Perubahan Iklim di Kepulauan Riau Tak Lahir dari Ruang Hampa

- Perubahan iklim berakar dari keputusan energi di darat, terutama ketergantungan pada PLTU batu bara, namun dampaknya paling cepat dan berat dirasakan di wilayah laut dan pesisir.
- Di Kepulauan Riau, ekspansi industri dan rencana pembangunan PLTU baru bertolak belakang dengan komitmen transisi energi, sekaligus memperparah kerentanan ekosistem laut dan masyarakat pesisir.
- Masyarakat adat Suku Laut kehilangan kemampuan membaca alam akibat perubahan iklim dan penyempitan ruang hidup oleh reklamasi serta industrialisasi pesisir.
- Upaya pemulihan iklim melalui karbon biru—karang, mangrove, dan lamun menyimpan harapan besar, tetapi terancam oleh tekanan pelabuhan, reklamasi, dan proyek industri berskala besar.
- Tanpa pengakuan hak masyarakat adat dan konsistensi kebijakan energi berkeadilan, agenda iklim Indonesia berisiko menjadi retorika yang justru mengorbankan penjaga ekosistem di garis depan krisis iklim.
Batam, IDN Times - Perubahan iklim tidak lahir dari ruang hampa. Ia bertumbuh dari keputusan energi yang diambil di darat, namun dampaknya lebih cepat tiba di laut. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara menjadi salah satu sumber utama emisi gas rumah kaca yang mempercepat pemanasan global, sekaligus mengubah ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya.
Di wilayah kepulauan seperti Provinsi Kepulauan Riau, panas yang terperangkap di atmosfer meresap ke laut, mengacaukan pola angin, arus, dan musim ikan. Laut yang selama ratusan tahun dapat “dibaca” oleh masyarakat adat seperti Suku Laut dan Bajau kini menjadi semakin sulit diprediksi. Ironisnya, di tengah komitmen transisi energi rendah karbon, pembangunan PLTU baru justru terus didorong untuk menopang kawasan industri di pesisir.
Kepulauan Riau menjadi salah satu contohnya. Komitmen Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dalam mendorong transisi energi menuju sumber bersih kembali dipertanyakan, setelah dua proyek PLTU swasta berbahan bakar batu bara muncul dalam rencana pengembangan kawasan industri strategis di wilayah ini. Kehadiran pembangkit baru itu dinilai bertolak belakang dengan narasi pengurangan emisi yang kerap disuarakan pemerintah daerah.
Proyek PLTU swasta pertama direncanakan di kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Galang Batang, Kabupaten Bintan. Kawasan ekonomi berbasis industri logam tersebut dikelola PT Galang Batang Kawasan Ekonomi Khusus (GBKEK), afiliasi PT Bintan Alumina Indonesia (BAI). Pembangunan kawasan ini ditujukan untuk mendukung ekspansi produksi material turunan alumina yang selama ini masih bergantung pada impor.
Di Kampung Masiran, Kabupaten Bintan, perusahaan ini tengah memperluas rantai industri penunjang alumina, termasuk pembangunan fasilitas produksi soda kostik serta pelabuhan kontainer baru bersama mitra dari Singapura dan Tiongkok. Nilai investasi proyek ini diperkirakan mencapai Rp30 triliun.
Ekspansi industri tersebut juga akan diperluas ke Pulau Poto, yang dirancang sebagai klaster kawasan industri berskala besar. Kawasan ini direncanakan menampung industri otomotif, baja, petrokimia, mesin, elektronik, hingga galangan kapal. Untuk menunjang aktivitas tersebut, perusahaan menyiapkan pembangunan pelabuhan logistik dan reklamasi pelabuhan dengan nilai investasi sekitar Rp50 triliun.
Guna memenuhi kebutuhan energinya, pengelola kawasan berencana membangun PLTU baru berkapasitas 900 megawatt (MW). “Target realisasinya lima tahun,” ujar Direktur PT GBKEK sekaligus Direktur Utama PT Bintan Alumina Indonesia, Santoni, pada 29 Juli 2025.
Saat ini, struktur kepemilikan PT BAI dikuasai 72,7 persen oleh Global Aluminum International Pte Ltd, perusahaan patungan Nanshan Aluminum Singapore Pte Ltd (95 persen) dan Redstone Group (5 persen). Sementara itu, Press Metal Aluminium Holdings Bhd menguasai 25 persen saham, dan PT Mahkota Karya Utama memiliki 2,3 persen saham.
