Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Matrilineal di Tengah Pusaran Patrilineal Pilkada Serentak Sumbar

Ilustrasi pilkada serentak. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi pilkada serentak. (IDN Times/Mardya Shakti)

Dalam budaya Minangkabau dikenal sistem kekerabatan matrilineal, dimana peran perempuan dalam masyarakat memiliki porsi penting. Sistem ini menjadikan perempuan sebagai penerus garis keturunan keluarga dan pemegang aset, seperti tanah dan rumah. Sistem yang bernasab kepada ibu menjadi pembeda posisi perempuan Minang dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia yang menganut Patrilineal.

Berkaca pada sejarah, perempuan bukan hal yang tabu menjadi pemimpin di Ranah Minang. Misalnya Raja Pagaruyung, Bundo Kanduang serta ada pula perempuan heroik asal Sumatera Barat, Rohana Kuddus dan Siti Manggopoh. Secara teori, harusnya sistem matrilineal ini menguntungkan buat Perempuan menjadi pemimpin daerah atau memenangkan Pilkada di era modern saat ini.

Namun faktanya matrilineal kurang berpengaruh dalam mendorong kemenangan perempuan dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di provinsi tersebut. Faktanya calon Perempuan belum pernah memenangkan pertarungan Pilkada di kabupaten kota dan provinsi Sumatera Barat. Pemenang Pilkada didominasi laki-laki. Tak heran calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tahun ini kurang diminati kaum hawa.

Menilik Pilkada Serentak 2024, dari 56 paslon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mendaftar ke KPU Kabupaten Kota dan Provinsi se-Sumbar, hanya ada 1 perempuan yang menjadi calon kepala daerah, yakni Annisa Suci R yang menjadi Calon Bupati Dharmasraya.

Serta ada 2 perempuan menjadi calon wakil kepala daerah. Yakni Leli Arni yang mendampingi Annisa Suci R di Pilkada Dharmasraya dan Desni Seswinari yang merupakan Calon Wali Kota Sawahlunto, mendampingi Deri Asta. Artinya 98,3 persen calon kepala daerah di Sumatera Barat adalah laki-laki.

Ini menimbulkan pertanyaan, apakah budaya matrilineal yang amat kuat tidak berdaya melawan ‘budaya’ Pilkada yang begitu Patrilineal?

Sumber Foto: Pixabay
Sumber Foto: Pixabay

Dalam jurnal Lidya (2017) berjudul Perempuan Politisi Minangkabau dalam Dunia Politik: Studi Tentang Alasan Perempuan Memaknai Politik menunjukan bahwa makna politik bagi politisi perempuan bukan lagi dipandang sebagai arena struggle for power tetapi lebih pada bagaimana perempuan tidak lagi membedakan antara perempuan dan laki-laki, memaknai politik sebagai wadah aspirasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat khususnya kepentingan perempuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sri (2019) tentang Perkembangan Keterwakilan Politik Perempuan di DPRD Provinsi Sumatera Barat (Studi Komparatif Kebijakan Affirmative Action Periode Pemilu Legislatif 2004-2014), menemukan bahwa faktor utama penyebab kekalahan perempuan saat pencalegan adalah terkait dengan uang. Selain masalah dana faktor kekalahan perempuan salah satunya masih minim pengalaman pengalaman dalam organisasi kemasyarakatan serta organisasi politik.

Kembali lagi ke Matrilineal, kepemimpinan politik perempuan di minangkabau terdapat dalam keluarga, kaum dan kekerabatan. Walaupun demikian, kedudukannya sangat sentral, karena ia garis penentu dan pengontrol kekuasaan, sebenarnya pengaruhnya sangat besar. Kekuasaan perempuan minangkabau terlihat bahwa kekuasaan itu bukan sesuatu yang bersifat publik/ formal/ impersonal, tetapi the personal is political. Nilai matriarkat yang dianut masyarakat minangkabau adalah kepentingan perdamaian dan keharmonisan dan kesejahteraan sosial bagi semua.

