Senapan Tuan Tak Beraturan (Bagian 2)

13 individu Orangutan Sumatra di Aceh tercatat menjadi korban penembakan senapan angin atau air rifle sejak 2018 hingga 2022. Data itu sesuai milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Sebab ada penanganan yang dilakukan.
Tim medis hewan Yayasan Ekosistem Lestari Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP) yang selama ini menangani di pusat rehabilitasi menyebutkan ada ratusan butir peluru ditemukan bersarang dalam tubuh satwa dilindungi itu.
Bahkan, ada satu individu dari satwa dengan sebutan Pongo Abelli itu tubuhnya dihujam hingga 138 butir peluru dari senjata non-organik tersebut. Belakangan, primata yang ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan pada 9 September 2020 itu, mati.
Peluru dikatakan merobek sejumlah organ dalam dari satwa yang diberi nama Kranji tersebut kuat dugaan ditembak dari dekat. Itu pula diduga membuat orangutan jantan berusia 25 tahun tersebut tak mampu bertahan hidup dan mati pada 20 September 2020.
“Hampir 138 peluru senapan angin tersebar di seluruh tubuh dan itu satu-satunya korban tembakan senapan angin yang kami temukan ketika kita nekropsi atau bedah bangkai,” kata drh Yenni Saraswati, pada Kamis (27/4/2023).
Senapan angin diakui bukan penyebab utama kematian orangutan. Namun lontaran peluru yang menembus dan mengoyak organ vital dapat menjadi pemicu. Sebab beberapa hari kemudian, luka infeksi sekunder itu membusuk dan berujung kematian.
Potensi yang bakal ditimbulkan itulah membuat senapan angin atau air rifle dianggap mengancam keberlangsungan hidup satwa liar dilindungi. Lalu mengapa masih banyak senjata non-organik tersebut beredar?
Ada uang barang pun datang

Rudi -bukan nama asli- memperlihatkan sepucuk senapan angin yang kerap ia gunakan kala berburu rusa di dalam hutan. Bedil milik pemuda warga Kabupaten Aceh Jaya, Aceh, ini nyaris menyerupai PCP Ruger dengan kaliber 5,5 milimeter (mm).
“Model kurang tahu, karena senjata rakitan dan dirakitnya bukan di sini,” kata Rudi, memulai cerita kepada IDN Times, pada penghujung April 2023.
Senjata non-organik tersebut dibeli Rudi melalui seorang agen secara tersembunyi. Harga barang yang dikirim dari Bandung, Jawa Barat, itu harus ditebusnya lebih kurang Rp3,7 juta. Namun itu tiga tahun lalu.
Rudi mengaku sengaja membeli senapan angin tenaga kompresor kaliber 5,5 mm. Sebab, menggunakan ukuran peluru di atas standar ketentuan pemerintah memudahkannya melumpuhkan buruan.
“Jadi kalau senjata biasa itu tidak mempan. Kalau sekali atau dua kali kena, dia masih bisa lari, gak mempan,” ujar pemuda itu.
“Jadi kalau pakai senjata ini satu kali kena saja sudah lumpuh dia,” imbuh Rudi.
Mudahnya menguasai senapan angin juga dirasakan oleh Irus -bukan nama asli-. Pemuda warga Kabupaten Aceh Selatan ini mengaku hanya perlu mengeluarkan fulus sekitar Rp3 juta guna mendapatkan PCP Mouser dengan kaliber 4,5 mm.
Bila Rudi memanfaatkan senjata non-organik untuk berburu rusa, lain halnya dengan Irus. Dia sengaja membeli dengan dalih melindungi tanaman yang ada di kebunnya dari hewan liar.
“Jadi karena itu, ada inisiatif untuk membeli senjata. Aku beli melalui seorang kenalan dekat,” kata Irus, kepada IDN Times, pada penghujung April 2023.
Senapan angin yang ada di tangan Rudi dan Irus adalah sedikit dari banyaknya peralatan tergolong senjata api tersebut beredar di masyarakat. Hanya dengan merogoh kocek sesuai harga, warga sipil bisa menguasai tanpa perlu mengurus izin.
Padahal, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menetapkan aturan mengenai perizinan, pengawasan dan pengendalian senjata api standar yang diperbolehkan. Itu tertuang dalam Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 1 Tahun 2022.
Aturan yang ditetapkan di Jakarta, pada 28 Januari 2022 oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Listyo Sigit Prabowo tersebut, juga membahas penggunaan senapan angin atau air rifle.
Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Daerah (Polda) Aceh, Komisaris Besar Polisi (KBP) Joko Krisdiyanto mengatakan, penggunaan sejumlah senapan angin untuk kaliber mulai 5,5 mm ke atas harus memiliki izin dari Polri.
Sementara untuk kaliber 4,5 mm dikatakannya, tidak disebutkan aturan penggunaannya secara baku. Namun pemilik senapan angin yang digolongkan sebagai senjata api untuk kepentingan olahraga itu harus melapor ke polres atau polsek terdekat.