Di tengah dominasi investasi asing pada proyek energi dan industri di Bintan tersebut, rencana pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara juga meluas ke wilayah lain di Kepulauan Riau.
Selain di Bintan, proyek PLTU swasta juga mencuat di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan PSN di Pulau Tanjung Sauh, Batam. Kawasan ini dikembangkan oleh PT Batamraya Sukses Perkasa, anak usaha Panbil Group. Total nilai investasi proyek ini direncanakan mencapai Rp190 triliun dalam kurun waktu 20 tahun.
Dalam tujuh tahun terakhir, Panbil Group menandatangani sejumlah nota kesepahaman dengan investor dari Tiongkok, Singapura, dan Jepang. Chairman Panbil Group, Johanes Kennedy Aritonang menyebut industri yang akan masuk mencakup sektor ringan hingga berat. “China tetap menjadi yang pertama dan terbesar,” katanya kepada IDN Times beberapa waktu lalu.
Pengembangan KEK Tanjung Sauh mencakup area seluas 840,67 hektare, terdiri atas 703,8 hektare daratan dan 136,87 hektare perairan. Perusahaan mengklaim telah menguasai 502,15 hektare atau sekitar 59,7 persen lahan melalui kombinasi hak guna bangunan (HGB), ganti rugi lahan, serta kontrak sewa jangka panjang.
Sebagai penopang energi kawasan, Panbil Group menyiapkan pembangkit listrik dengan kombinasi tenaga surya dan PLTU berbahan bakar batu bara. “Kapasitasnya 2 x 150 MW,” kata Direktur Utama PT Batamraya Sukses Perkasa, Anwar, pada 29 November 2025. Hingga kini, investor penyandang dana pembangunan pembangkit tersebut belum diumumkan secara terbuka.
Rencana pembangunan dua PLTU baru ini dinilai berlawanan dengan arah kebijakan transisi energi Kepulauan Riau, terutama setelah Gubernur Kepri Ansar Ahmad secara terbuka menyatakan bahwa batu bara tidak lagi menjadi pilihan energi masa depan daerah. Di tengah tekanan krisis iklim dan komitmen pengurangan emisi, keputusan memperluas pembangkit fosil justru menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi arah pembangunan energi di provinsi kepulauan tersebut.
Ilmu Alam Terdegradasi Krisis Iklim

Ilmu alam menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan sekadar akibat peningkatan suhu global, melainkan hasil dari akumulasi gas rumah kaca yang terdistribusi tidak merata dampaknya. Karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida yang dilepaskan dari pembangkit listrik, industri, dan transportasi di satu wilayah dapat bertahan di atmosfer selama puluhan hingga ratusan tahun, bergerak lintas batas negara, dan memengaruhi sistem bumi secara menyeluruh. Namun, beban terberatnya justru kerap jatuh pada wilayah yang kontribusi emisinya paling kecil.
Wilayah pesisir dan kepulauan seperti Kepulauan Riau berada di garis depan krisis ini. Kenaikan suhu permukaan laut, perubahan pola angin musiman, serta meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem menjadi manifestasi nyata dari ketidakseimbangan iklim global.
Bagi komunitas yang hidupnya bergantung pada keteraturan alam—angin, arus, pasang, dan musim, perubahan kecil sekalipun dapat berujung pada kerentanan ekonomi dan hilangnya pengetahuan turun-temurun.
Distribusi dampak krisis iklim juga mencerminkan ketimpangan struktural dalam pembangunan. Sektor industri dan energi yang menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca sering kali terpusat di kawasan tertentu, sementara dampak ekologisnya menjalar ke wilayah lain melalui laut dan atmosfer.
Dalam konteks Kepulauan Riau, industrialisasi pesisir dan pembangunan infrastruktur energi berkelindan dengan perubahan iklim global, menciptakan tekanan ganda bagi ekosistem laut dan masyarakat adat yang menjaganya.
Transisi energi dan ambisi industrialisasi itu tidak berlangsung dalam ruang hampa. Tekanan terhadap lingkungan pesisir terus meningkat, sementara perubahan iklim perlahan menggerus cara hidup masyarakat yang bergantung pada laut dari generasi ke generasi.
