Konflik Warga Vs PT TPL Kembali Memanas, Sejumlah Orang Jadi Korban

Toba, IDN Times - Konflik agraria yang melibatkan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali memanas. Perusahaan penghasil pulp itu diduga melakukan penggusuran terhadap Masyarakat Adat Natinggir di Desa Simare, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Kamis (7/8/2025).
Dugaan penggusuran itu juga terekam di media sosial. Sejumlah akun mengungkap dugaan aksi kekerasan yang dilakukan sejumlah orang terhadap masyarakat. Dari kubu masyrakat adat, menuding para terduga pelaku penggusuran dan kekerasan itu merupakan karyawan PT TPL.
Konflik agraria antara PT TPL dengan masyarakat sudah berlangsung sejak lama. Bahkan konflik ini sudah banyak memakan korban dari kedua kubu.
Aksi ini mendapat kecaman keras dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Menurut mereka, penggusuran ini bukan kali pertama terjadi, dan bahkan disertai kekerasan fisik yang melukai warga, termasuk anak-anak.
1. Penggusuran dilakukan sejak pagi, warga alami kekerasan

Dalam laporan KSPPM, penggusuran dilakukan sejak pukul 08.00 WIB, ratusan karyawan dan petugas keamanan PT TPL masuk ke wilayah adat Natinggir. Mereka disebut berupaya menanami lahan pertanian warga dengan pohon eukaliptus.
“Masyarakat yang mencoba menghentikan aksi tersebut mendapat kekerasan. Satu orang terluka di bagian leher, dan rumah-rumah warga dilempari batu meski anak-anak masih berada di dalam. Empat staf KSPPM yang mendampingi warga juga menjadi sasaran,” ujar Direktur KSPPM dalam keterangan tertulis kepada IDN Times, Sabtu (9/8/2025).
1. KPA dan KSPPM sebut PT TPL monopoli tanah puluhan tahun, memakan banyak korban

Menurut data KPA dan KSPPM, PT TPL telah memonopoli lahan seluas 291.263 hektare selama lebih dari empat dekade. Dari total itu, 33.422,37 hektare adalah tanah adat milik 23 komunitas Masyarakat Adat di 12 kabupaten.
Dalam kurun waktu tersebut, 470 warga menjadi korban: dua meninggal, 208 mengalami penganiayaan, dan 260 dikriminalisasi. Bahkan, ada tudingan praktik “perbudakan modern” terhadap pekerja.
“Penggusuran ini menambah daftar panjang pelanggaran PT TPL terhadap konstitusi agraria. Operasinya ilegal dan merugikan masyarakat adat,” ujarnya.
Di sisi lain, Sumatera Utara merupakan salah satu episentrum konflik agraria di Indonesia akibat klaim HGU dan HTI oleh perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik negara. Kurun 1 dekade terakhir, Provinsi Sumatera Utara menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan konflik agraria tertinggi, setidaknya 275 letusan konflik agraria, di seluas 655.285,69 hektar, yang berdampak pada 227.239 rumah tangga (Catahu KPA 2015-2024).
KPA dan KSPPM mendesak PT TPL menghentikan seluruh operasi yang dianggap ilegal, serta menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat adat, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka juga meminta Kapolres Toba mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum, Kementerian Kehutanan mencabut izin HTI PT TPL, dan pemerintah pusat segera menjalankan reforma agraria untuk menyelesaikan konflik.
3. PT TPL sebut ada sejumlah korban dari kubu mereka

Kepala Humas PT TPL Salomo Tobing menyebut jika ada sekelompok orang yang mengadang tim TPL yang tengah melakukan pekerjaaan rutin. Tim dan kelompok tersebut terlibat perdebatan. Dalam keterangan resmi TPL tidak tertulis langsung soal dugaan kekerasan. Namun pihak TPL hanya menyebut ada korban dari pihak mereka.
Salomo dalam keterangan itu juga membantah keterangan KSPPM soal klaim masyarakat adat.
“Perusahaan menegaskan bahwa kejadian ini adalah murni tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang tak dikenal yang telah mengakibatkan jatuhnya korban dan tidak terkait dengan masyarakat adat. Perusahaan menjunjung tinggi dan menghormati masyarakat adat di seluruh wilayah operasionalnya,” tulis Salomo dalam keterangan tertulisnya.