkan sakit luar biasa di bagian perut hingga tidak bisa duduk dan terus muntah sebelum meninggal dunia.
Saksi lain, Ismail Syahputra Tampubolon, juga menyatakan melihat langsung korban diserang hingga jatuh di sela rel lokasi kejadian. Bahkan, saksi Naura Panjaitan sebelumnya juga sempat memberi keterangan adanya pemukulan terhadap korban, namun Naura meninggal dunia sebelum dapat bersaksi di persidangan.
2. Vonis tidak mencerminkan rasa keadilan terhadap korban

Dalam pandangan LBH Medan, kejanggalan kasus ini sudah tampak sejak awal. Sertu Riza Pahlivi bahkan tidak ditahan meski kasusnya menyebabkan kematian anak di bawah umur.
Irvan Saputra menilai, lembaga peradilan militer seolah kehilangan arah dalam menegakkan keadilan. Menurutnya, Oditur Militer yang seharusnya memperjuangkan hak korban justru menuntut terdakwa hanya 1 tahun penjara, jauh dari ancaman maksimal yang diatur undang-undang.
“Tuntutan Oditur yang hanya satu tahun penjara, dan putusan hakim yang malah lebih ringan lagi, memperparah hancurnya keadilan. Ini bahkan lebih ringan dari putusan maling ayam,” tegas Irvan.
Padahal, Pasal 76C jo Pasal 80 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan jelas mengatur ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara bagi pelaku kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian.
Bagi LBH Medan, tindakan Sertu Riza bukan sekadar kealpaan, tapi pelanggaran serius terhadap UUD 1945, KUHP, UU HAM, hingga konvensi internasional seperti ICCPR dan CRC tentang Hak Anak.
3. Desakan reformasi peradilan militer dan upaya banding

Merespons putusan yang dinilai tidak adil, LBH Medan bersama keluarga korban menyatakan akan menempuh upaya hukum banding. Mereka juga berencana melaporkan majelis hakim ke Mahkamah Agung karena diduga terdapat kejanggalan dalam putusan tersebut.
LBH Medan menegaskan, kasus Mikael menjadi bukti bahwa sistem peradilan militer masih menyimpan banyak persoalan, terutama dalam hal akuntabilitas dan transparansi.
“Putusan ini menggambarkan betapa sulitnya mencari keadilan di peradilan militer. Oleh karena itu, LBH Medan mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi peradilan militer agar tidak lagi menjadi tempat matinya keadilan,” ujar Irvan.
Irvan menambahkan, tragedi yang menimpa Mikael seharusnya menjadi momentum pembenahan menyeluruh di tubuh peradilan militer. Ia berharap agar suara keluarga korban tidak diabaikan, karena keadilan bagi Mikael juga menjadi ujian bagi kemanusiaan dan supremasi hukum di Indonesia.