Kisah Apriyanti Marpaung, Guru Kristen di Madrasah Tapanuli Utara

Medan, IDN Times - Di balik kebahagian dan harapan dalam kelulusan CPNS Kementerian Agama terselip kisah Inspiratif guru yang penuh keteladanan dan kedamaian di tengah perbedaan. Hari pertama Apriyanti melangkahkan kaki sebagai CPNS di MTsN Tapanuli Utara, beberapa pasang mata menatap saya dengan rasa heran.
Bukan karena Apriyanti baru penempatan di Madrasah, tapi karena identitas Apriyanti seorang guru Kristen yang mengajar di madrasah Kementerian Agama.
Apriyanti Br Marpaung adalah seorang putri dari Sahala Marpaung dan Harinta Br Purba, yang merupakan anak keempat dari empat bersaudara yang lahir di Rantau Perapat dengan beragama Kristen.
1. Membuka hati Apriyanti tentang arti moderasi beragama yang sesungguhnya

Dia dididik dari keluarga yang sederhana dengan menempuh pendidikan di kampung halaman dengan sebuah kesederhanaan, hingga melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Negeri medan, dengan perjuangan dan dorangan dari orang tua, akhirnya Aprinyanti dapat Lulus Sebagai CPNS tahun 2025 akan tetapi penempatan Apriyanti di MTsN Tapanuli Utara,
Pertanyaan pun kemudian timbul dengan kalimat, “Lho, kok guru Kristen ngajar di madrasah?”
Namun, itu tidak mengusik Apriyanti. Bahkan justru, menjadi titik awal perjalanan yang membuka hati Apriyanti tentang arti moderasi beragama yang sesungguhnya.
Setiap hari, Apriyanti belajar hal baru. Apriyanti melihat bagaimana para siswa dan rekan guru menjalankan nilai-nilai Islam dengan penuh ketulusan. Apriyanti belajar memahami budaya, tradisi, dan kegiatan keagamaan mereka, bukan sebagai sesuatu yang membatasi, tetapi sebagai pengetahuan yang memperkaya.
“Yang membuat hati saya terharu, mereka pun menerima saya apa adanya mereka menghargai keyakinan saya, cara saya beribadah, dan setiap langkah yang saya ambil sebagai seorang pendidik,” ungkapnya.
2. Apriyanti mengajar pelajaran matematika

Di madrasah ini, perbedaan tidak menjadi dinding atau menjadi jembatan tempat mereka saling menyapa, saling mendengar, dan saling menguatkan.
Apriyanti semakin yakin bahwa, moderasi beragama bukanlah sekadar teori yang hanya dibahas dalam seminar atau modul pelatihan. Moderasi adalah sikap.
Dia hadir dalam cara menyapa, dalam bagaimana memahami orang lain, dan dalam keberanian untuk bekerja sama meskipun berbeda keyakinan.
Mengajar matematika di lingkungan madrasah membuat Apriyanti melihat bahwa keberagaman itu bukan sesuatu yang harus ditakuti. Justru keberagamanlah yang membuat kita tumbuh. Membuat kita lebih terbuka. Membuat kita menyadari bahwa di balik label agama yang berbeda, kita tetap manusia yang sama-sama ingin dihargai dan menghargai.
3. Perbedaan bukan alasan untuk menjauh tapi alasan untuk semakin mendekat, belajar, dan mengasihi

Apriyanti bangga menjadi bagian dari perjalanan ini. Bangga berdiri di madrasah, mengajar dengan hati, dan menunjukkan bahwa perbedaan bukan alasan untuk menjauh tapi alasan untuk semakin mendekat, belajar, dan mengasihi.
Karena pada akhirnya, damai itu lahir ketika kita berani menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman. Dan saya menemukan kedamaian itu di tempat yang mungkin tidak semua orang sangka, sebuah madrasah yang menjadi rumah bagi harmoni di tengah keberagaman.


















