Cerita Mantan Pekerja Seks Perempuan yang Kini Mengedukasi HIV/AIDS

Medan, IDN Times - Risa (bukan nama sebenarnya), merupakan salah satu Pekerja Seks Perempuan (PSP) atau Wanita Pekerja Seks (WPS) sejak tahun 1998 di salah satu lokalisasi di Sumatra Utara. Kini ia memilih untuk beralih menjadi Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang berperan mengedukasi penyakit HIV/AIDS, di salah satu Yayasan yang bergerak dalam bidang HIV/AIDS untuk wilayah Simalungun dan sekitarnya, Provinsi Sumatra Utara.
IDN Times berkesempatan untuk bertemu dengannya untuk mengetahui perjalanan hidupnya. Risa menceritakan perjalanan hidupnya selama puluhan tahun bertahan hidup, dengan bekerja sebagai pemuas seks lelaki hidung belang untuk mendapatkan pundi-pundi uang. Namun, kini ia telah berpaling. Ketika itu, kondisi Risa saat ditemui sedang hamil tua. Tapi, tidak menjadi masalah baginya untuk tetap bekerja menjadi KDS.
Berikut cerita haru Risa yang dapat menjadi inspirasi bagi para khalayak akan kesadaran serta pentingnya kesehatan.
1. Berawal saat teman menggoda untuk dapat mencari uang secara mudah

Awalnya, ia ini mengakui bahwa terjun dalam dunia hitam sejak dirinya sudah berstatus janda. Sebelumnya, ia berdagang di Pasar Pagi menjual sayur-sayuran yang disebutnya “rengge-rengge”.
“Sebenarnya, awalnya aku sudah berstatus janda. Tapi aku dulu jualan di Pasar Pagi di Siantar, jualan "Rengge-Rengge". Rengge-Rengge itu kayak jualan, tomat, cabai dan sebagai macamnya,” ucapnya yang saat itu berstatus janda pada tahun 1998.
Risa menikah tahun 1995, di usianya yang 21 tahun, dia telah memiliki seorang anak dari suami pertama. Kini ia telah menikah untuk ketiga kalinya.
“Awalnya emang diajak sama kawan-kawan jualan (diri) terus dandan. Mereka bilang 'Ah, nanti taunya kau itu, udah belajar lah kau ikut-ikut kami'. Namanya si lugu tadi, akhirnya ngikutlah. Di situ lah belajar mulai ngerokok, minum tuak, mereka duduk sama laki-laki ngikut juga gabung. Lama-lama ada menjelang satu tahun akhirnya tergiurlah karena ada uang yang ditawarkan si hidung belang tadi,” katanya.
Ketertarikan Risa dalam lembah hitam diakuinya berawal pada faktor ekonomi. Dia kemudian tergiur masuk ke dunia prostitusi.
“Pengaruh juga kan karena kehidupan orang susah. Tergiur, akhirnya lama-lama gak risih lagi. Kalau dulu awalnya kan ngomong aja risih. Ternyata setelah diikuti kayak, 'oh, ternyata seperti ini pekerjaan dunia malam'. Jadi karena aku gak mau seperti itu aja dan gak tahan kalau jualan sayur harus bangun pagi jam 3 atau 4 pagi harus bangun untuk jualan, mau tak mau ikutlah (ke lokalisasi)," ucapnya.
Saat itu, usianya berkisar 26 atau 27 tahun, meski masih meraba untuk terbiasa dan belajar untuk membiasakan diri yang didasari pada faktor ekonomi.
Beberapa tahun kemudian, dia merasa sudah stabil kondisi ekonominya, kemudian mencoba untuk membuka satu barak (tempat tinggal menetap di lokalisasi). Untuk pertama kalinya Risa mendapatkan duit sebanyak Rp75 ribu, tahun 1998.
“Dia membayar jasa ku dan tidak lebih dari 15 menit sebanyak Rp75 ribu. Karena aku tertariknya dulu jam setengah 3 atau jam 3 sudah harus jualan (di pasar). Selesai jam 6 pagi, itu aku hanya pegang uang Rp40 ribu. Jadi di situ aku tertarik karena rupiah itu kan. Punya anak kecil juga. Dan dulu ya aku juga tulang punggung juga sama orangtua bahkan adek ku dulu kuliah juga ada dua orang dan aku juga yang kuliahkan,” jelasnya.
Masa itu, pengeluaran yang harus ditutupinya mencapai Rp40 ribu setiap hari. Maka, dia harus memutar otak agar bisa memenuhi kebutuhannya.
“Tapikan belum seperti sekarang sih, Rp100 ribu juga kita bawa plastik kresek belum tentu juga penuh plastiknya (berbelanja). Makanya dulu itu berharga kali,” jelasnya.
Risa kemudian melepaskan pekerjaannya berdagang di pasar dengan godaan teman, untuk ikut yang berhasil diiming-imingkan. Nantinya akan mudah mendapatkan uang.
“Setelah itu saya lepas lah pekerjaan di pajak (pasar). Terus diajak sama kawan. Dia bilang kalau mau lebih enak lagi, ayok. Nah di situlah aku dijual Rp150 ribu saat itu. Kenapa bahasanya dijual? Karena dia bilang mau antar, tapi dia terima uang dari ownerku dulu yang sekarang sudah almarhum,” jelasnya.
2. Sempat ingin keluar dari tempat tersebut namun tersangkut utang