Persoalan feminisme dalam budaya matrilineal adat minangkabau di Sumatera Barat pada hakikatnya merupakan budaya yang menjadi cikal bakal bagi gerakan feminisme di Indonesia. Budaya matrilineal di minangkabau menempatkan posisi perempuan sebagai posisi yang menentukan kehidupan masyarakat dan keberlangsungan keturunannya.

Namun hal tersebut tidaklah menjadi suatu hal yang begitu saja menguntungkan bagi masyarakat minangkabau. Posisi dan kedudukan perempuan beserta keluarganya yang sangat dominan tersebut yang terkadang menjadikan posisi laki-laki justru sebagai posisi yang terjepit dan tidak mendapatkan penghargaan.

 

Deal - Channel.com
Deal - Channel.com

Budaya Matrilineal di Sumatera Barat merupakan budaya yang kental dengan nuansa emansipasi dan ajaran feminis. Perempuan merupakan harta pusaka bagi suatu keluarga sehingga keberadaannya mendapatkan posisi yang sangat terhormat bagi masyarakat. Budaya minang juga sarat dengan budaya dan ajaran muslim sehingga nilai-nilai kultural religius banyak mempengaruhi pola berpikir masyarakat Minangkabau.

Meski belum ada perempuan yang memenangkan Pilkada di Sumbar, Budaya Matrilineal menjadi kekuatan bagi politisi perempuan ketika mencalonkan diri sebagai legislatif. Pada Pemilu 2019 ada tiga perempuan menjadi legislator Sumatera Barat di DPR RI, Athari, Nevi Zuairina dan Lisda Hendrajoni.

Sejatinya dengan adanya budaya matrilineal, kaum perempuan dapat memanfaatkan posisi strategis perempuan yang dekat dengan stakeholder-stakeholder adat baik itu dengan bundo kanduang, datuak, dan penghulu. Adanya posisi stretagis itu, calon legislatif perempuan dapat meminta restu kepada bundo kanduang, dan juga meminta segala masukan. Namun faktanya dalam Pilkada, hal itu saja tidak cukup, banyak faktor lain penentu perempuan sulit menang.

Mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini pada media Magdalene pernah mengatakan, konsep matrilineal di Sumatra Barat hanya berlaku di ranah sosial kulturalnya tetapi tidak masuk ke wilayah politik. Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam konteks isu agama.

Menurutnya agama dan kepemimpinan perempuan cenderung tidak menjadi isu hanya jika calon pemimpin perempuan merupakan bagian dari politik kekerabatan atau dia memiliki basis massa yang besar. Misalnya istri bupati sebelumnya dan memiliki posisi strategis di dalam partai atau memiliki basis massa yang besar sebagai ketua organisasi keagamaan.

Masih dikutip dari Magdalene, sistem matrilineal menguntungkan dalam hal menjangkau konstituen perempuan yang dituakan dan merupakan pengambil keputusan, juga dalam mengakses aset tradisional seperti rumah gadang yang bisa mereka gunakan untuk kegiatan politiknya. Namun keuntungan ini ternyata belum berhasil menambah jumlah perempuan yang terpilih dalam pilkada.

Para Perempuan di Sumatera Barat masih merasa kewajiban terhadap rumah dan keluarga harus diutamakan. Dalam masyarakat juga tercipta persepsi bahwa perempuan kurang mampu menjadi politisi ketimbang laki-laki. Tak heran jika minat perempuan bertarung dalam Pilkada sangat rendah.

Menurut penulis, meskipun budaya Matrilinealisme di Sumatera Barat memiliki pengaruh kuat dalam budaya, namun dalam hal politik, budaya tidak dapat berlaku/ikut andil untuk ikut campur dalam hal-hal berbau politik. Perempuan, dalam pemilihan kepala daerah mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan yang diemban laki-laki bahkan memiliki hak lebih. Tetapi hal tersebut ternyata belum dapat memenangkan Perempuan dalam pemilihan kepala daerah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us