APINDO Minta Raperda KTR Medan Tidak Semakin Bebani Pelaku Usaha

Medan, IDN Times - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Medan meminta legislatif dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) agar tidak menekan dan membebani pelaku usaha. Hal ini mengingat tak sedikit dorongan implementasi Raperda KTR di beberapa daerah yang sangat ketat, pada akhirnya memukul industri hasil tembakau (IHT).
Salah satu anggota APINDO Kota Medan, yang mewakili elemen IHT yakni PT Sumatra Tobacco Trading Company (STTC) Siantar memaparkan bahwa pihaknya bukanlah anti-regulasi namun berharap Raperda KTR Medan yang lahir ke depan dapat menjadi regulasi yang adil, berimbang dan implementatif.
"Selama ini, apapun peraturan yang dibuat pemerintah, kami selalu mematuhi. Di sisi lain, peredaran rokok ilegal yang terang-terangan terjadi di depan mata tidak bisa ditangani oleh pemerintah dan penegak hukum. Industri rokok selama ini mendapatkan perlakuan (aturan) yang sangat memberatkan. Kami taati aturannya, tapi yang jadi masalah itu industri kita dirusak oleh rokok-rokok ilegal. Kami sudah udah melapor kemana-mana tapi tidak ada hasilnya,” papar Pin Pin, Public Relation PT STTC, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Pasus Raperda KTR DPRD Medan, Senin (22/9/2025).
1. Raperda KTR Medan harus adil dan berimbang

Tekanan yang dialami industri tembakau, lanjut Pinpin, bukan saja peraturan seperti Raperda KTR, namun juga pajak dan cukai hasil tembakau (CHT) yang beberapa tahun terakhir ditargetkan semakin tinggi. Padahal pemerintah pusat dan daerah kerap menikmati kontribusi dari industri tembakau berupa dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT).
Yang juga menjadi sorotan APINDO terkait Raperda KTR Medan, agar aturan tersebut harus adil, berimbang dan tidak melebihi wewenang regulasi di atasnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 28 Tahun 2024.
"Kami juga berharap Raperda KTR harus mempertimbangkan keberlangsungan pedagang kecil dan retail di Kota Medan. Aturannya jangan keras-keras. Kasihani pedagang kecil, UMKM, dan retailer, jangan ada larangan-larangan penjualan yang memberatkan,"sebutnya.
2. Pelaku usaha kecil bisa terdampak

Begitu juga terkait substansi pasal pelarangan reklame rokok yang membatasi harus berjarak minimal 500 meter dari satuan pendidikan. Menurutnya ini juga akan merugikan pelaku usaha khususnya media kreatif. Oleh karena itu pihaknya meminta DPRD Kota Medan meninjau ulang kembali pasal ini.
“Pemerintah kota juga perlu memaksimalkan PAD dari reklame. Harus diakui, yang berani beriklan dengan budget besar itu adalah rokok. Oleh karena itu, pasal ini mohon ini jadi pertimbangan,” ungkapnya.
Terakhir, Pin Pin pun mengingatkan Pansus Raperda KTR DPRD Medan, bahwa IHT merupakan sektor padat karya yang menjadi tumpuan penghidupan tenaga kerja. “Kami memahami Raperda KTR ini adalah amanah undang-undang. Kami siap menaati, tapi tolong aturan yang sudah ada tidak diperketat lagi,” tegasnya.
3. Pelaku usaha dan komunitas harus terlibat

Sebelumnya, pakar hukum tata negara Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Mirza Nasution mengingatkan bahwa dalam pembahasan substansi Raperda KTR ini, sangat penting keterlibatan atau partisipasi publik.
“Selama ini dalam pembuatan Perda ataupun kebijakan, kesannya elitis, tidak melibatkan masyarakat. Begitu juga dengan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang partisipasi publiknya kurang. RDPU harus dilakukan dengan benar dan mewakili semua stakeholder. Namun, yang sering menjadi pertanyaan, apakah RDPU sudah dilakukan dengan benar? Ini yang sering menjadi polemik,” tegas Mirza.
Mirza juga meminta DPRD Kota Medan dapat melibatkan dan mengakomodir aspirasi berbagai unsur masyarakat dan stakeholder.
“Yang perlu kita sadari, Raperda KTR ini bukan hanya soal kesehatan. Banyak ekosistem yang terkait di dalamnya dan semua stakeholder itu yang harus dilibatkan. Pelaku usaha, komunitas dan banyak lagi yang harus terlibat. Semakin banyak stakeholder yang dilibatkan makin baik, karena pada akhirnya Perda ini untuk kepentingan bersama. Ini langkah-langkah yang harus dipedomani. Sayangnya, kebanyakan pemerintah sekarang tidak melakukan tahapan ini. Sehingga masyarakat akhirnya sering terkejut atau syok mengetahui dampak ketika Perda itu lahir,” Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APTHN-HAN) Indonesia periode 2021-2025 ini menambahkan.