KontraS: Bangsa Merdeka Harusnya Tidak Mengenal Praktik Penyiksaan

Menyorot tingginya kasus penyiksaan oleh aparat di Sumut

Medan, IDN Times – Meski di tengah pandemik  COVID-19, Hari Anti Penyiksaan Internasional (International Day in Support of Victims of Torture) tetap dihelat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara, Jumat (26/6). Peringatannya pun digelar sederhana di Tugu Titik Nol Kota Medan, Jalan Balai Kota. Mereka hanya berkampanye dengan sejumlah massa.

Massa yang tak sampai 10 orang hanya berkampanye lewat poster dan teatrikal. Posternya berisi kritik pedas terhadap pemerintahan yang sampai saat ini masih dianggap absen dalam berbagai kasus penyiksaan.

Yang paling menarik adalah teatrikal yang dimainkan. Seorang massa berperan sebagai masyarakat yang terkena penyiksaan. Dibalut perban dan berlumur darah.

Kemudian, beberapa orang yang berperan menjadi aparat langsung menganiaya korban dengan begitu sadisnya. Tendangan, pukulan dengan benda tumpul dan intimisadasi terus menerus dilakukan dalam adegan teatrikal.

Menurut sejarahnya, 26 Juni ditetapkan sebagai hari anti penyiksaan sebagai bentuk penghormatan terhadap kesepakatan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang mulai berlaku pada tanggal 26 juni 1987.

Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi itu ke dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Sayangnya, 22 tahun setelah diratifikasi, penerapan undang-undang itu masih ibarat jauh panggang dari api.

1. Negara masih mempertontonkan praktik penyiksaan dan kekerasan

KontraS: Bangsa Merdeka Harusnya Tidak Mengenal Praktik PenyiksaanTeatrikal KontraS Sumut memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Jumat (26/6). KontraS menyoroti, masih banyak penyiksaan yang diduga dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumut Amin Multazam Lubis mengatakan jika sampai hari ini negara dianggap absen dalam kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan. Bahkan negara sendiri yang acapkali mempertontonkan praktik kekerasan dan penyiksaan itu.

“Beberapa kebijakan tembak mati untuk para pelaku kejahatan tertentu sering kali menabrak prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas. Belum lagi soal laporan penggunaan kekuatan sebagaimana PERKAP 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian tidak dilakukan secara akuntabel. Hal demikian menjadi sinyal bahwa sistem hukum justru semakin lemah ketika berhadap-hadapan dengan praktik penyiksaan. Dalam konteks Sumatera Utara, situasinya juga tidak jauh berbeda,” ujar Amin disela aksi mereka.

2. Kasus penyiksaan dan kekerasan masih tinggi di Sumut

KontraS: Bangsa Merdeka Harusnya Tidak Mengenal Praktik PenyiksaanTeatrikal KontraS Sumut memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Jumat (26/6). KontraS menyoroti, masih banyak penyiksaan yang diduga dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia. (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS pun menyoroti sejumlah kasus kekerasan dan penyiksaan yang terjadi di Sumatera Utara. Catatan mereka, ada 9 kasus dugaan penyiksaan yang terjadi di Sumut dalam waktu Juli 2019-Juli 2020. Bahkan dari kasus-kasus itu, dua orang meninggal dunia.

Angka ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Data 2019 dalam periode yang sama, hanya ada 5 kasus yang terjadi di Sumut.

Data tersebut hanya merupakan kasus di mana KontraS terlibat langsung dalam melakukan pemantauan, investigasi lapangan, maupun pendampingan hukum terhadap korban.

“Mengingat luasnya wilayah, keterbatasan akses informasi serta masih enggannya korban penyiksaan melaporkan kasus yang mereka alami, kami meyakini kasus-kasus penyiksaan yang tidak terpantau justru angkanya jauh lebih banyak. Dari 9 kasus yang ditangani KontraS sebagian korban berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Khususnya yang memiliki pemahaman hukum cukup rendah dan tidak memiliki akses informasi yang baik soal bantuan hukum. Masyarakat kategori ini memang sangat rentan mendapatkan praktik penyiksaan dan perlakuan diskriminatif ketika berhadapan dengan proses hukum,” tukas lulusan Antropologi FISIP USU itu.

3. Polisi masih menjadi aparat yang sering diduga melanggar hukum

KontraS: Bangsa Merdeka Harusnya Tidak Mengenal Praktik PenyiksaanSeorang massa memegang poster kritik di tengah aksi aksi Hari Anti Penyiksaan Internasional , Jumat (26/6). (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS mengecam sekaligus memberikan kritik keras atas masih langgengnya praktik-praktik brutal dalam penegakan hukum. Penyiksaan, kata Amin, bukanlah menjadi solusi penegakan hukum.

Bahkan, KontraS juga mengecam kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan aparat saat akan mengumpulkan barang bukti, mengejar pengakuan, atau memberikan hukuman di luar proses peradilan. Hal ini sebenarnya secara tegas dilarang oleh hukum nasional maupun internasional.