“Dia hanya mendaftarkan laporan ke polres atau polsek terdekat,” kata Joko kepada IDN Times, pada Jum’at (28/4/2023).
Tak kuat aturan mengikat

Berburu memang bukan pekerjaan utama Rudi. Pemuda warga Kabupaten Aceh Jaya itu akan masuk ke rimba dengan senapan angin kaliber 5,5 mm ketika dirinya memang ingin berburu rusa.
Meski yang diburunya selama ini merupakan satwa dilindungi, akan tetapi Rudi mengaku kepada IDN Times jika dirinya tidak pernah menembak hewan lainnya. Termasuk ketika melihat orangutan.
“-Orangutan- tidak ada. Kalau ada dia dengan senapan angin biasa pun mempan,” cetus Rudi.
Rudi tahu ukuran kaliber senapan angin miliknya berbahaya. Sebab di atas ketentuan aturan pemerintah. Namun dia berkilah bila itu tidak akan membahayakan orang lain. Hal itu yang meyakinkannya tak perlu membuat izin.
Bahkan Rudi menyebut bila aparat kepolisian mengetahui dirinya memiliki senapan angin ilegal dengan kaliber 5,5 mm. Termasuk milik masyarakat sipil lainnya terutama yang tinggal di pelosok.
“Cuma mungkin belum ada yang disalahgunakan sehingga belum ada tindakan,” ucap Rudi.
Bila Rudi mengetahui aturan izin kepemilikan senapan angin sesuai dalam Perpol Nomor 1 Tahun 2022, lain halnya dengan Irus. Ia malah tidak mengetahui bila senjata dengan kaliber 4,5 mm miliknya harus dilapor ke pihak kepolisian terdekat.
Dia hanya diberitahu bila senapan yang sering ia gunakan untuk mengusir monyet di kebunnya tersebut tidak menimbulkan dampak fatal untuk manusia sehingga tidak dipermasalahkan.
“Dijelaskan, kalau senjatamu itu pelurunya masih 4,5 mm ke bawah, itu tidak mesti ada surat. Tetapi kalau sudah 5,5 mm, itu kamu sudah membahayakan nyawa manusia jadi kamu harus punya surat izin dulu,” ujar Irus menirukan.
Pengaruh banyaknya senapan angin beredar dan dikuasai masyarakat secara ilegal, dikatakan Joko, dikarenakan mudahnya berbelanja secara daring atau online tanpa harus mengurus izin maupun melapor.
Sedangkan, bila membeli di toko, calon pembeli harus menyertakan sejumlah persyaratan administrasi sesuai Perpol Nomor 1 Tahun 2022. Aturan itu juga berlaku untuk pembelian kaliber 4,5 mm.
Berdasarkan data yang dimiliki Dit Intelkam Polda Aceh, sebaran senapan angin sejak 2018-2022 lebih kurang 158 pucuk. Ada 83 pucuk yang masih di toko dan 75 pucuk beredar di masyarakat dengan status terdaftar di polres.
Data tersebut diakui Joko, hanya sebagian. Sebab, masih banyak masyarakat yang membeli, memiliki, dan menyimpan senapan angin melalui pembelian daring. Seperti Rudi dan Irus, rata-rata mereka warga tak pernah melapor terkait hal kepemilikan tersebut.
“Masyarakat ini sudah pinter. Dia tidak membeli di toko, tetapi dia membeli di online. Di online dia ada 4,5 mm bahkan ada yang sampai 8 mm,” jelas Kabid Humas Polda Aceh.
“Tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak mau melapor, bahkan dia sembunyi-sembunyi,” imbuh Joko.
Sementara itu, drh Yenni Saraswati dari tim medis hewan YEL-SOCP menyebutkan, keberadaan senapan angin di masyarakat seumpama mata pisau jika mendengar alasan di lapangan.
Sebagian warga berdalih menggunakan senapan angin untuk melindungi kebun dari kedatangan hewan. Di sisi lain, keberadaan senapan angin juga dapat menjadi ancaman tersendiri khususnya bagi satwa dilindungi yang terancam punah.
Menyikapi hal itu, drh Yenni menyarankan agar pemerintah mengatur kembali regulasi terkait izin kepemilikan senapan angin. Sebab sepengetahuannya, aturan kepemilikan senapan angin belum begitu detail.
“Harapan kami kalau bisa ada peraturan untuk kepemilikannya. Sehingga tidak gampang untuk beli, dan tidak gampang untuk kepemilikan,” ucapnya.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Yayasan Orangutan Sumatera Lestari–Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Fransisca Ariantiningsih, berharap ada kontrol lebih mengenai penyebaran senapan angin di masyarakat.
Kurun waktu lima tahun terakhir, disebutkannya, ada dua individu Orangutan Sumatra menjadi korban penembakan dengan jumlah peluruh terindikasi cukup banyak bersarang dalam tubuh.
Di antaranya, orangutan bernama Hope, di Kota Subulussalam dengan temuan 74 butir peluru serta Kranji, di Kabupaten Aceh Selatan, dengan 138 butir peluru. Belakangan Kranji mati.
