Cerita Begu Ganjang Diangkat dalam Pementasan Teater Sasindo Unimed

Medan, IDN Times - Simbol-simbol angkara murka secara masif terekspos dalam pertunjukan teater bertajuk "Jojak di Bagas Naramun". Bukan tanpa sebab mengapa nilai-nilai kerakusan hingga hasrat haus kekuasaan ditonjolkan. Layaknya "duri dalam daging", pertunjukan bertema horor ini menyiratkan kepada penontonnya untuk tidak memelihara ketamakan di dalam hati, karena hal itu akan merugikan diri sendiri.
Uniknya, pertunjukan yang dihelat mahasiswa Sastra Indonesia Unimed ini, tidak hanya diwarnai upaya memikat pasang mata dengan aksi teatrikalnya saja. Namun langkah-langkah revitalisasi terhadap cerita rakyat juga digaungkan. Ya, mereka mengangkat kisah "Begu Ganjang" yang merupakan makhluk astral masyhur dari tanah Batak Toba!
1. Teater bertajuk "Jojak di Bagas Naramun" angkat tradisi masyarakat Batak Toba dan perjanjian manusia dengan sosok astral Begu Ganjang

Dinamika alur dan gejolak emosi para tokoh dalam pertunjukan "Jojak di Bagas Naramun" memegang peranan sentral tersendiri. Sebab para pemeran yang semuanya merupakan mahasiswa itu dapat luwes dalam berlakon. Begitu pula dengan sajian dramatis yang melengkapi setiap segmen-segmennya.
Pertunjukan "Jojak di Bagas Naramun" cukup berani mengangkat tema horor. Sebab, di Kota Medan sendiri sangat jarang disajikan teater bertema demikian, apalagi dengan mengawinkan unsur kebudayaan yang melekat dengan tradisi-tradisi masyarakat.
"Pertunjukan ini diadaptasi ulang dari cerita adat Batak Toba. Ya, cerita tentang Begu Ganjang," ujar sang Sutradara, Wira Winalda.
Begu Ganjang dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba merupakan makhluk astral atau roh jahat. Begu Ganjang dipercaya dapat dipelihara siapa pun asal si empunya rutin memberi tumbal.
Dalam pertunjukan "Jojak di Bagas Naramun" ini, kehadiran sosok Begu Ganjang dimanfaatkan salah satu tokoh utama untuk membantunya menunaikan hawa nafsu. Termasuk menjadi sosok yang berkuasa.
"Kenapa tertarik mengangkat cerita rakyat Begu Ganjang? Karena kita tinggal di Sumut yang tentunya banyak cerita fenomenal. Melalui pertunjukan hari ini, kita ingin menunjukkan bahwa manusia sangat dekat dengan pengkhianatan dan kekuasaan," tutur Wira.
2. Memberi pesan kepada penonton bahwa betapa buruknya sifat angkara murka

Pertunjukan ini menggambarkan konflik antar penduduk kampung yang rela melakukan cara keji termasuk membuat perjanjian dengan Begu Ganjang. Uniknya, mereka menyentuh isu moralitas berupa kesombongan dan dampak dari ulah manusia.
"Dalam pertunjukan ini, cerita Begu Ganjang kita kontruksikan untuk pertunjukan teater. Di mana kita menceritakan tentang pengkhianatan dan kerakusan dalam sifat manusia, begitu pula dengan rasa haus kekuasaan. Itulah mengapa kemudian mengikat si Begu Ganjang sebagai salah satu sumber kekuatan tokoh utama bisa agar bisa kembali berkuasa," ucap Wira.
Konflik semakin memuncak ketika beberapa anak kampung menghilang. Hal ini menimbulkan teror dan ketakutan bagi seluruh masyarakat. Namun di tengah kekacauan tersebut, seorang tokoh bernama Luhut berusaha melindungi keluarganya sambil menghadapi kekuatan hitam yang berakar dari keserakahan tokoh lain.
"Moralitas ceritanya tentu sangat besar sebagai pelajaran bagi kita semua. Bahwa manusia tidak lepas dari sikap ingin berkuasa. Cerita ini sebagai contoh bahwasanya manusia harus dapat berbuat baik dan dapat menjaga hubungan dengan manusia lainnya," pungkas Wira.
3. Memadukan corak kedaerahan dan unsur kekinian agar dapat mencuri hati anak muda

Sementara itu Kaprodi Sastra Indonesia Unimed Hera Chairunisa, M.Si mengatakan bahwa pertunjukan ini merupakan hasil perpaduan antara unsur budaya dan kekinian. Sehingga mayoritas penonton yang merupakan Gen Z dapat dengan mudah direngkuh atensinya.
"Cerita ini dari masyarakat Batak Toba. Kita gubah lagi dan sedikit keluar dari karya aslinya. Kita mix dengan gaya kekinian. Kita gali kebudayaan itu, karena banyak sekali budaya kita yang bagus dan bisa kita tonjolkan. Cerita-cerita seperti ini bisa memperkenalkan kepada gen Z bahwa tradisi lisan di Sumut itu bagus," ujarnya.
Bagi Hera pertunjukan ini merupakan cara terbaik dalam mengeksplorasi kreativitas mahasiswa. Menjadi wadah yang nyata agar gairah berseni dapat disalurkan dengan baik.
"Saya pikir mahasiswa Sasindo akan mendapat wadah mereka berkreativitas. Jika kita tidak menyediakan wadah, maka hanya teori-teori yang hanya didapatkan dan mereka sulit menerapkannya. Padahal banyak sekali talent dan skill yang ada di prodi ini, sangat berbakat, kita tinggal mengasahnya saja," pungkasnya.