Konflik Rempang Eco City Terus Berlanjut, Nelayan Menolak

Lokasi menangkap ikan dikhawatirkan rusak

Batam, IDN Times - Investasi yang akan masuk ke Pulau Rempang tidak hanya berdampak kepada masyarakat setempat, tetapi juga akan berdampak kepada masyarakat pulau-pulau sekitar.

Pulau Rempang menjadi pembicaraan hangat di berbagai kalangan masyarakat setelah adanya percobaan pengosongan lahan secara paksa oleh pemerintah.

Relokasi tersebut merupakan upaya pemerintah dalam menyambut ivestasi kawasan industri, perdagangan, wisata, hingga energi baru dan terbarukan (EBT) bernama Rempang Eco City.

Namun, investasi Rempang Eco City ini tidak hanya berdampak kepada masyarakat daratan Pulau Rempang, tetapi juga akan berdampak kepada masyarakat yang tinggal di beberapa pulau sekitar.

"Pasti akan berdampak karena kami sangat bergantung dengan perairan di kawasan Sembulang ini," kata masyarakat Pulau Mubud, Kelurahan Taras, Kecamatan Galang, Kota Batam, Dorman (43), Selasa (3/10/2023).

1. Masyarakat Pulau Mubud bergantung hidup dari hasil laut

Konflik Rempang Eco City Terus Berlanjut, Nelayan MenolakNelayan tradisional Pulau Mubud saat akan beraktivitas (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Kini, Pulau Mubud dihuni 130 Kartu Keluarga (KK) dengan total keseluruhan 400 jiwa. Masyarakat yang tinggal di pulau tersebut merupakan masyarakat asli yang telah beranak cucu selama ratusan tahun.

Sejak tahun 1.800an, masyarakat Pulau Mubud telah menjejakkan kakinya di Kampung Tua Pasir Merah, Sembulang, Pulau Rempang. Pasir Merah dijadikan tempat para masyarakat sebagai tempat pengumpulan hasil tangkapan para nelayan tradisional setelah beraktivitas di laut.

Dorman menjelaskan, dirinya telah sangat akrab dengan perairan di sekitar Pulau Rempang ini karena telah ikut turun beraktivitas di laut bersama orang tuanya dahulu hingga saat ini.

"Tidak hanya saya, tapi kami semua masyarakat Pulau Mubud telah bergantung hidup dengan hasil laut hingga saat ini," ujarnya.

Lanjut Dorman, nelayan tradisional Pulau Mubud ini setiap harinya menangkap ikan dari hasil laut di wilayah perairan Sembulang. Hal ini karena hasil laut di sekitar Sembulang saat ini masih terjaga dan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2. Dapati undangan sosialisasi AMDAL pada 30 September 2023

Konflik Rempang Eco City Terus Berlanjut, Nelayan MenolakDenah lokasi pengembangan Rempang Eco City (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

"Undangan sosialisasi ini kami dapati mendadak, dikirim melalui Whatsapp pada tanggal 29 September 2023 malam kepada kami untuk hadir ke kantor Kecamatan Galang pada 30 September 2023," ungkap Dorman.

Dari hasil pertemuan sosialsasi penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) tersebut, 5 perwakilan masyarakat Pulau Mubud mendapati fakta bahwa nantinya di pesisir Kelurahan Sembulang akan dibangun pelabuhan industri untuk aktivitas kapal-kapal besar.

Hal itu dinilai akan dapat merusak dan mematikan masyarakat pulau sekitar yang menggantung nasib dari hasil laut.

"Jalas nanti pasti akan berdampak ke kami, disini perairannya kurang lebih memiliki kedalaman 5 meter, kalau kapal besar nantinya masuk pasti akan ada aktivitas pengerukan dan terumbu-terumbu karang rusak," tegasnya.

Tidak hanya itu, ia menegaskan bahwa tidak ada keputusan atau langkah-langkah apapun yang diberikan pemerintah kepada masyarakat pulau-pulau sekitar.

3. Masyarakat Pulau Mubud ditunjuk sebagai Pokmaswas sumber daya laut dan perikanan

Konflik Rempang Eco City Terus Berlanjut, Nelayan MenolakSurat keterangan penetapan Pokmaswas sumber daya laut dan perikanan masyarakat Pulau Mubud (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Masyarakat Pulau Mubud ditunjuk Pemerintah Provinsi Kepri sebagai Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) sumber daya laut dan perikanan wilayah perairan Pulau Mubud dan sekitarnya.

Ditunjuknya masyarakat Pulau Mubud sebagai Pokmaswas sumber daya laut dan perikanan ini berdasarkan keputusan Gubernur Kepri Nomor 583 / KPTS-21 / 1 / 2019.