Di atas geladak perahu kayu yang terombang pelan, Jembol menengadah memandangi langit. Malam itu, rasi bintang samar terlihat—petunjuk pasti bagi Suku Laut untuk menempuh perjalanan jauh mencari ikan, atau yang mereka sebut berkelam. Namun kini, katanya, tanda-tanda itu tidak lagi bisa sepenuhnya dipercaya.
“Kami diajari membaca laut sejak kecil. Bapak saya bilang, ikuti angin dari rasi bintang. Tapi sekarang, angin barat baru sebentar, tiba-tiba timur datang lebih cepat. Kalau salah hitung, kami pulang rugi,” kata Jembol, Suku Laut Kawal Laut di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Di Tajur Biru, Kabupaten Lingga, keluhan serupa datang dari pria Suku Laut bernama Nudi (38). Sejak kecil ia dibimbing ayahnya tentang cara membaca arus belok—arus khusus yang menjadi petunjuk lokasi berkumpulnya ikan pelagis di perairan Lingga.
“Biasanya saat arus belok muncul, ikan banyak. Tapi sekarang arus itu seperti tersesat,” kata Nudi.
Perubahan pola laut membuat beberapa tradisi perikanan hilang pelan-pelan. Nudi mengatakan bahwa dulu Suku Laut menjaring ikan menggunakan pengetahuan tandak, yakni kebiasaan ikan yang muncul pada bulan tertentu.
“Dulu, bulan gelap kami yakin dapat penuh. Tapi sekarang, bulan gelap pun belum tentu ikan ada,” tuturnya.
Ia menyebut musim angin utara yang mestinya datang pada akhir tahun, kini kerap meleset. Saat angin datang terlalu cepat atau terlalu kuat, operasi tangkap ikan kecil seperti perahu dayung tidak mungkin berlayar. Anak-anak muda Tajur Biru banyak yang memilih bekerja di darat. “Saya takut nanti tidak ada lagi yang tahu cara membaca laut."
Lebih ke utara, di komunitas Suku Laut Pulau Gara, Kota Batam—Ahad (50) tidak hanya menghadapi laut yang berubah, tetapi juga pesisir yang mengecil. Ia mengangkat keranjang kosong dari buritan perahu, lalu duduk memandang ke arah kawasan industri dan reklamasi yang terus menambah luas daratan.
“Tempat kami mencari kerang dulu sekarang jadi tanah. Ikan kecil lari ke tengah, kami tidak bisa kejar,” kata Ahad.
Ahad mengaku beberapa jenis ikan yang dulu menjadi sumber hidup Suku Laut, seperti kurisi dan selar kini semakin jarang terlihat di sekitar terumbu karang dangkal. Selain itu, gelombang tinggi datang tanpa “salam” dari angin yang biasanya menjadi tanda.
“Angin dulu punya aturan. Sekarang dia marah tanpa peringatan,” katanya.
Baginya, perubahan laut bukan sekadar persoalan cuaca, melainkan persoalan ruang hidup. Ahad yang sejak kecil tinggal di perahu kini sering merasa asing di laut sendiri. “Kami bukan pindah rumah. Rumah kami yang hilang."
Ketiganya memiliki cerita berbeda, tetapi inti persoalannya sama: perubahan iklim dan perubahan pemanfaatan pesisir membuat pengetahuan yang menjadi identitas Suku Laut selama ratusan tahun kian tidak relevan diterapkan. Laut yang dulu dapat “dibaca” seperti buku terbuka kini penuh halaman kosong dan kalimat patah-patah.
Perubahan pola angin musiman, kenaikan suhu laut, berkurangnya terumbu karang, hingga aktivitas reklamasi membuat laut di Kepulauan Riau kian sulit diprediksi. Waktu yang salah dalam berlayar bisa berarti hilangnya seluruh modal, dan semakin banyak keluarga yang harus berhemat hanya untuk menyambung hidup.
Namun di tengah ketidakpastian itu, Jembol, Nudi, dan Ahad masih terus turun ke laut. Bukan semata mencari ikan, tetapi mempertahankan warisan yang telah teruji jauh lebih lama daripada umur negara—pengetahuan yang lahir dari kesetiaan manusia membaca laut, sebelum dunia berubah menjadi terlalu panas dan terlalu cepat.
Upaya Pemulihan Iklim Melalui Sektor Karbon Biru
Pesisir Bintan Timur kini menjadi salah satu panggung penting upaya pemulihan iklim melalui ekonomi biru dan penguatan karbon biru (blue carbon). Pemerintah menempatkan ekosistem laut—karang, mangrove, dan lamun sebagai penyangga utama dalam mitigasi emisi nasional, sesuai komitmen iklim Indonesia di tingkat global.
