Dukung Sumut Hijau 2026, PETAI Mulai Geber REDD+ dan NEK

Medan, IDN Times – Skema “Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) atau pengurangan emisi gas rumah kaca yang disebabkan deforestasi tengah populer. Langkah ini dinilai efektif menekan angka deforestasi yang terjadi pada hutan.
Di Sumatra Utara Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI) mulai menggeber implementasi REDD+ dan dan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). PETAI mendukung upaya Pemerintah Provinsi Sumut dalam ambisi nasional menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 43,20 persen pada 2030 mendatang.
Sebagai langkah awal, PETAI menggelar workshop bersama berbagai pemangku kepentingan pada 16-17 Januari 2025 di Kota Medan.
REDD+ sendiri merupakan program global yang dirancang untuk menekan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan, terutama di kawasan negara berkembang. Inisiatif ini tidak hanya menitikberatkan pada pelestarian hutan, tetapi juga meliputi pengelolaan hutan yang berkelanjutan, peningkatan cadangan karbon dalam hutan, serta kegiatan penghijauan.
Sementara itu NEK merupakan konsep yang memberikan nilai finansial pada karbon yang tersimpan di dalam hutan atau yang emisinya berhasil dihindari. Dalam konteks REDD+, nilai ekonomi karbon dihitung berdasarkan berapa banyak emisi yang bisa dicegah dengan menjaga hutan.
1. Mendukung upaya Sumut Hijau 2026

Direktur Eksekutif PETAI, Masrizal Saraan mengatakan, pelaksanaan program ini menjadi menjadi bagian dari komitmen Provinsi Sumatera Utara untuk berkontribusi dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan target sebesar 4,86 juta ton CO2 ekuivalen. Sejalan dengan gagasan “Sumut Hijau” tahun 2026, sekaligus mendukung pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
“Workshop ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai konsep, mekanisme, serta manfaat REDD+ dan NEK dalam upaya pengurangan emisi GRK,” kata Masrizal dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/1/2025).
Dari kegiatan ini, sambung Masrizal, mereka bisa mendukung membangun kapasitas teknis bagi pelaksanaan program penurunan emisi berbasis hutan dan lahan, mendorong dialog strategis antar pemangku kepentingan, serta mengidentifikasi peluang kolaborasi dalam penyusunan arsitektur REDD+ yang terintegrasi dan berkelanjutan di Sumatera Utara.
2. Mendorong pemanfaatan hutan yang berkelanjutan agar REDD+ bisa diimplementasikan

Masrizal juga mengatakan, proyek Results-Based Payment (RBP) Green Climate Fund (GCF) REDD+ dilaksanakan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari melalui peningkatan tata kelola hutan. Proyek ini bisa berkontribusi untuk menekan laju deforestasi dan degradasi serta meningkatkan cadangan karbon di Sumatera Utara.
“Kita ingin endorong pemanfaatan hutan yang berkelanjutan melalui peningkatan akses dan manfaat yang adil dari hutan dan jasa ekosistem serta memperkuat kebijakan, peraturan dan kapasitas kelembagaan dalam rangka implementasi REDD+ dan pemenuhan target NDC,” katanya.
RBP merupakan mekanisme pembayaran berbasis hasil yang diterapkan dalam program REDD+. Sementara Green Climate Fund adalah sumber pendanaan utama untuk program REDD+ berbasis hasil. GCF didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendukung negara-negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim, termasuk mendanai aksi mitigasi seperti REDD+.
3. Sumut punya potensi besar dalam penyimpanan karbon

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumut Yuliani Siregar menyampaikan, dengan luas hutan yang signifikan dan keanekaragaman hayati yang tinggi, Sumut memiliki potensi besar dalam penyimpanan karbon.
Sumut juga memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya nasional mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Implementasi program REDD+ dan NEK di Sumatera Utara akan memberikan nilai ekonomi pada upaya-upaya pengelolaan hutan, sehingga masyarakat lokal dan pemangku kepentingan terkait lainnya semakin termotivasi untuk melestarikan hutan,” pungkasnya.