Great People’s March Guncang Belem, Tekanan Publik di COP30 Memuncak

Medan, IDN Times - Ribuan massa dari berbagai negara memenuhi jalan-jalan di Belém dalam aksi besar bertajuk Great People’s March, protes terbesar sejak COP26 Glasgow, Sabtu (15/11/2025). Mereka datang membawa sejumlah tuntutan.
Dilansir dari laman Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), Minggu (16/11/2025), massa menuntut penghentian krisis iklim, hingga hentikan eksploitasi terhadap lingkungan. Termasuk mengakhiri kebuntuan yang terus membayangi perundingan COP30, terutama soal pendanaan, perdagangan, transparansi, hingga lemahnya ambisi negara peserta.
1. Great People’s March jadi puncak tekanan publik di COP30

Aksi di pusat kota Belém berlangsung serempak dengan negosiasi COP30 yang sedang menemui jalan buntu. Di antara puluhan ribu massa, masyarakat adat berada di barisan terdepan. Nyanyian adat dan lagu klasik Brasil terdengar berdampingan dengan tuntutan keadilan.
Salah satu peserta, Raquel Wapichana, menempuh perjalanan sembilan jam dari Roraima. Ia membawa poster bertuliskan “Mari berjuang” sambil menyuarakan kekhawatiran atas ancaman hilangnya tanah leluhur.
“Saya berada di sini untuk rakyat saya, tanah kami, sungai kami, dan leluhur kami. Kami terus-menerus terancam oleh pertambangan, agribisnis, dan perampasan tanah. Kami harus berjuang demi kelangsungan hidup kami,” ujarnya.
Aktivis dari Indonesia juga turut hadir. Di blok rakyat Papua, spanduk besar bertuliskan “Papua Barat bukan tanah kosong, selamatkan hutan adat kami!” terbentang sebagai bentuk solidaritas global.
Aksi ini berlangsung setelah pemerintah Brasil menyatakan tidak akan mengeluarkan cover decision, langkah yang memicu pertanyaan baru karena belum ada kejelasan bentuk implementasi yang ditawarkan.
2. Prosesi ‘pemakaman energi fosil’ jadi simbol perlawanan

Bagian paling mencolok dalam aksi ini adalah prosesi simbolik “pemakaman bagi energi fosil.” Tiga peti mati bertuliskan batubara, minyak, dan gas dikelilingi ribuan peserta. Dua boneka raksasa berbentuk hantu berdiri mengawasi prosesi yang dipenuhi aktivis berbusana hitam.
Aktris asal Belém, Krishna, tampil dramatis mengenakan kerudung renda hitam dan payung, menyerupai karakter thriller era Victoria. Ia menegaskan bahwa masa depan bumi bertumpu pada penghentian energi fosil.
Di sisi lain, blok aksi anti-kapitalisme membawa spanduk bertuliskan kritik keras terhadap kebijakan proyek “hidrovia” dan eksploitasi industri minyak Amazon. Lagu Bella Ciao menggema dari mobil komando, sementara solidaritas untuk Palestina juga muncul dalam yel-yel dan bendera yang berkibar.
Aksi ini terjadi saat negosiasi terhambat pada empat isu besar: pendanaan, perdagangan, transparansi, dan lemahnya rencana iklim nasional.
3. Rekor pelobi fosil & desakan pendanaan iklim perburuk tensi COP30

Ketegangan tak hanya hadir di jalanan, tetapi juga di dalam ruang resmi COP30. Analisis terbaru menunjukkan 1 dari setiap 25 peserta COP30 adalah pelobi industri fosil, sebuah rekor baru yang memicu kritik keras dari koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO). Mereka menggelar aksi “Kick Off The Suits” sebagai bentuk penolakan terhadap meningkatnya pengaruh lobi energi kotor.
“Sangat jelas bahwa kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan memberi kekuasaan kepada mereka yang menyebabkannya. Ironis melihat pengaruh mereka semakin dalam dari tahun ke tahun, memperolok proses ini dan komunitas yang menanggung akibatnya,” kata Jax Bongon dari IBON International.
Nama Indonesia ikut tersorot. Paviliun Indonesia dikritik karena disponsori perusahaan batu bara dan nikel yang disebut punya rekam jejak konflik agraria dan kerusakan lingkungan.
“Setiap ruang yang diberikan kepada industri fosil di COP adalah ruang yang direbut dari masa depan kami,” ujar Ginanjar Ariyasuta dari Climate Rangers.
Ia juga menyoroti pembangunan 26 GW PLTU captive untuk industri nikel yang disebut sebagai “transisi industri hijau,” namun justru dianggap membebani generasi mendatang.
Di meja diplomasi, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Simon Stiell, kembali menekankan bahwa pendanaan adalah inti transisi. “Pendanaan iklim adalah urat nadi aksi iklim. Inilah yang mengubah rencana menjadi kemajuan, dan ambisi menjadi implementasi,” ujarnya.
Ia mendesak negara maju menggandakan dana adaptasi, memperluas model hibah dan konsesi, serta menegaskan bahwa “Pendanaan iklim bukanlah amal – melainkan ekonomi cerdas,” katanya.

