Namun, tekanan industrialisasi pesisir yang terus berkembang menghadirkan paradoks: ekosistem yang menjadi harapan pemulihan iklim justru menghadapi ancaman kerusakan yang semakin nyata.
Di bagian selatan Perairan Desa Teluk Bakau, penyelam dari Bintan Coral Restoration (BCR) bekerja rutin memulihkan karang yang rusak. Sejak memulai program restorasi, mereka telah berhasil merehabilitasi area seluas 20 meter x 15 meter dari rencana 20 meter x 50 meter di sekitar Kelong Bintan Black Coral.
“Bibit karang yang kami gunakan sebagian besar berasal dari genus Acropora sp. Karena tersedia lebih banyak di lapangan dan memiliki laju pertumbuhan serta tingkat kelangsungan hidup yang baik,” kata Leader Bintan Coral Restoration, Rudi. Selain Acropora, tim juga membudidayakan Pocilopora, Psammocora, dan Porites.
Pemantauan dalam 90 hari terakhir menunjukkan pertumbuhan karang yang menjanjikan di tiga media berbeda. Pertumbuhan karang pada media substrat karang mati mencapai rata-rata 1,90 sentimeter, media coral table berbahan semen 1,68 sentimeter, dan media botol kaca 1,63 sentimeter. Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate karang mencapai 80–90 persen.
“Ini menunjukkan bahwa habitat masih punya daya pulih. Namun dukungan lingkungan di sekitarnya harus benar-benar dijaga,” ungkapnya.
Butir-butir harapan itu bergerak bersamaan dengan tantangan besar. Di wilayah yang sama, pemerintah merencanakan pembangunan dua pelabuhan besar untuk menunjang proyek industri nasional di Galang Batang.
Kawasan tersebut akan menjadi simpul logistik bagi aktivitas pertambangan dan manufaktur. Namun di bawah permukaan laut, karang menghadapi risiko sedimentasi, kebisingan, dan pencemaran yang dapat menghambat fotosintesis alga simbion dalam jaringan karang.
“Risiko utamanya adalah meningkatnya sedimentasi akibat lalu lintas kapal dan aktivitas reklamasi, serta perubahan kualitas air laut,” ujar Rudi. “Artinya karang dalam radius pengembangan pelabuhan berada dalam kondisi yang paling rentan.”
Belum ada kajian resmi atau komunikasi langsung antara BCR dengan pemerintah maupun pengembang Proyek Strategis Nasional. “Kami berharap ada ruang koordinasi yang jelas sehingga upaya konservasi tidak berjalan sendiri,” katanya.
Jika pengendalian lingkungan tidak dilakukan dengan ketat, akumulasi tekanan industri dapat memicu kerusakan jangka panjang. “Penurunan tutupan karang pada akhirnya akan berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber penghidupan masyarakat pesisir,” tutur Rudi.
BCR mendorong pengawasan yang lebih ketat, termasuk pengaturan jalur pelayaran, pembatasan reklamasi di zona sensitif, serta pemantauan kualitas air secara rutin.
“Perusahaan juga perlu terlibat langsung mendukung kegiatan konservasi dan edukasi lingkungan,” lanjutnya.
Masyarakat lokal menjadi bagian penting dalam program ini, mulai dari penanaman bibit karang, monitoring rutin, hingga pemeliharaan nursery. Hingga 2025, sebanyak 21 relawan aktif terlibat dalam berbagai kegiatan lapangan. BCR juga menggandeng Mahasiswa Maritim Diving Club Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) untuk memperkuat transplantasi dan pemantauan.
“Konservasi tidak mungkin berhasil tanpa masyarakat yang menjaga laut sebagai ruang hidup mereka sendiri,” kata Rudi.
Ketika geliat industri terus bergerak di pesisir Bintan Timur, upaya restorasi karang menjadi pengingat bahwa pembangunan harus mengutamakan keberlanjutan. Jika terumbu karang hilang, bukan hanya potensi blue carbon yang lenyap, tetapi pula masa depan ekosistem laut dan warga yang bergantung padanya.