Setelah 2 bulan berjalan, Risa ingin kembali pulang. Namun, sayangnya kondisi menyulitkannya. Sebab, ia tersangkut pada utang temannya yang membawa ke lokalisasi tersebut.
“Begitu aku dua bulan disini, saat aku minta pengin pulang itu tidak dikasih karena masih ada utang karena temenku yang antar itu dengan catatan Rp50 ribu untuk ongkos dan Rp100 ribu untuk makan. Dan ternyata sampailah setahun. Setelah dikumpulkan uangnya tidak mencukupi. Apalagi dengan kondisi anakku yang masih kecil dan masih butuh susu, adekku dua orang masih kuliah. Belum lagi mamakku sering sakit-sakitan sampai berobat ke Penang. Jadi si 150 ribu tadi tidak terbayar. Akhirnya terjeremuslah mulai aku masuk ke alkohol. Karena kalau gak alkohol terkadang risih juga sama si hidung belang ini,” lanjutnya.
Kemudian tempat ini rutin untuk memberikan antibiotik dengan cara suntik seminggu sekali. Ia dikenakan tarif Rp10 ribu. Hal ini untuk menghindarkan dari penyakit seks.
“Setelah beberapa tahun barulah disini namanya suntik antibiotik. Setiap minggu kami diwajibkan untuk suntik antibiotik. Dan itu berbayar 10 ribu. Yang menyarankan untuk suntik itu ya orang-orang yang berwenang disini dan yang menyuntikkan itu bidan,” katanya.
“Dulu tempatnya itu pas di palang depan sana. Dan semuanya diwajibkan untuk suntik sekali seminggu di hari Senin atau Selasa. Dari situlah aku belajar kenapa sih harus seperti ini? Kenapa kalau saya gak mau, kenapa harus dipaksa? Di sini harus diwajibkan, kalau kamu gak mau silahkan angkat kaki," katanya.
Menurutnya itu seperti sebuah ancaman. Akhirnya mau tak mau, harus suntik.
"Tetapi setelah kudalami ternyata mereka mau membantu kami juga. Karena untuk pencegahan HIV dan IMS. Ternyata barulah ku sadari ternyata ini untuk kesehatan kami, karena setiap malam atau setiap harinya bergonta ganti pasangan. Di situ aku baru dapat pengalaman,” tuturnya.
3. Pernah melayani 17 pria dalam semalam

Risa awalnya dalam enam bulan hanya melayani satu orang saja. Bahkan dalam semalam, Risa pernah melayani 17 orang berganti dalam semalam.
“Kalau dulu awalnya sih selama setengah tahun aku gak mau ngelayani lebih dari satu orang. Kalau ini hari dia datang, kalau seminggu lagi gak datang hanya tinggal tunggu dia. Karena belum biasa. Setelah satu tahun full, aku lihat kawan-kawanku. Kenapa mereka bisa ya? Gimana caranya ya? Akhirnya belajar," katanya.
"Setelah belajar, kita sudah mengerti dan terkontaminasi dengan lingkungan. Setelah setahun itu, mulailah naik. Ada pasienku dua orang, kulayani lah. Datang lah tiga orang ku layani juga. Bahkan ada pernah dalam satu hari pernah aku melayani 17 hidung belang. Satu orang 50 ribu dan bayar kamar 10 ribu. Itupun uangnya harus bayar untuk sekolah dan ke rumah sakit juga,” bebernya.
Dia menyebutkan bahwa dirinya anak ke-8 dari 11 bersaudara. Namun karena beberapa empat saudaranya meninggal, kini terhitung anak ke 3 dari 7 bersaudara. Profesinya menjadi alasan untuk dapat membantu keluarga.
Risa terpaksa harus melayani 17 orang dalam semalam karena harus membantu anak, orangtuanya, dan seorang adik yang sedang sakit pada saat itu.
“Sebenarnya biasa sih cuma pada saat itu lagi butuh-butuhnya sembari buat anak, adik dan juga mamak karena pada saat itu terkena tumor ganas sampe 3 kali operasi dan terakhir ke Penang, dilaser. Jadi, di saat itu ga pedulikan lagi badanku udah gi mana sebenarnya padahal kalau di pikir-pikir 3 kali melayani itu cukup sakit rasanya, tapi karena tergiur si duit tadi jadi ya mau gak mau,” katanya.
Risa juga sempat tergiur untuk memakai susuk untuk memikat perhatian pria. Hal itu karena melihat teman-temannya memakainya sehingga bisa mendapat banyak pelanggan.
“Hampir tergiur sih tapi karena keyakinan ku rezeki selalu ada, jadi aku gak mau pakai itu. Setelah itu, selesai adikku sudah tamat kuliah bahkan sudah menikah, di situlah aku mulai berproses untuk meninggalkan. Bagaimana sih caranya agar temen-temen juga sadar akan kesehatan nya, karena ada beberapa temanku yang sudah meninggal terkena AIDS,” ungkapnya.
4. Kini memilih untuk menjadi seorang KDS

