Bupati Armia Fahmi Ceritakan Detik-detik Banjir Menenggelamkan Aceh Tamiang

Medan, IDN Times - Kejadian bencana alam yang terjadi pada 26 November 2025, salah satunya di wilayah Aceh Tamiang. Kejadian ini terjadi dengan debit air tertinggi sejak 6 tahun terakhir. Akibatnya, masyarakat kehilangan semuanya mulai dari rumah, peralatan, barang-barang hingga orang tersayang dan terkasih.
Kejadian yang menimpa warga Aceh tidak hanya kehilangan, tapi juga menjadi kondisi wilayah terparah di Provinsi Aceh.
IDN Times berkesempatan wawancara langsung dengan Bupati Aceh Tamiang, Armia Fahmi. Berikut rangkuman ceritanya saat detik-detik awal Banjir melanda Aceh Tamiang.
1. Bupati Aceh Tamiang berupaya menyelamatkan warganya dengan menyusuri sungai menggunakan boat

Bupati Aceh Tamiang, Armia Fahmi mengatakan saat bencana terjadi dirinya ada di kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), tepatnya di posko inti, Tanah Terban, wilayah Aceh Tamiang.
"Di sana saya membahas tentang perubahan status dari status biasa, menjadi status tanggap darurat. Karena kita ketahui bahwa, dengan melihat perkiraan cuaca ini pasti terjadi banjir Aceh Tamiang," katanya pada Pimpinan Redaksi IDN Times, Uni Lubis pada Sabtu (27/12/2025).
Diketahui, Bupati Aceh Tamiang merupakan purnawirawan Polri yang memiliki jabatan terakhir Analis Kebijakan Utama Bidang Sosial Budaya Kapolri. Pria yang lahir pada 12 Oktober 1966. Dia adalah Bupati Aceh Tamiang periode 2025—2030.
Armia, lulusan Akpol 1990 ini berpengalaman dalam bidang SDM. Jabatan terakhir jenderal bintang dua ini adalah Staf Ahli Sosial Budaya Kapolri. Selain itu juga beliau merupakan putra daerah Aceh yang berasal dari Aceh Tamiang.
Pada tanggal 25 November 2025 telah terjadi hujan deras di beberapa provinsi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Hujan deras membuat sungai di Kabupaten Aceh Tamiang meluap.
"Curah hujan pada saat itu sangat tinggi sekali, seperti tidak ada jedanya. Sehingga, saya melihat fenomena ini kok begini? Kan biasa hujan itu kan, kencang ada jedanya. Ini enggak terus hujan," tambah pria 59 tahun ini.
Menurutnya, saat itu air semakin naik. Dia berinisiatif untuk melakukan rapat sampai pukul 02.00 WIB dini hari bersama Wakil Bupati Aceh Tamiang, Ismail SEI, pihak BPBD Aceh Tamiang, serta Kadis terkait lainnya.
"Ketika saya keluar dari ruangan rapat, saya ke pendopo dan saya lihat air sudah naik semakin tinggi. Jadi, ketika air hampir sepinggang orang dewasa, saya lihat ada satu kafe di sana dan saya singgah di situ," tutur Armia.
Namun, ketika ia naik ke lantai 2 di kafe tersebut, ternyata yang terjadi sudah ada 56 orang mengungsi di lokasi itu. Dirinya pun ikut bermalam di situ.
"Pada esok harinya saya turun, karena air masih sepinggang. Mobil sudah terendam, kami turun untuk melihat situasi di sekitar lokasi Terban ini. Saya jalan kaki sampai ke GOR Aceh Tamiang," ucapnya yang saat itu juga telah melihat 2.000 orang serta ternaknya mengungsi dilokasi GOR.
Di lokasi ia bertemu dengan penjual telur. Pada saat itu, penjual telur ingin ke Aceh Timur untuk menjual telur tersebut. Namun, Armia berpikir tidak akan mungkin bisa ke lokasi dengan kondisi banjir, sehingga memutuskan untuk membeli telur tersebut dan membagikannya kepada masyarakat yang ada di dalam GOR.