Upaya penyelamatan terumbu karang hanyalah satu bagian dari gambaran besar ekosistem pesisir yang saling terhubung. Di dasar perairan yang lebih dangkal, hamparan lamun bekerja senyap menyerap karbon, menahan pasir, dan menyediakan sumber pangan bagi biota laut. Namun seperti karang, lamun juga menghadapi tekanan dari arah yang sama: pembangunan industri dan pelabuhan.
Konservasi padang lamun di Bintan kian mendesak dilakukan. Ekosistem yang menjadi rumah bagi dugong, penyangga erosi pantai, dan penyokong perikanan nelayan itu terancam oleh masifnya pembangunan pelabuhan serta kawasan industri di pesisir timur.
Lamun Warior, komunitas yang fokus menjaga padang lamun, aktif melakukan restorasi di Perairan Bintan Timur dalam beberapa tahun terakhir. CEO Lamun Warior, Siti Nurohmatiljanah Setiawan mengatakan, sedikitnya 675 meter persegi padang lamun telah dipulihkan.
“Berdasarkan pemantauan kami, terlihat adanya penurunan tutupan lamun di Bintan Timur jika membandingkan generasi tua ke generasi muda masyarakat pesisir yang masih mengingat kondisi sebelumnya,” kata Siti.
Indonesia memiliki padang lamun terluas kedua di dunia setelah Australia. Namun ekosistem ini masih sering luput dalam perencanaan iklim dan tata kelola pesisir, meskipun memiliki kemampuan menyimpan karbon hingga 35 kali lebih cepat dari hutan hujan tropis.
Menurut Siti, kondisi lamun Bintan sebenarnya masih lebih baik dibanding Pangandaran dan Jepara, yang dijadikan pembanding. “Harusnya serapan karbonnya pun tinggi. Tetapi angka pastinya harus dihitung berdasarkan luasan yang ada. Saat ini kami justru menghadapi masalah penurunan tutupan itu sendiri,” katanya.
Lamun Warior juga mengembangkan Lamun Calculator, teknologi penghitungan karbon berbasis komunitas yang dapat diakses publik. Namun belum ada kolaborasi resmi dengan pemerintah atau kampus dalam penyusunan data potensi blue carbon Bintan secara menyeluruh.
Tekanan industri semakin dekat. “Jika hotel dan resort saja dapat menimbulkan tekanan besar, maka pelabuhan jelas berisiko lebih tinggi,” Siti menegaskan. Sedimentasi akibat reklamasi, kekeruhan air dari lalu lintas kapal, hingga potensi tumpahan bahan bakar dapat mematikan lamun secara perlahan.
“Mereka tiga ekosistem yang saling terkait. Jika satu rusak, maka fungsi yang lain tidak akan optimal,” ujarnya.
Dukungan kebijakan dan pendanaan untuk konservasi lamun disebut masih jauh tertinggal dibanding ekosistem pesisir lainnya. “Lamun sering dianaktirikan. Banyak yang belum mengenal fungsinya, sehingga masyarakat merasa tidak apa-apa memotong lamun karena dianggap mengotori pantai,” ucap Siti.
Lamun Warior berharap pemerintah dapat memperkuat perlindungan pesisir berbasis kebijakan iklim, serta mendorong kolaborasi pentaheliks—pemerintah, akademisi, komunitas, dunia usaha, dan media—agar ekosistem penyerap karbon biru itu mendapat perhatian setara dalam perencanaan pembangunan.
Masyarakat Adat dan Agenda Iklim Indonesia

Di atas gelombang perairan Bintan dan Lingga, Suku Laut hidup dari arah angin, arus, dan rasi bintang, pengetahuan turun-temurun yang membimbing mereka menentukan musim ikan hingga arah pelayaran. Namun, kini penanda alam itu kian sulit dibaca. Perubahan iklim mempermainkan arah angin dan membuat laut menjadi lebih cepat berubah.
Ketika negara berbicara lantang dalam forum iklim global—menyatakan kesiapan menuju transisi energi hijau, Suku Laut seperti Jembol di Kawal Laut, Bintan, tak melihat perubahan itu sebagai harapan. Mereka justru merasakan laut makin sempit, sementara ancaman industrialisasi terus mendekat dari daratan.
Situasi inilah yang menjadi sorotan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Deputi Sekjen AMAN, Eustobio Rero Renggi menilai, komitmen iklim Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) masih belum menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama dalam pembangunan berkelanjutan.
“Wilayah adat adalah benteng utama mitigasi iklim. Tetapi pengakuan hukumnya masih sangat minim,” katanya.