Aparat keamanan negara, khususnya kepolisian masih menjadi lembaga yang menjadi sorotan dalam dugaan kasus-kasus penyiksaan. “Aparat kepolisian kerap berdalih terduga pelaku tindak pidana melawan sehingga harus diberikan tindakan tegas dan terukur. Tafsir yang tidak jelas terhadap tindakan tegas dan terukur justru cenderung mengarah pada penggunaan kekuatan yang dilakukan secara berlebihan,” ujarnya.

Masih banyak anggota kepolisian yang tidak menerapkan prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Sandar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Praktik kekerasan dan penyiksaan, lanjut Amin, masih terjadi dalam kasus-kasus yang menjadi musuh publik seperti, narkoba, begal dan terorisme.

“Tindakan tegas dengan menembak para terduga tindak pidana, atau melakukan kekerasan terhadap mereka justru mendapat dukungan publik dan dianggap sebagai sebuah prestasi dalam rangka penegakan hukum. Padahal jika melihat fakta dilapangan, angka tindak pidana justru sama sekali tidak mengalami penurunan ketika penggunaan kekuatan berlebihan itu diterapkan dilapangan. Yang bermunculan justru persoalan baru seperti salah tangkap, rekayasa kasus hingga peradilan sesat,” ujar mantan aktifis HMI tersebut.

4. Relasi kuasa dan bisnis pengamanan cukup menonjol melahirkan kasus penyiksaan

KontraS: Bangsa Merdeka Harusnya Tidak Mengenal Praktik PenyiksaanAksi teatrikal KontraS Sumut memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Jumat (26/6). KontraS menyoroti, masih banyak penyiksaan yang diduga dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia. (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS pun menyoroti kaitan relasi kuasa dan bisnis pengamanan kepada bisnis tertentu. Kondisi ini dinilai menjadi sebab lahirnya praktik penyiksaan. Saban tahun berganti, kasus-kasus seperti ini semakin menonjol.

Di Sumut, KontraS sempat mendampingi beberapa kasus. Misalnya kasus Dana Andrean yang ditembak di bagian selangkangan oleh pelaku yang diduga polisi karena dituduh mencuri sawit pada Februari 2020. Polisi tersebut juga diduga ikut dalam pengamanan kebun.

Lebih buruk lagi yang dialami oleh Ali Rahman. Dia diduga tewas disiksa prajurit TNI setelah dituduh sebagai sindikat pencurian di pabrik kelapa sawit yang beroperasit di kawasan Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat.

“Praktik penyiksaan dan tindakan kejam tersebut menjadi ajang aparat keamanan Negara untuk menunjukkan relasi kuasanya sebagai bagian pengamanan terhadap bisnis tertentu. Pada akhirnya yang muncul adalah tindakan-tindakan arogansi aparat penegak hukum terhadap masyarakat sipil,” tukasnya.

5. Penyiksaan masih menjadi jalan terjal untuk mencari keadilan

KontraS: Bangsa Merdeka Harusnya Tidak Mengenal Praktik PenyiksaanAksi teatrikal KontraS Sumut memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional yang jatuh pada Jumat (26/6). KontraS menyoroti, masih banyak penyiksaan yang diduga dilakukan aparat penegak hukum di Indonesia. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Praktik penyiksaan juga kerap dilakukan hanya untuk mencari pengakuan dari tersangka ataupun korban yang dijadikan tersangka. Kondisi ini menjadi jalan terjal para pencari keadilan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.

Pencarian keadilan atas kasus penyiksaan masih sulit didapatkan. Kelemahan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti belum adanya definisi khusus mengenai Penyiksaan dan Penghilangan Paksa dalam KUHPidana maupun tidak adanya undang-undang tersendiri terkait dengan penyiksaan dan penghilangan paksa, menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap para pelaku.

“Tiadanya ketentuan hukum tentang tindak penyiksaan, menciptakan celah dengan akibat yang mengerikan. Salah satu hambatannya adalah membawa aparat yang bersalah ke pengadilan atas dakwaan tindak penyiksaan. Hal ini diperparah dengan lemahnya mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal aparat keamanan negara yang berkontribusi pada langgengnya budaya impunitas. Peran lembaga Negara lain seperti Komnasham, LPSK, Kompolnas, hingga Ombudsman untuk mendorong pencarian keadilan kasus penyiksaan semakin hari justru kami rasakan semakin meredup,” terangnya.

Bagi Amin, Peringatan Hari Anti Penyiksaan harusnya menjadi momentum refleksi dan evaluasi untuk melakukan pembenahan terhadap isu-isu yang terkait dengan penyiksaan.

"Bagaimana Negara mampu untuk segera melakukan penyelidikan yang independen dan efektif terhadap dugaan kasus penyiksaan, Memastikan aparat kepolisian mengenal dan terlatih dalam menerapkan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan standar Hak Asasi Manusia, mendorong berjalannya mekanisme pengawasan internal dan eksternal secara akuntabel, hingga memastikan RUU KUHP dan KUHAP, mengikutsertakan ketentuan-ketentuan yang secara eksplisit melarang tindakan penyiksaan. Kami meyakini bahwa bangsa merdeka tidak mengenal praktik penyiksaan,” pungkasnya.

Baca Juga: Pilkada di Tengah Corona, BIN Soroti Soal Partisipasi Pemilih Sumut

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya