Kejati Tahan Sekdakab dan Anggota DPRK Aceh Jaya atas Dugaan Korupsi

- Sekdakab dan anggota DPRK Aceh Jaya ditahan atas dugaan korupsi dana Peremajaan Sawit Rakyat.
- Penyidik memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan tiga tersangka sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
- Kasus dugaan penyimpangan dana Program Peremajaan Kebun Kelapa Sawit Rakyat mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp38,4 miliar.
Banda Aceh, IDN Times - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menahan tiga pejabat Kabupaten Aceh Jaya atas dugaan korupsi dana Peremajaan Sawit Rakyat pada Rabu (13/8/2025). Sebelumnya Tim Penyidik Kejati Aceh periksa tiga pejabat tersebut.
“Pada hari ini, Rabu, tanggal 13 Agustus 2025, telah melakukan penahanan terhadap tersangka oleh Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Aceh, Muhammad Ali Akbar.
1. Sekdakab, eks kadis, dan anggota DPRK Aceh Jaya

Ali Akbar mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat di Kabupaten Aceh Jaya yang bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Koperasi Pertanian Sama Mangat/Koperasi Produsen Sama Mangat Tahun Anggaran 2019-2023.
Tiga tersangka dalam kasus tersebut, yakni masing-masing berinisial S selaku Ketua Koperasi Pertanian Sama Mangat/Koperasi Produsen Sama Mangat Kabupaten Aceh Jaya (KPSM) yang kini Anggota DPRK Aceh Jaya periode 2024-2029.
Kemudian TM, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Jaya tahun 2017-2020, dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pertanian Kab Aceh Jaya Januari 2023-2024.
Selanjutnya TR, mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Jaya pada Maret 2021-2023, dan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Aceh Jaya.
2. Ditahan 20 hari di Rutan Kelas II B Banda Aceh

Ali Akbar menyampaikan penyidik telah memperoleh bukti permulaan yang cukup dari para tersangka sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam perkara tindak pidana korupsi dugaan penyimpangan Program Peremajaan Sawit Rakyat di Kabupaten Aceh Jaya.
Hal itu berdasarkan hasil pemeriksaan saksi-saksi, ahli, dan surat serta barang bukti berupa dokumen terkait dengan tindak pidana korupsi dugaan penyimpangan program tersebut. Diperoleh bukti permulaan yang cukup guna menentukan S, TM dan TR sebagai tersangka.
Mereka bertiga diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Subsidair Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya, kata Ali Akbar, penetapan tersangka tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada minimal dua alat bukti sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014 dan Pasal 184 KUHAP.
“Yang pada intinya menjelaskan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan minimal dua alat bukti,” ujar Ali Akbar.
“Selanjutnya Pasal 1 angka 14 KUHAP menyebutkan bahwa tersangka salah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana,” imbuhnya.
Kejaksaan akan menahan tiga tersangka di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Banda Aceh di Kabupaten Aceh Besar, dalam jangka waktu 20 hari terhitung sejak 13 Agustus sampai 1 September 2025. Penahanan diperpanjang hingga 40 hari bila pemeriksaan belum selesai.
3. Sekilas kasus yang menjerat tiga pejabat Kabupaten Aceh Jaya

Kasus dugaan penyimpangan dana Program Peremajaan Kebun Kelapa Sawit Rakyat (PSR) bermula saat S selaku Ketua KPSM Kabupaten Aceh Jaya mengusulkan proposal permohonan dana bantuan kepada dinas pertanian daerah setempat.
Jumlah pekebun dalam proposal tersebut ada 599 dengan lahan seluas 1.536,7 hektare untuk tahap 1,2,3 dan 4. Selanjutnya, Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Jaya melakukan verifikasi teknis dan administrasi.
Hasilnya, dinas terkait menerbitkan rekomendasi teknis (Rekomtek) terhadap proposal PSR KPSM dan meneruskan secara berjenjang kepada Dinas Perkebunan Aceh, Kementerian Pertanian RI dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Selanjutnya pihak BPDPKS menyalurkan Dana PSR sesuai dengan perjanjian kerja sama tiga pihak yakni BPDPKS, pihak bank dan koperasi. Dana PSR tersebut disalurkan ke rekening pekebun Escrow dan masuk ke rekening KPSM sebesar Rp38.427.950.000.
Belakangan diketahui bahwa KPSM lahan yang bukan milik pekebun melainkan kepunyaan eks PT TIGA MITRA yang berada dalam kawasan hak pengelolaan lahan (HPL) Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia.
Hal itu berdasarkan database Kementerian Transmigrasi RI. Lahan tersebut pun masih menjadi kewenangan Kementerian Transmigrasi.
Bahkan, tidak ditemukan adanya tanaman sawit masyarakat di lahan yang diusulkan KPSM sebagaimana hasil citra satelit multitemporal akuisisi tahun 2018, 2019, 2020, 2021, 2022, 2023 dan 2024.
“Lahan milik eks PT Tiga Mitra dengan kondisi hutan dan semak-semak,” kata Ali Akbar.
4. Kerugian keuangan mencapai Rp 38,4 miliar

Tindakan tersebut, kata Ali Akbar, mengakibatkan pengelolaan dana PSR tidak sesuai syarat dan negara tidak mendapatkan haknya terhadap penyaluran anggaran berupa realisasi program peremajaan atau pengganti kelapa sawit.
“Sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara atau Lost of Money Country sejumlah 38.427.950.000 rupiah sebagaimana Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara (PKKN) Inspektorat Aceh,” ungkap Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Aceh.
“Juga telah dilakukan penyitaan dan pengembalian sejumlah uang dalam perkara ini dengan jumlah sebesar 17.015.264.677 rupiah yang disita dari koperasi dan pihak ketiga,” imbuhnya.