Menurut AMAN, dari lebih dari 33,6 juta hektare wilayah adat yang sudah dipetakan dan diserahkan resmi kepada pemerintah, baru sebagian kecil yang diakui. Pemerintah memang mencanangkan target mengembalikan 1,4 juta hektare hutan adat, tetapi angka itu masih jauh dari kebutuhan perlindungan nyata di lapangan.
“Dokumen NDC kita masih berorientasi pada proyek, bukan pada penguatan hak-hak masyarakat adat,” ujar Rero.
Di panggung internasional, Indonesia berbicara soal inklusi dan hak asasi. Namun di laut, pulau, dan hutan, masyarakat adat masih berhadapan dengan kenyataan pahit: konflik lahan, penggusuran, dan kriminalisasi.
Di Bintan, pembangunan kawasan industri dan proyek strategis nasional mulai merangsek ke desa pesisir. Nelayan adat yang turun-temurun berlayar di Teluk Bakau kehilangan ruang tangkap karena wilayah laut diklaim sebagai zona reklamasi. Di Lingga, Nudi—Suku Laut dari Tajur Biru mengaku sering diusir ketika kapal-kapal besar memasuki perairan yang mereka anggap sebagai ruang hidup.
“Ada jurang antara diplomasi dan realitas,” kata Rero. “Negara belum sepenuhnya meninggalkan paradigma eksploitasi sumber daya.”
Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) yang seharusnya menjadi dasar setiap pengambilan keputusan jarang diterapkan. Proyek berjalan lebih dulu; masyarakat adat diberi tahu kemudian—itu pun bila diberi tahu.
Rero menilai bahwa istilah “transisi energi berkeadilan” saat ini masih retorika selama masyarakat adat justru menanggung beban pembangunan hijau.
“Wilayah adat dikorbankan untuk tambang nikel, PLTA, geothermal, atau proyek infrastruktur. Ini kontradiktif,” ujarnya. “Siapa yang menikmati manfaat? Siapa yang menanggung resikonya?”
Menurutnya, keadilan energi tidak cukup dengan mengganti batu bara menjadi energi terbarukan. Ia harus menjawab pertanyaan mendasar: siapa yang berkuasa atas tanah dan laut? Sebab bagi Suku Laut seperti Ahad di Pulau Gara, Batam, kehilangan ruang laut berarti kehilangan identitas. “Kami akan hilang kalau laut dirusak,” kata Ahad dalam perbincangan terpisah. “Laut itu hidup kami.”
AMAN menegaskan bahwa langkah-langkah mendesak harus segera ditempuh agar komitmen iklim Indonesia tidak berhenti sebagai diplomasi angka emisi semata.
Pemerintah, menurut mereka, harus terlebih dahulu mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai landasan hukum yang kokoh bagi perlindungan kolektif komunitas adat di seluruh Nusantara.
Upaya tersebut perlu diikuti percepatan penetapan wilayah adat dengan mengintegrasikan peta partisipatif masyarakat ke dalam sistem tata ruang nasional sehingga ruang hidup adat tidak terus tergerus oleh ekspansi industri.
Di saat yang sama, penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) wajib dijalankan dalam setiap proyek pembangunan yang menyentuh wilayah adat—termasuk proyek iklim dan energi yang sering diklaim ramah lingkungan.
Pendanaan iklim pun harus dapat mengalir langsung kepada komunitas adat, bukan hanya melalui lembaga negara dan perantara yang kerap mengaburkan manfaat bagi penjaga wilayah itu sendiri. Dan di atas semua itu, negara perlu menghentikan praktik kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya, sebab perjuangan mereka bukanlah bentuk perlawanan, melainkan upaya menjaga masa depan ekosistem yang menjadi penyangga iklim dunia.
“Jika pemerintah serius dengan keadilan ekologis, masyarakat adat harus ditempatkan sebagai mitra utama, bukan sekadar objek pembangunan,” tegas Rero.
Jejak keberadaan Suku Laut di Kepulauan Riau tercatat jelas dalam arsip kolonial. Salah satunya muncul pada peta buatan pejabat Belanda, K.F. Holle, pada 1889 bertajuk Schets-Taalkaart van den Riouw en Lingga-Archipel. Peta berskala 1:750.000 itu bukan hanya menggambarkan batas kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga pada abad ke-19, tetapi juga mencantumkan komunitas yang disebut “Orang Laoetsch”, merujuk pada Suku Laut.