“Jadi kita berharap lebih ada kontrol dari pihak terkait untuk penggunaan senapan angin,” ucap Fransisca, menyampaikan kepada IDN Times, Senin (29/4/2023).
Sosialisasi menjadi kunci

Melindungi kebun dari monyet menjadi alasan kuat Irus membeli senapan angin dari rekannya. Satu sisi kondisi ini memang tidak bisa disalahkan, sebab manusia juga berupaya melindungi tanaman mereka dari hewan yang masuk ke dalam perkebunan.
Kondisi ini diakui oleh Kepala BKSDA Aceh, Gunawan Alza. Dia menyampaikan, rata-rata konflik antara manusia dan satwa terjadi di kebun. Karena manusia menganggap satwa yang masuk dalam kebun seperti pengganggu.
“Penggunaan senjata angin pun harus betul-betul diwaspadai juga. Walau dibilang untuk berburu babi, tetapi beberapa kasus orangutan kita ternyata memang terkena adanya peluru senapan angin,” ujar Gunawan, kepada IDN Times, pada Senin (17/4/2023).
BKSDA selama ini tidak bisa sembarangan menertibkan senapan angin yang ada di masyarakat. Pihaknya dikatakan Gunawan, hanya dapat memantau warga yang ada membawa.
“Ataupun kita memperingati dia supaya tidak menggunakan untuk memburu,” ucapnya.
Senapan dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan satwa apabila jenis senjata dan peluru yang dimiliki telah dimodifikasi dari ukuran sebenarnya. Seperti ditemukan dalam sejumlah kasus ditangani tim medis hewan.
drh Yenni menyampaikan, konflik yang selama ini terjadi antara manusia dan satwa sudah sangat mengusik karena terjadi secara terus menerus. Menurutnya perlu suatu langkah yang membuat penembakan satwa berkurang.
“Kita berdamai dengan hewannya dan juga tidak memanjakan hewannya,” jelas anggota tim medis hewan YEL-SOCP.
Senapan angin yang telah dimodifikasi menggunakan tekanan gas, dapat menjadi momok menakutkan. Fatal dalam penggunaan, dapat mengakibatkan kematian jika terkena bagian otak, jantung, maupun bagian vital lainnya.
Tekanan yang ditimbulkan mencapai 2.000 sampai 3.000 psi (pound-force per square inch atau satuan pound). Ditambah lagi bila menggunakan proyektil yang telah dimodifikasi, seperti dikikir.
Polda Aceh mengaku akan mengambil tindakan bila mendapati warga memiliki dan menyimpan senapan angin dengan kaliber di atas standar. Sedangkan yang masih 4,5 mm hanya diimbau untuk membuat laporan ke kantor polisi terdekat.
Untuk memiliki senapan angin kaliber 5,5 mm dijelaskan Joko, harus melengkapi sejumlah persyaratan, di antaranya seperti harus berkewarganegaraan Indonesia, memiliki KTP, rekomendasi kepolisian, tes psikologi, dan uji kesehatan.
“Memang harus mahir. Selain itu ada surat pernyataan. Jadi tidak sembarangan keluar izin itu,” jelas Kabid Humas Polda Aceh.
Sementara itu, perizinan untuk bedil kaliber 4,5 mm dikatakan Joko, tidak ada. Senjata ini juga tidak mudah ditertibkan. Bisa disita apabila digunakan untuk tindak pidana. Salah satu di antaranya, tidak boleh menembak hewan yang dilindungi maupun manusia.
Meski tidak bisa bertindak langsung, upaya penyadartahuan kepada masyarakat terkait bahaya senapan angin dan ancamannya terhadap satwa, juga dilakukan YOSL-OIC. Melalui anggota-anggotanya di lapangan, mereka memberikan pemahaman dan edukasi.
Misalnya dikatakan Fransisca, seperti mengambil tindakan agar meminimalisir dampak terhadap orangutan maupun masyarakat apabila bertemu di dalam hutan. Dia juga menegaskan bahwa, orangutan itu adalah satwa dilindungi.
“Sosialisasi secara khusus tidak. Karena apa pun itu tidak hanya senapan angin tapi tindakan-tindakan yang membahayakan orangutan maupun sebaliknya,” jelasnya.
Memiliki senapan angin di desa dalam Kabupaten Aceh Selatan seolah menjadi lumrah. Warga di sana dikatakan Irus, tak pernah diberitahu terkait mengurus kepemilikan senapan angin.
Hal itu dikarenakan, tidak ada peraturan tertulis maupun imbauan dari pemerintah terkait pelarangan senapan angin yang gencar dikumandangkan untuk diketahui para pemilik senjata tersebut.
“Jadi ini sebenarnya banyak orang yang belum tahu aturan tersebut,” kata Irus.
Irus memang mengetahui adanya aturan Perpol Nomor 1 Tahun 2022 mengenai Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Polri.
Namun, dia berharap adanya imbauan dari pemerintah maupun pejabat setempat terkait cara mengurus surat kepemilikan dan melapor ke pihak berwajib. Tujuannya, agar tak ada lagi konflik antara manusia dan satwa, khususnya menggunakan senapan angin.