Dalam ingatannya, banjir tersebut masih terlihat dengan air jernih karena air hujan. Saat debit air semakin tinggi, ia kembali turun jalan kaki ke arah kota.
"Di depan DPRD (sebelah kantor Bupati) airnya cukup kencang, ada juga pengungsi. Gak mungkin kami lanjut, takut terbawa arus," ucapnya.
Akhirnya, dia dan rombongan balik ke kantor BPBD dengan menaiki alat yang sudah disediakan untuk mengarungi arus banjir. Mereka melanjutkan rapat.
"Saat itu, saya pakai kaos, jaket dan celana jins, saya sempat beli sarung sebagai pengganti celana, kemudian ditawarkan pengungsi untuk memakai pakaian mereka karena terlihat basah," ungkap Bupati Aceh Tamiang saat berada di pengungsian selama dua hari.
Dia berpikir, jika debit air juga tidak surut dalam seminggu maka Aceh Tamiang dalam keadaan bahaya. Ditambah listrik pada saat itu sudah padam.
"Gak bisa berkomunikasi, kita hubungi posko pas (saat) ada patroli gitu, untuk meminta tolong berkumpul disini," katanya.
Kondisi pada saat itu juga masyarakat kelaparan. "Saya lihat ada mobil truk bantuan dari ibu Gubernur Aceh, itu lah kita bagikan ke masyarakat di sana," terangnya dalam menceritakan kondisi tersebut.
Meskipun dalam kondisi banjir bandang di Aceh Tamiang, Armia berpikir harus menerobos untuk melakukan sesuatu dengan resiko yang dialami.
"Ternyata kami masuk kampung dalam, kami dihantam air kencang terpukul kami ke satu rumah. Akhirnya, alat susur yang kami gunakan pecah terkena seng. Kami balik ke base, mencoba lagi untuk rencanakan hari Sabtu. Ternyata kami lanjut dengan mengganti mesin boat, melalui jalur belakang namanya Desa Air Tengah kita langsung tembus ke sungai," ucapnya.
Tak diduga oleh Armia, ternyata suasana banjir di sungai tersebut airnya kencang dan ada balok kayu besar. Pihaknya memutuskan untuk belok ke arah perkebunan sawit, sesampainya ia melihat ada seorang meminta tolong di pucuk pohon sawit.
"Saya tanya sudah berapa hari disitu, sudah 3 hari katanya. Dia hanya bawa satu botol air yang berisi setengahnya air sungai yang warnanya coklat," sebut Armia.
Menurutnya, air sungai ini datang dari hulu yang awalnya banjir dengan air jernih kemudian berubah warna coklat dengan lumpur. Di sini, Armia melihat satu boat di dalam ada anggota DPRD untuk menitipkan orang tersebut kepadanya. Masih dalam susurannya, dia menemukan seorang yang sedang berenang pakai kayu.
"Dia bilang saya terdampar disatu pohon disitu, sehingga kita bantu lagi nolong itu kami berhentikan ke jembatan. Tapi, jembatan tidak bisa kami lewati. Akhirnya, orang yang kami tolong kami letak di jembatan dan kami lanjut masuk di kolong jembatan dan pas di situ mogok boatnya," dalam cerita Armia.
Dia bersama 4 orang lainnya yang ikut menyusuri banjir terus berupaya untuk melanjutkan penyusuran mereka, melintasi Sungai Tamiang.
"Untungnya, gak ada pula kayu yang lewat di situ, kalau gak kami juga terhantam di situ, kami lanjut juga lewat kantor Damkar. Kemudian kami ke pendopo rumah Dinas Bupati," lanjutnya.
2. Saat menyelamatkan warga, dua hari tak bertemu keluarganya

Tiba di Rumah Dinas, dia melihat keluarganya sudah mengungsi di kantor Satpol PP lantai 2. Tinggal satu anak tangga lagi, menurutnya air sudah masuk ke dalam.
