Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

PLTU Menyeret Kepri Mundur dari Abad Energi Bersih

IMG-20250929-WA0045.jpg
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berlokasi di kawasan PT Bintan Alumina Indonesia (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Intinya sih...
  • Di tengah surplus listrik nasional dan janji transisi energi rendah karbon, ekspansi PLTU batu bara di Kepulauan Riau justru memperlihatkan paradoks kebijakan energi yang kian menganga.
  • Status Proyek Strategis Nasional menjadi celah yang memungkinkan pembangkit fosil terus dibangun, meski bauran energi bersih masih stagnan dan kebutuhan listrik belum mendesak.
  • Penambahan PLTU baru di Kepri berisiko mengunci ketergantungan jangka panjang pada batu bara, sekaligus membebani keuangan negara melalui skema kontrak listrik yang rigid.
  • Di wilayah pesisir dan pulau kecil, dampak PLTU tidak hanya soal emisi, tetapi juga menyentuh ruang hidup nelayan, kualitas lingkungan laut, dan keadilan energi bagi masyarakat lokal.
  • Selama batu bara masih diposisikan sebagai penopang industrialisasi, komitmen menuju energi bersih berpotensi berhenti sebagai retorika, bukan arah pembangunan yang sungguh-sungguh.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Batam, IDN Times - Indonesia ingin menempatkan diri sebagai negara yang tengah bergegas menuju masa depan rendah karbon. Di berbagai forum internasional, pemerintah menegaskan komitmen terhadap Paris Agreement—menekan emisi gas rumah kaca, memperluas bauran energi bersih, serta memanfaatkan cadangan nikel nasional sebagai pilar industri kendaraan listrik. Transisi energi diposisikan sebagai jalan keluar dari ketergantungan pada batu bara menuju target net zero emission pada 2060.

Namun, di balik narasi tersebut, kontradiksi muncul dalam realitas sistem ketenagalistrikan nasional. Pasokan listrik saat ini berada dalam kondisi surplus, terutama di wilayah Jawa–Bali.

Kapasitas terpasang jauh melampaui kebutuhan beban puncak, sehingga cadangan daya berada pada level berlebih. Dalam situasi demikian, pembangunan pembangkit baru sulit dibenarkan jika hanya berdalih pada peningkatan permintaan energi.

Di lapangan, ruang ekspansi batu bara tetap terbuka melalui berbagai pengecualian. Pembangunan pembangkit fosil masih dimungkinkan sepanjang proyek dikategorikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) atau terintegrasi dengan industri bernilai tambah.

Kondisi itu terlihat jelas di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Di kawasan industri Galang Batang, Kabupaten Bintan, PT Bintan Alumina Indonesia (BAI) bersama PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK) telah mengoperasikan PLTU berkapasitas 160 megawatt sejak 2015. Kini, kawasan tersebut kembali diperkuat dengan rencana pembangunan PLTU baru berkapasitas 900 megawatt setelah masuk daftar PSN.

Sementara di Batam, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Sauh oleh PT Batamraya Sukses Perkasa—anak usaha Panbil Group, juga mencakup rencana pembangunan PLTU berkapasitas 2 x 150 megawatt untuk menopang kegiatan industri dan logistik.

Dalam kondisi kelebihan pasokan listrik, pembangunan PLTU baru berpotensi memperbesar beban keuangan negara dan konsumen melalui skema take or pay. Dampaknya tidak hanya bersifat fiskal, tetapi juga berlapis terhadap lingkungan hidup dan komunitas pesisir, terutama masyarakat yang menggantungkan hidup pada sumber daya laut.

Padahal, arah bauran energi nasional menuju energi terbarukan telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022. Studi Transparency International Indonesia menyoroti bahwa proses perizinan, pemilihan penyedia, serta minimnya tata kelola yang transparan membuka risiko manipulasi dan korupsi—terutama ketika status “strategis” digunakan untuk meloloskan proyek pembangkit fosil.

Dengan realitas kelebihan pasokan dan celah tata kelola yang masih menganga, narasi transisi energi rendah karbon berisiko kehilangan pijakan. Ekspansi batu bara yang dibingkai sebagai pembangunan strategis justru memperlihatkan kecenderungan mempertahankan pola lama, alih-alih benar-benar menapaki jalan menuju masa depan energi yang bersih dan berkeadilan.

Kepri akan tambah dua PLTU, komitmen energi bersih diragukan

Lokasi pembukaan lahan untuk kawasan PSN Tanjung Sauh, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Lokasi pembukaan lahan untuk kawasan PSN Tanjung Sauh, Kota Batam (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Komitmen Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dalam mendorong transisi energi kembali dipertanyakan setelah munculnya dua proyek PLTU swasta baru dalam rencana pengembangan kawasan industri strategis. Kedua pembangkit tersebut masih mengandalkan batu bara sebagai sumber utama energi.

Proyek pertama berada di kawasan PSN Galang Batang, Kabupaten Bintan. Kawasan ekonomi berbasis industri logam ini dikelola PT GBKEK, afiliasi PT BAI, untuk mendukung ekspansi produksi material turunan alumina yang selama ini masih bergantung pada impor.

