Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Larangan Impor Pakaian Bekas Diperketat, Pedagang di Medan Cemas

WhatsApp Image 2025-10-31 at 12.44.24 PM.jpeg
Suasana pasar pakaian bekas di Kota Medan. (dok: IDN Times)

Medan, IDN Times - Rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk memperketat larangan impor pakaian bekas menuai penolakan dari para pedagang di Pasar Sambu, Medan. Mereka khawatir kebijakan itu justru mematikan mata pencaharian ribuan pelaku UMKM yang menggantungkan hidup pada jual beli pakaian bekas atau Monza.

Kementerian Keuangan tengah menyiapkan aturan baru untuk memperkuat Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Beleid itu disebut akan memuat sanksi tegas, mulai dari denda hingga pencabutan izin usaha bagi pelaku yang melanggar. Namun bagi para pedagang kecil, kebijakan tersebut justru bikin ketar ketir.

1. Pedagang nilai pakaian bekas jadi alternatif

WhatsApp Image 2025-10-31 at 12.43.50 PM.jpeg
Suasana pasar pakaian bekas di Kota Medan. (dok: IDN Times)

Noni (42), seorang pedagang sepatu bekas, mengaku kebijakan pelarangan impor justru salah sasaran. Menurutnya, yang mematikan UMKM bukanlah pakaian bekas, melainkan produk impor baru dari China yang jauh lebih murah dan berkualitas. Pakaian bekas di Medan dikenal dengan sebutan monza.

“Yang mematikan UMKM itu produk impor baru dari China, harganya murah. Monza itu alternatif rakyat kecil,” ujar Noni, Jumat (31/10/2025).

Ia menambahkan, seharusnya pemerintah menata perdagangan pakaian bekas seperti di negara maju, bukan langsung melarang. “Kalau bisa dilegalkan dan ditata. Di negara maju saja ditata, bukan dilarang,” ujarnya.

Bagi para pedagang, Monza bukan sekadar barang bekas, tapi sumber penghidupan. Larangan impor tanpa solusi justru bisa menggusur ekonomi rakyat kecil.

2. Jika dilarang, pedagang minta solusi dari pemerintah

ilustrasi pakaian bekas (unsplash.com/Lucas Hoang)
ilustrasi pakaian bekas (unsplash.com/Lucas Hoang)

Nada serupa disampaikan Tiurma br. Nainggolan (76), pedagang pakaian bekas yang sudah berjualan sejak 1980-an. Selama lebih dari empat dekade, lapaknya menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Ia khawatir jika pemerintah menutup akses impor pakaian bekas tanpa memberi alternatif.

“Kalau memang harus ditutup, kasih solusinya. Kami nurut saja asalkan bisa makan,” katanya lirih.

Bagi Tiurma, kebijakan itu bukan sekadar soal pasar, melainkan soal kelangsungan hidup. Ia berharap pemerintah mendengar suara rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari barang-barang bekas kiriman luar negeri.

3. Konsumen dan ekonom ingatkan dampak sosial

Salah satu lapak pakaian bekas di Pasar Sentral Timika, Papua Tengah. (IDN Times/Endy Langobelen)
Salah satu lapak pakaian bekas di Pasar Sentral Timika, Papua Tengah. (IDN Times/Endy Langobelen)

Penolakan tak hanya datang dari pedagang, tapi juga dari konsumen. Uli Artha br. Siregar (45) mengaku masih bergantung pada produk thrift karena harganya jauh lebih terjangkau dibanding pakaian baru di mal.

“Harga di mal ratusan ribu, kualitasnya banyak yang KW. Di thrift masih bisa cari yang bagus dan murah,” katanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Gunawan Benjamin menilai bahwa rencana pemerintah memang memiliki orientasi positif—yakni melindungi industri tekstil dalam negeri. Namun, kebijakan tersebut harus dijalankan secara gradual dan terukur agar tidak menimbulkan gejolak sosial.

“Larangan impor memang dapat memperkuat industri tekstil domestik, tetapi secara bersamaan berisiko meningkatkan pengangguran dan menekan daya beli masyarakat,” jelas Gunawan.

Menurutnya, perdagangan pakaian bekas sudah menjadi bagian dari ekonomi informal di berbagai daerah, termasuk Medan.

“Kebijakan seperti ini perlu diimplementasikan secara gradual dan disertai dengan mekanisme transisi yang jelas agar tidak menimbulkan gejolak sosial-ekonomi, khususnya di wilayah yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap perdagangan pakaian bekas,” ujarnya.

Gunawan juga mengingatkan pentingnya memilih waktu yang tepat sebelum kebijakan diberlakukan. “Kebijakan yang secara substansial baik pun dapat menimbulkan resistensi jika diterapkan pada waktu yang tidak tepat. Idealnya, pemerintah menunggu hingga kapasitas produksi industri tekstil domestik mampu memenuhi kebutuhan pasar nasional,” tambahnya.

Share
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Yuk Cobain Sensasi Nonton dengan Layar Super Lebar di Cinepolis Sun Plaza Medan

01 Nov 2025, 05:00 WIBNews