"Di situ kami tercengang, pada Jumat sore itu saya sampaikan kepada istri untuk ke desa mencari sinyal nanti jemput saya di sini, kita bicara disana. Saya juga memberikan motivasi dan membesarkan hati istri karena dia takut. Dia juga menanyakan apakah kita mengungsi, saya bilang kita tetap di sini saja," jelasnya.
Setelah dua hari, Armia baru ketemu dengan keluarganya usai menyusuri lokasi disekitaran Aceh Tamiang. Hingga sampai saat ini, Armia dan keluarganya tetap bertahan di kantor Satpol PP.
Kemudian, dia diminta untuk rapat dan melaporkan kondisi Aceh Tamiang kepada Pemerintah Provinsi Aceh.
"Saya laporkan bahwa Aceh Tamiang dari 12 Kecamatan semua terdampak banjir bandang. Dua kecamatan bisa kami pantau dan 10 kecamatan terisolasi," sebutnya.
Dari 12 Kecamatan terdapat 310.000 jiwa semuanya terdampak banjir bandang. Sehingga, ia memohon untuk mendapatkan bantuan.
"Jam 10 pagi saya laporkan, baru lah jam 4 sore turunlah helikopter dari BNPB membawa 65 paket. Saya sampaikan kepada BNPB bahwa ini tidak cukup, mereka bilang besok datang lagi," ujarnya.
Bantuan tersebut berisi beras 5 kg, se-kotak mie instan, minyak goreng dan gula. Setelah dari itu, menurutnya bantuan kemudian datang lagi. "Alhamdulillah, sampai hari ini sudah banyak," sebut Armia.
Sementara itu, putra asli Aceh Tamiang ini juga merasakan kesedihan ketika mengetahui anaknya melapor ke posko BNPB untuk memastikan kondisi orangtuanya. Sebab, menurutnya pada saat itu sinyal padam sehingga tidak bisa menggunakan komunikasi dengan anaknya.
"Pada saat BNPB datang, saya bilang ke mereka tolong bilang ke anak saya kalau saya sehat-sehat saja nanti kalau ada sinyal segera dikabari. Sedih lah buk, tapi yang namanya pimpinan tidak menyerah saya akan tetap di sini bersama 310 ribu jiwa haru saya selamatkan," terangnya.
3. Laporan penjarahan warga ke minimarket karena kelaparan, Armia membiarkannya

Dia juga sempat menerima laporan tentang adanya penjarahan, Armia hanya menjawab untuk membiarkan saja masyarakat menjarah dan akan bertanggungjawab jika itu terjadi.
"Biarkan mereka semua, karena semuanya lapar. Nanti, kalau ada yang menuntut ganti rugi biar saya yang tanggung. Memang pada saat itu, suasana saya berpikir bagaimana ini bukan suatu beban tapi tantangan bagi saya. Saya tidak akan lari dari kenyataan Samapi bencana ini selesai," sebutnya penuh haru.
Uni Lubis berkisah sudah 30 tahun menjadi jurnalis mengatakan dampak bencana dengan cakupan yang luas dan lama ini sangat luar biasa pada wilayah Aceh. Dalam pertanyaannya, bagaimana pandangan putra asli Aceh Tamiang melihat bencana tersebut?
Menurut Armia, fenomena alam yang terjadi ini tidak biasa. Sebab, saat ia masih kecil Aceh Tamiang setiap Desember dipastikan banjir tapi tidak sampai seluas ini. Banjir ini terjadi sejak kejadian tahun 2006, dan berlanjut hingga kini. Bahkan, setahun bisa terjadi 4 kali banjir.
Dia menilai selama siklus 20 tahun ini tidak dapat menyalahkan siapapun, apalagi baginya wilayah ini banyak pohon sawit yang resapannya kurang. Namun, menurutnya bukan hal tersebut yang memicu banjir tapi sumber air sungai Tamiang ini adalah dua Kabupaten yaitu Aceh Timur dan Aceh Gayo.
Dia juga sempat melaporkan dan meminta ke pemerintah pusat, agar air sungai dari atas ini bisa dikendalikan, agar tidak menjadi banjir yang besar. Akibat banjir bandang yang terjadi di wilayah Aceh Tamiang terdapat 88 jiwa yang telah meninggal, dari 216 desa yang terdampak.
Dari data tersebut, dia menilai wilayah ini sudah banyak bantuan dan bisa berkoordinasi dengan BNPB, TNI dan Polri. Meskipun di awal-awal kejadian, Pemda, Kodim, Polres hingga Pengadilan semuanya lumpuh. Sehingga, ia tidak berputus asa meminta bantuan.
Dia menyebutkan ada 3.000 lebih TNI serta Polri yang ikut serta membantu di Aceh Tamiang. Targetnya yaitu, langkah pertama membagikan logistik secara merata sebanyak mungkin kepada masyarakat, melalui Camat yang membawa Kepala Desa untuk kebutuhan 3 hari kedepannya.
4. Tidak menyangka Aceh Tamiang menjadi kondisi terparah

Terkait penyaluran yang terjadi keterlambatan, dijelaskan Armia bahwa kemungkinan posko yang di Provinsi tidak menyangka Aceh Tamiang bisa separah ini kondisinya. Kondisi yang dinilai parah pada saat itu ada di Langsa, Pidie Aceh, Pidie jaya, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur dan lainnya.
"Kita tidak termonitor karena memang komunikasi tidak ada (sinyal padam). Kalau kita lihat darinpesawat hanya air saja. Jadi, sehingga pada saat itu saya melaporkan baru ngeh (mereka mengetahui), ternyata kami paling parah. Tapi, syukurnya saat ini banyak bantuan meskipun masih trauma dengan ini," ucapnya pada saat itu melaporkan 29 November 2025.
Menurut Bupati Aceh Tamiang, terkait status bencana nasional untuk Aceh Tamiang tidak perlu.
"Tapi, tergantung apapun itu statusnya kami terima," tuturnya.
Terhitung sudah sebulan status Aceh Tamiang diperpanjang menjadi status tanggap darurat, dari 25Desember 2025 ke tanggal 8 Januari 2026.
5. Hingga kini warga Aceh Tamiang masih membutuhkan bantuan logistik

Bagi Armia, bantuan untuk warga Aceh Tamiang saat ini masih membutuhkan logistik, termasuk beras. Pihaknya juga telah merumuskan untuk 6 bulan kebutuhan warga jika ada yang ingin menyalurkan bantuan.
Saat ini, ia berusaha untuk mendata ulang agar warganya bisa mendapatkan bantuan secara merata, beserta Hunian Sementara (Huntara).
Dia meminta sebanyak 14 ribu unit rumah Hunian Tetap (Huntap) dan secara dinamis akan bertambah lagi.
Armia mengatakan mata pencaharian warganya telah ludes terkena dampak bencana banjir bandang. Mulai dari petani yang memiliki sawah, hingga pebisnis kuliner.
Terkait pembersihan jalan, bantuan alat berat sangat dibutuhkan. Sebab, lumpurnya sangat masif.
"Saya ingin masyarakat terbantu, negara harus ada. Maka saya minta TNI Polri datang untuk membantu ke kampung-kampung untuk membantu. Tidak hanya diatasnya saja tapi sampai ke dasarnya (lumpur). Sehingga, terasa keharmonisan itu harapan kami," ucapnya.
Setiap hari dia mengakui memantau agar genangan lumpur tidak ada lagi, seperti berada di kota dengan menargetkan seminggu harus tuntas.
"Saya terima kasih kepada relawan, kepada semua yang peduli pada masyarakat Aceh Tamiang. Saya tetap terbuka, untuk menerima bantuan apapun kami terima. Masyarakat masih terpuruk dengan masalah ini dan kami mohon bantuannya. Mudah-mudahan dengan bantuan itu bisa membantu kami untuk keluar dari bencana ini. Insyaallah tuhan maha pengasih dan maha penyayang semoga kita bisa. Terima kasih," tutupnya penuh harapan.

