Di sela-sela pembicaraan, ia menjelaskan ketertarikannya untuk mengetahui tentang Infeksi Menular Seksual atau IMS saat ada pertemuan di Pematangsiantar.
“Oh, ternyata seperti ini. Nah, di situ lah aku membuka pikiran dulu. Begitu pikiran terbuka pengalaman ada sedikit. Biarpun gak terlalu matang. Singkat cerita di tahun 2018 ada KDS yang berdiri,” katanya.
Risa bersyukur bahwa dirinya hingga sampai saat ini masih didiagnosa nonrelatif atau negatif dari virus HIV. “Sampai sejauh ini saya insya Allah non reaktif, artinya negatif. Karena aku dulu begitu sadar akan kesehatan," katanya.
Dari beberapa tahun yang lalu, dia mengaku sempat membandel untuk memulai menggunakan wajib kondom. "Di situlah aku sadar, maka dulunya beberapa tamu ku ada yang sadar bahkan kutawarkan pun tetap minta kondom. Meskipun gak semuanya," jelasnya.
Terkait dorongan diri terjun menjadi seorang KDS, Risa menjelaskan bahwa berdasarkan pengalamannya sendiri, dan menilai bahwa kesehatan merupakan hal yang sangat penting. Meskipun, awalnya Risa mengakui tidak pernah ingin mengetahui tentang hal HIV/AIDS.
“Kenapa akhirnya aku tertarik, karena dulunya aku begitu bandel tapi setelah mengetahui ternyata benar-benar untuk kesehatan, itu lah aku tertariknya ini untuk mengayomi teman-teman agar lebih mandiri akan kesehatannya. Jadi, kalau kami besoknya gak ada (meninggal), bagaimana tunas yang akan datang, kan kasihan,” sebutnya.
Dia mencontohkan sudah ada beberapa ibu yang dinyatakan positif HIV. Akhirnya anaknya yang tidak tahu apa-apa harus sudah konsumsi vitamin dari kecil sampai meninggal.
“Kita tidak mau seperti itu, kalau ibunya sehat ya ke depannya untuk dia sendiri, itulah kenapa aku terdorong untuk mendorong mereka supaya sadar dan mandiri akan kesehatannya. Jangan hanya uang, tapi sehat lebih mahal dari pada uang, kalau dulu pribadi uang lebih mahal dari pada sehat,” jelasnya.
“Tapi setelah tahu, ternyata seperti ini walaupun belum terlalu matang di bidang ini ternyata ada panggilan di KDS ini karena menjumpai pekerja seks perempuan ini tidak mudah awalnya. Tapi untungnya pekerja seks perempuan yang ada di wilayah sini mudah-mudahan mereka nyaman dengan kami, karena harapan kami mereka harus bisa mandiri ke depannya karena tidak seterusnya bisa kami dampingi mereka intinya tertariknya untuk kesehatan,” kata Risa.
5. Diharapkan pekerja seks dapat lebih peduli dengan kesehatan mereka dan anaknya

Satu kalimat untuk para pekerja seks perempuan dan harapan Risa kepada mereka adalah untuk menjaga anaknya. Untuk itu harus peduli pada kesehatan dirinya sendiri dengan sering periksa.
"Harapanku dari pengalaman. Suatu saat kalau gak ada kami paling tidak mereka sudah mandiri untuk memeriksakan kesehatannya. Kalau lagi ada perekrutan seperti ini, bahasanya mengurangi kebodohan-kebodohan," jelasnya.
Hal pertama menurutnya adalah mereka bisa peduli dengan apa itu HIV/AIDS, dan penyebarannya. Sehingga, menjadi bekal untuk kesehatan serta bergabung dalam organisasi yang mewadahi dibudang tersebut.
Yang kedua, peduli pada anaknya bagaimana tumbuh kembang besar anak agar tidak mengikuti jejak orangtuanya.
"Jangan sampai anak itu terlantar gak sekolah dan buta huruf. Kalau bisa juga KB lah, jangan sampai nanti kedepannya jika punya anak akan terlantar dan terdampak karena korban perilaku. Harapanku ada lah yang menjamah dan peduli kasih terhadap anak-anak disini supaya pencatatan Dukcapil dibantu supaya anak-anak itu bisa sekolah," tambah Risa.
Dia juga meminta agar pemerintah turut andil menggalakkan program KB (Keluarga Berencana) di lokasi-lokasi tertentu. Selain itu agar peduli terhadap anak-anak mereka.
Untuk diketahui, PL adalah seseorang yang berperan untuk melakukan proses rujukan test HIV dan pendampingan ODHIV dalam mengakses ARV.
"Harapanku kepada masyarakat yang memandang PSP sangat buruk, kotor dan najis, supaya ada penyuluhan dan inisiatif yang sebenarnya mereka juga gak mau seperti ini. Jadi jangan terlalu dipandang jelek, sampah bahkan ada diskriminasi harapanku seperti itu. Karena kalau kita tutup kita gak sanggup ngasih mereka makan," jelasnya.