Tanda-tanda itu tersebar di Lingga, Batam, Karimun, hingga Bintan Timur—menunjukkan bahwa komunitas ini telah lama mendiami kawasan itu dan membentuk peradaban maritim jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.
Peneliti BRIN, Dedi Supriadi Adhuri menilai catatan sejarah tersebut penting untuk dibaca kembali di tengah percepatan pembangunan pesisir. Sebagai antropolog, Dedi melihat pola yang konsisten sejak masa kolonial: kebijakan pembangunan Indonesia cenderung bias daratan. Akibatnya, masyarakat pesisir kerap berada di posisi marjinal—tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan, tetapi justru paling terdampak oleh perubahan ruang hidup.
“Komunitas pesisir, termasuk Suku Laut, sudah lama berada dalam bayang-bayang marginalisasi. Mereka tidak masuk dalam desain kebijakan, tetapi menjadi kelompok pertama yang menanggung akibatnya,” kata Dedi.
Dalam penelitiannya di Bintan Timur, Dedi menemukan bahwa Suku Laut masih menjaga prinsip-prinsip pengelolaan laut berbasis tradisi. Mereka menangkap ikan secukupnya dan mematuhi pantangan untuk tidak mengeksploitasi sumber daya laut secara berlebihan. Praktik itu sejalan dengan prinsip konservasi global yang tengah didorong melalui skema other effective area-based conservation measures (OECM).
Namun, praktik itu kini menghadapi tekanan besar. Pembabatan mangrove, reklamasi, dan perluasan kawasan industri mengubah ekosistem pesisir yang menjadi ruang hidup Suku Laut. Di beberapa titik, sedimentasi akibat pembukaan lahan membuat perairan keruh dan mengganggu jalur migrasi ikan. Kondisi itu membuat ikan makin sulit ditemukan, sementara nelayan kecil tidak mampu bersaing dengan teknologi kapal industri.
“Mereka terhimpit dari dua arah. Di darat, ruang hidup menyempit akibat industri. Di laut, wilayah tangkap semakin tergerus,” ujarnya.
Merespons persoalan tersebut, Dedi menilai pembangunan industri darat perlu dikendalikan agar tidak menimbulkan dampak ekologis yang lebih besar di wilayah pesisir.
Sebagai alternatif, Dedi merekomendasikan model pembangunan berbasis ekowisata inklusif yang memberi ruang bagi partisipasi masyarakat lokal. Model ini dinilai mampu memberikan manfaat ekonomi tanpa merusak ekosistem yang selama ini menjadi basis kehidupan Suku Laut.
Namun sebagian peneliti, ia melihat situasi di sejumlah kawasan—termasuk Pulau Poto dan pesisir tertentu di Bintan Timur, sudah mencapai titik kritis. Di wilayah-wilayah itu, mereka menilai mitigasi tidak lagi memadai. Salah satu opsi yang harus dipertimbangkan adalah menunda atau menghentikan pembangunan industri sepenuhnya.
“Hilangnya mangrove, rusaknya terumbu karang, dan tersingkirnya komunitas adat merupakan kerugian yang tidak sebanding dengan nilai investasi,” tegasnya. “Keberlanjutan ekologi dan sosial harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap keputusan negara.”
PLTU Baru jadi Kontradiksi Transisi Energi

Rencana pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive berbahan bakar batu bara di kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) Galang Batang, Bintan Timur, serta Tanjung Sauh, Batam, kembali menuai kritik. Pegiat lingkungan memandang langkah ini bertentangan dengan komitmen transisi energi dan dikhawatirkan memperburuk kondisi pesisir serta masyarakat tradisional yang kehidupannya bergantung pada laut.
Juru kampanye energi dari Trend Asia, Novita Indri Pratiwi menilai, kebijakan tersebut saling bertolak belakang dengan target pengurangan emisi nasional.
“Rencana pembangunan PLTU ini semakin memperkuat gambaran bahwa pemerintah mempercepat transisi energi secara lambat dan saling bertentangan dengan kebijakan lainnya. Di satu sisi ada keputusan presiden yang mendorong pembatasan PLTU, Namun Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 masih memberikan kelonggaran untuk penambahan PLTU bagi kawasan industri,” ujarnya.
Jika pembangunan berjalan, kapasitas emisi batu bara di sektor industri Kepri meningkat cukup signifikan. Sementara komitmen penurunan emisi dinilai masih lemah.