Di Kampung Masiran, Bintan, perusahaan memperluas rantai industri penunjang alumina, termasuk produksi soda kostik serta pembangunan pelabuhan kontainer baru bersama mitra dari Singapura dan Tiongkok, dengan nilai investasi sekitar Rp30 triliun.

Sementara Pulau Poto dirancang sebagai klaster industri besar yang mencakup sektor otomotif, baja, petrokimia, mesin, elektronik, hingga galangan kapal, dengan investasi diperkirakan mencapai Rp50 triliun.

Untuk memenuhi kebutuhan energi kawasan tersebut, perusahaan berencana membangun PLTU baru berkapasitas 900 MW. “Target realisasinya lima tahun,” kata Direktur PT GBKEK sekaligus Direktur Utama PT BAI, Santoni, 29 Juli 2025.

Saat ini, kepemilikan saham PT BAI didominasi Global Aluminum International Pte Ltd sebesar 72,7 persen—perusahaan patungan Nanshan Aluminum Singapore Pte Ltd (95 persen) dan Redstone Group (5 persen). Sisanya dimiliki Press Metal Aluminium Holdings Bhd (25 persen) dan PT Mahkota Karya Utama (2,3 persen).

Ekspansi PLTU berbahan bakar batu bara juga terjadi di Batam melalui pengembangan KEK dan PSN Tanjung Sauh. Kawasan ini dikembangkan PT Batamraya Sukses Perkasa bekerja sama dengan China Communications Construction Company Ltd, dengan total investasi mencapai Rp190 triliun dalam 20 tahun.

Pengembangan KEK dan PSN Tanjung Sauh mencakup area seluas 840,67 hektar, terdiri atas daratan dan perairan. Sebagai penopang energi kawasan, perusahaan menyiapkan pembangkit listrik berbasis kombinasi tenaga surya dan PLTU batu bara berkapasitas 2 x 150 MW.

“Investor pembangkit masih dalam proses,” kata Direktur Utama PT Batamraya Sukses Perkasa, Anwar, 29 November 2025.

Rencana pembangunan dua PLTU baru ini dinilai bertentangan dengan pernyataan Gubernur Kepri Ansar Ahmad yang menyebut batu bara bukan lagi pilihan energi masa depan daerah.

Komitmen pemerintah untuk transisi energi

Screenshot_2025-12-15-03-10-53-398_com.miui.gallery-edit.jpg
Masyarakat Bajau saat melaut di perairan Bintan Timur dengan latar belakang PLTU (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau menegaskan komitmennya untuk mendorong transisi energi menuju sumber yang lebih bersih. Meski kapasitas listrik dinilai masih mencukupi, investasi energi ke depan diarahkan agar tidak menambah ketergantungan pada batu bara.

Gubernur Kepri Ansar Ahmad mengatakan pemerintah daerah telah memberikan dukungan terhadap pengembangan energi baru terbarukan. Namun, implementasi sejumlah proyek masih menunggu penyempurnaan kebijakan di tingkat pusat.

“Kepri tidak ingin menjadi penyumbang masalah iklim hanya karena masih bergantung pada batu bara. Batu bara bukan hanya tidak ramah lingkungan, tapi secara ekonomi juga kalah bersaing dengan gas,” kata Ansar.

Ia menekankan bahwa transisi energi harus memberi manfaat langsung bagi daerah, termasuk melalui hilirisasi industri berbasis energi bersih.

Namun, di lapangan, kebutuhan energi Kepri masih ditopang pembangkit fosil, sementara rencana pembangunan PLTU swasta di beberapa kawasan industri dinilai belum sejalan dengan arah kebijakan jangka panjang.

Listrik Batam surplus, energi bersih masih minim

Petugas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Tanjung Uma, Kota Batam saat melakukan pengecekan panel surya (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)
Petugas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Tanjung Uma, Kota Batam saat melakukan pengecekan panel surya (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Di sisi lain, PLN Batam memastikan sistem kelistrikan Batam berada dalam kondisi aman sepanjang 2025. Total kapasitas terpasang mencapai 1.217 MW, dengan beban puncak sekitar 745 MW, sehingga terdapat cadangan daya sekitar 31,9 persen.

Bauran energi Batam masih didominasi gas sebesar 84,18 persen, diikuti batu bara 15,64 persen. Energi baru terbarukan baru menyumbang 0,03 persen.

Meski demikian, PLN Batam menyatakan mulai menyiapkan proyek PLTS, PLTMG, serta sistem penyimpanan energi, sekaligus mendorong interkoneksi Sumatera–Batam untuk memanfaatkan potensi EBT dari luar pulau.

“PLTU bukan lagi opsi utama. Arah pengembangan ke depan lebih banyak ke gas dan energi bersih,” kata Manager Komunikasi PLN Batam, Yoga.

Namun, selama rencana pembangunan PLTU batu bara masih muncul di kawasan industri strategis, pertanyaan tentang konsistensi arah kebijakan energi Kepri tetap mengemuka—antara komitmen transisi energi dan dorongan menarik investasi berbasis energi murah.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

[Update] Korban Jiwa Bencana Sumut 369 Orang, 72 Belum Ditemukan

23 Des 2025, 13:33 WIBNews