Dorman menjelaskan, setelah ditunjuknya masyarakat Pulau Mubud dari Pemprov Kepri ini, pihaknya terus melakukan konservasi biota laut dan menjaga perairannya dari nelayan-nelayan nakal.

"Sejak tahun 2019 lalu, kami terus melakukan konservasi biota laut. Selain itu kami juga terus menjaga biota laut yang dilindungi seperti penyu, lumba-lumba dan ikan duyung (dugong)," tuturnya.

Tidak hanya itu, pihaknya juga pernah menghentikannya aktivitas nelayan yang melakukan penangkapan ikan menggunakan pukat mini hingga aktivitas penangkapan penyu.

"Untungnya disini orang-orang yang melanggar itu setelah kami sampaikan kalau hal tersebut tidak dibenarkan, mereka mau mendengar dan tidak mengulanginya lagi," lanjutnya.

Ia juga menegaskan, meski pihaknya tergabung di dalam Pokmaswas sumber daya laut dan perikanan wilayah perairan Pulau Mubud dan sekitarnya, hingga saat ini pihaknya tidak pernah mendapati bantuan apapun dari Pemprov Kepri maupun Pemko Batam.

4. Pelabuhan Pasir Merah Sembulang Pulau Rempang menjadi saksi bisu kehidupan masyarakat setempat

Konflik Rempang Eco City Terus Berlanjut, Nelayan MenolakMasyarakat setempat saat melakukan bongkar muat sembako di Pelabuhan Pasir Merah Sembulang, Pulau Rempang (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Pelabuhan Pasir Merah yang berlokasi di Kelurahan Sembulang Pulau Rempang ini menjadi saksi bisu aktivitas sehari-hari masyarakat Pulau Mubud dan sekitarnya. 

Pelabuhan ini diungkapkannya telah berdiri sejak tahun 1980-an, namun pelabuhan ini mendapati pemerajaan pada tahun 1999 saat kependudukan Pulau Rempang dialihkan dari Kabupaten Bintan ke Kota Batam.

"Pada tahun 1980-an, Pelabuhan Pasir merah ini dibangun dengan pondasi kayu oleh masyarakat setempat. Disinilah semua aktivitas masyarakat pulau-pulau sekitar berlangsung selama puluhan tahun," kata Domar.

Pelabuhan ini menjadi lokasi yang sangat dekat untuk masyarakat pulau-pulau sekitar saat mengumpulkan hasil tangkapannya. Di lokasi ini juga nantinya hasil tangkapan yang dikumpulkan tersebut di sebar ke berbagai lokasi untuk di jual.

Tidak hanya itu, pelabuhan ini juga menjadi salah satu lokasi bongkar muat sembako yang akan didistribusikan ke masyarakat pulau-pulau sekitarnya.

"Jadi kekhawatiran kami, lokasi ini masuk ke dalam lokasi investasi China dan apakah kami tetap bisa mengakses pelabuhan ini, jelas tidak akan bisa," tutupnya.

5. Nelayan tradisional Pulau Mubud dan sekitarnya kini tidak bisa lagi temukan Udang Apolo

Konflik Rempang Eco City Terus Berlanjut, Nelayan MenolakMasyarakat Pulau Mubud saat menunjukan hasil tangkapannya (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Salah seorang warga Pulau Mubud, Adi Semberani mengatakan, pada tahun 2015 lalu nelayan tradisional Pulau Mubud pernah terdampak aktivitas kegiatan galian tipe C yang berlangsung di Pulau Bintan.

"Aktivitas galian tipe C yang berlangsung pada saat itu yakni penambangan bauksit dan juga pasir di Pulau Bintan," kata Andi.

Ia menjelaskan, aktivitas itu menyebabkan perairan Pulau Bintan yang merupakan lokasi tangkap Udang Apolo oleh masyarakat pulau-pulau sekitar menjadi rusak.

"Perairan tersebut jadi rusak karena aktivitas pemindahan pasir dan bauksit ke kapal besar banyak menyebabkan bebatuan tajam jatuh ke perairan. Itu menyebabkan para nelayan Udang Apolo sudah tidak lagi bisa mendapatkan hasil tangkapan dan Udang Apolo sudah tidak lagi bisa kami temukan, punah," ujarnya.

Hal tersebutlah yang menjadi salah satu alasan masyarakat Pulau Mubud menolak rencana pengembangan wilayah Pulau Rempang ini, karena dinilai dapat merusak wilayah perairan hasil tangkap mereka.

"Secara tegas kami turut menolak rencana pengembangan wilayah Pulau Rempang ini karena nanti kami juga akan terdampak. Jadi tolonglah pemerintah dapat mengkaji ulang masuknya investasi di Pulau Rempang Galang ini," tutupnya.

Baca Juga: Jaksa di Bengkalis Diduga Terima Suap Miliaran, 4 Saksi Diperiksa

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya