Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Diplomasi Iklim Indonesia di COP30 Brasil, Realitas Adat Dipersoalkan

Muhammad Sani saat melihat puncak pohon Ara yang menjulang tinggi di Hutan Lubuk Lanjut, Pulau Rempang, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Muhammad Sani saat melihat puncak pohon Ara yang menjulang tinggi di Hutan Lubuk Lanjut, Pulau Rempang, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Belem, IDN Times - Utusan Khusus Presiden RI untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo menegaskan komitmen Indonesia untuk memperkuat aksi iklim nasional dalam Konferensi Para Pihak (COP30) di Belem, Brasil, Kamis (6/11/2025) lalu.

Namun, di dalam negeri, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) mengingatkan agar komitmen tersebut tidak sekadar menjadi angka politis atau alat diplomasi internasional.

Dalam pidatonya mewakili Presiden Prabowo Subianto, Hashim menyatakan Indonesia datang ke COP30 dengan pesan yang jelas: memperkuat komitmen iklim dan mendorong aksi nyata yang inklusif serta ambisius.

“Kami tetap berkomitmen untuk memperkuat komitmen iklim nasional kami dan siap bekerja sama dengan semua negara untuk mewujudkan aksi iklim yang nyata, inklusif, dan ambisius,” kata Hashim di hadapan para kepala negara dan pemerintahan dunia.

Ia menegaskan, Indonesia akan tetap mematuhi “Paris Agreement” dengan target mencapai emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat. Pemerintah juga menargetkan pertumbuhan ekonomi hijau sebesar 8 persen secara berkelanjutan, serta peningkatan porsi energi terbarukan hingga 23 persen pada 2030.

Hashim menambahkan, Indonesia telah menyiapkan langkah konkret seperti pengesahan Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2024 tentang Pengubahan Sampah menjadi Energi dan Perpres No. 110 Tahun 2024 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Kedua kebijakan itu menjadi instrumen pembiayaan dekarbonisasi nasional.

Selain itu, Indonesia juga akan berpartisipasi dalam Fasilitas Hutan Tropis Selamanya (Tropical Forest Forever Facility/TFFF) Brasil senilai 125 miliar dollar AS.

“Indonesia akan berkontribusi sebesar 1 miliar dollar AS, sama seperti Brasil,” kata Hashim.

Ia menegaskan, pemerintah berkomitmen melindungi 17 persen cadangan karbon biru dunia yang dimiliki Indonesia serta mempercepat pengakuan 1,4 juta hektar hutan adat dalam empat tahun ke depan.

1. Target pengakuan hutan adat dinilai belum menjawab akar masalah

Foto 1.jpg
Masyarakat Adat Papua Awyu berkumpul dalam upacara pemasangan salib di kampung Kowo, Boven Digoel, Papua Selatan (Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace)

Pernyataan pemerintah mengenai alokasi 1,4 juta hektar hutan adat dalam empat tahun ke depan menuai tanggapan dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai target tersebut tidak akan berarti tanpa penghentian praktik perampasan tanah adat yang terus terjadi di berbagai wilayah.

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), Torry Kuswardono menilai, pemerintah perlu terlebih dahulu menghentikan proyek-proyek besar yang mencaplok tanah adat.

“Percuma mengakui 1,4 juta hektar hutan adat, tetapi proyek-proyek raksasa mencaplok tanah ulayat yang jauh lebih luas ketimbang angka itu,” kata Torry, Senin (10/11/2025).

Torry menyebut, proyek-proyek besar seperti food estate, hutan energi, dan proyek karbon sering menjadi dalih perampasan ruang hidup masyarakat adat. Salah satunya terjadi di Merauke, Papua Selatan, di mana proyek food estate yang dibungkus sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) menggusur hutan adat suku Yei dan Malind Anim. Di Halmahera Timur, Maluku Utara, warga Maba Sangaji yang menolak tambang bahkan dikriminalisasi. 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) juga menyoroti fenomena tersebut. Mereka menegaskan, pengakuan hutan adat harus berbasis pada keadilan iklim dan hak masyarakat, bukan sebagai simbol pencapaian diplomasi lingkungan. Sebagai jaringan masyarakat sipil yang memperjuangkan tata kelola iklim berbasis hak dan demokratis, JustCOP menekankan pentingnya menempatkan komunitas terdampak sebagai aktor utama perubahan.

2. Konflik wilayah adat dan kawasan konservasi

Foto 4.jpg
Alat-alat berat menghancurkan hutan adat yang selama ini didiami Suku Yei. Proyek PSN Food Estate di Merauke, Papua Selatan, menghancurkan hutan adat, merusak tanaman tradisional, menghilangkan lahan pangan bahkan wilayah sakral marga Kwipalo (Dok. PUSAKA)

Sementara itu, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kasmita Widodo mengingatkan, tumpang tindih antara wilayah adat dan kawasan konservasi menjadi penghambat utama pengakuan hukum terhadap masyarakat adat. 

“Kondisi tersebut memicu beberapa pemerintah daerah jadi tidak percaya diri mengakui wilayah adat,” kata Kasmita. 

Ia mencontohkan kasus Colol di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, di mana wilayah perkebunan kopi rakyat tumpang-tindih dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam Ruteng seluas lebih dari 32.000 hektar. Konflik ini bahkan pernah menewaskan enam petani pada peristiwa “Rabu Berdarah” 2004.

Kasmita menilai perlunya koordinasi lintas institusi, termasuk pertemuan tingkat eselon I di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, guna mempercepat proses rekognisi wilayah adat.

3. Desakan pengesahan RUU Masyarakat Adat

Seruan penolakan PSN Eco City oleh masyarakat Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Seruan penolakan PSN Eco City oleh masyarakat Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bidang Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi Terre menilai target pemerintah seluas 1,4 juta hektar masih jauh dari kebutuhan aktual. Ia menyebut terdapat 33 juta hektar wilayah adat yang telah teregistrasi dalam sistem BRWA.

“Pemerintah perlu membangun sistem kerja terpadu lintas kementerian dan daerah, serta mengubah regulasi yang selama ini menghambat pengakuan Masyarakat Adat,” kata Cahyadi.

Ia mendesak pemerintah segera menyelesaikan konflik-konflik perampasan lahan adat yang masih berlangsung, seperti di Merauke, Boven Digoel, dan Mappi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante turut mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan masyarakat adat sebagai alat diplomasi dalam forum internasional.

“Di sisi lain, pengetahuan Masyarakat Adat tidak diakui selagi hutan mereka terus digunduli untuk kepentingan bisnis,” ungkapnya.

Franky menegaskan, pemerintah mesti mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk mengakhiri rezim pengakuan bersyarat yang menghambat perlindungan hak asasi manusia dan sumber-sumber kehidupan masyarakat adat.

Share
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Demo Tutup TPL, Ketika Para Pemuka Agama Ikut Gelombang Protes

10 Nov 2025, 21:54 WIBNews