“Komitmen iklim kita tidak diatur secara serius. Dapat dilihat dalam dokumen Strategi Nasional Jangka Panjang Penurunan Emisi atau SNDC yang baru disampaikan bulan lalu; ambisinya tidak kuat dan tidak mengatur lebih lanjut bagaimana emisi dari pembangkit milik swasta dikontrol, padahal pembangkit swasta juga berkontribusi besar pada total emisi,” kata Novita.
Ia mengingatkan bahwa contoh buruk telah terjadi di berbagai wilayah industri. “Seperti di kawasan industri lain, misalnya Weda Bay, sejumlah kajian menunjukkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan dampaknya langsung dialami masyarakat setempat.”
Menurutnya, jika PLTU baru beroperasi, kualitas ekosistem perairan dipastikan terdampak. Dampak terbesar yang berpotensi terjadi adalah perubahan ekosistem laut karena pembuangan air bahang dari pembangkit. Sering kali air panas itu tidak diolah terlebih dahulu dan langsung dialirkan ke laut secara akumulatif dapat merusak terumbu karang, padang lamun, mangrove, hingga memengaruhi populasi ikan.
"Belum lagi risiko peristiwa tak terduga seperti tumpahnya muatan batu bara dari tongkang yang mencemari pesisir,” ujarnya.
Di pesisir Bintan dan Batam, Suku Laut yang menggantungkan hidup pada penangkapan ikan tradisional kini menghadapi situasi yang semakin sulit. Perubahan iklim telah mengganggu pengetahuan navigasi turun-temurun yang mereka sebut sebagai “ilmu alam”.
Jika pembangunan PLTU baru menambah tekanan pada ekosistem laut, ruang hidup mereka akan semakin menyempit. Novita menegaskan dampak sosial tidak kalah besar. Ada kekhawatiran kebijakan ini akan menciptakan kemiskinan struktural karena masyarakat kehilangan sumber
Penghidupan yang telah mereka jalani secara turun-temurun. Jargon bahwa pembangunan industri, apalagi berstatus proyek strategis nasional, akan membawa kesejahteraan patut dipertanyakan. “kesejahteraan untuk siapa?”
Ia juga menyoroti kurangnya keterbukaan informasi mengenai emisi. “Trend Asia bersama koalisi pernah meminta data emisi PLTU Suralaya dan Ombilin kepada PLN. Perusahaan negara itu tidak memberikan data, hingga kini tidak pernah dibuka kepada publik. Padahal Perpres 112/2022 mewajibkan pembangkit untuk mengurangi emisi sebesar 35 persen dalam sepuluh tahun dan data itu harus dapat diakses publik,” kata Novita.
Menurutnya, transisi energi Indonesia belum mencerminkan keadilan iklim. Energi terbarukan tidak didorong secara serius, lambat, dan setengah hati. Sementara masyarakat lokal yang terdampak tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Ini pelanggaran atas prinsip keadilan iklim.
Ia menyatakan pemerintah masih memiliki peluang memperbaiki kebijakan secara bermakna. “Sikap yang realistis adalah menjalankan prosedur perizinan secara ketat, memastikan masyarakat dilibatkan penuh dan bermakna dalam setiap pengambilan keputusan, serta memperbaiki kualitas perlindungan ekosistem secara nyata,” ucapnya.
Peningkatan kapasitas jaringan listrik yang sudah ada disebutnya lebih bijak ketimbang menambah PLTU baru. “Kepri saat ini tidak mengalami defisit listrik. Seharusnya pemerintah fokus memaksimalkan pasokan yang ada sambil membenahi kepatuhan lingkungan di PLTU yang telah beroperasi.”
Trend Asia dan kelompok masyarakat sipil kini juga menempuh jalur hukum untuk memastikan regulator mengeluarkan energi fosil, termasuk batu bara, dari rencana energi nasional dan mendorong percepatan energi bersih.
Di tengah narasi kemajuan industri yang digerakkan dari pesisir Kepri, masyarakat adat laut justru berjibaku untuk mempertahankan hidup. Bagi mereka, ketika laut rusak, masa depan pun memudar.
“Pertanyaan besarnya kini semakin jelas: apakah transisi energi Indonesia benar-benar berpihak pada keberlanjutan dan manusia yang hidup bersama laut, atau justru menguatkan kepentingan industri yang terus merangsek ke ruang hidup mereka?” tutupnya.


















