Kekerasan Seksual Masih Tinggi, HAPSARI Desak RUU PKS Disahkan

RUU PKS harus disahkan untuk menekan angka kekerasan seksual

Medan, IDN Times – Kasus kekerasan seksual masih menjadi polemik yang belum terselesaikan di Indonesia. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang harusnya menadi payung hukum malah ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) beberapa waktu yang lalu.

Sungguh ini menjadi tamparan keras bagi upaya untuk mengurangi angka kekerasan seksual yang jumlahnya masih sangat banyak.

Kondisi ini juga memancing para pegiat berkomentar. Mereka kecewa karena RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas prioritas. “Kabar ini jelas menyakitkan, di tengah maraknya kasus-kasus kekerasan seksual yang terus terjadi dan menimpa siapapun, kapanpun dan dimanapun berada,” ujar Lely Zailani, Ketua Dewan Pengurus Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI).

Kasus terbaru yang menjadi sorotan adalah, seorang anak perempuan berusia 14 tahun yang menjadi korban rudapaksa di Lampung Timur. Mirisnya, rudapaksa itu terjadi di rumah aman milik lembaga pemerintah Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Justru terduga pelakunya adalah Kepala P2TP2A itu sendiri.

1. Catatan HAPSARI angka kekerasan masih sangat tinggi di Sumut

Kekerasan Seksual Masih Tinggi, HAPSARI Desak RUU PKS DisahkanMassa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/7/2020). Mereka menyuarakan sejumlah aspirasi diantaranya agar pemerintah agar membuka pembahasan RUU PKS, menarik Omnibus Law dan memberikan pendidikan gratis selama pandemi COVID-19. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Dalam sepuluh tahun terakhir sejak 2014 HAPSARI mencatat, lebih dari 500 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Sumatera Utara. Mulai dari Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), penelantaran, pencabulan, pelecehan seksual, hingga perkosaan.

Sejak 2018, HAPSARI mencatat ada 133 kasus yang telah ditangani bersama dengan para mitra. Thun berikutnya, bertambah 75 kasus menjadi 208 kasus. Dan hingga Juli  ertambah 32 kasus menjadi 208 kasus.

“Di tingkat nasional angka kekerasan terhadap perempuan lebih memprihatinkan lagi. Komnas Perempuan mencatat 406,178 kasus,” ungkapnya.

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebutkan bahwa pada Januari hingga 19 Juni 2020 saja terjadi 329 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa dan 1.849 kasus kekerasan seksual terhadap anak baik perempuan maupun laki-laki.

Baca Juga: Komnas Perempuan Kecewa RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020 

2. Kekerasan seksual harusnya menjadi fokus utama pemerintah

Kekerasan Seksual Masih Tinggi, HAPSARI Desak RUU PKS DisahkanANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Selama pandemi Covid-19, jumlah kasus kekerasan seksual terutama lewat media internet juga meningkat secara signifikan. Merujuk data LBH APIK Jakarta, bahwa sebelum pandemic, setiap bulan rata-rata 30 kasus kekerasan seksual yang diterima. Namun sejak Maret hingga 7 Juni 2020, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang ditangani meningkat tiga kali lipat (di atas 90 kasus) atau meningkat 300 persen.

Kekerasan seksual dengan berbagai bentuknya adalah kasus yang berat dan paling sulit ditangani. Lantaran, kasus kekerasan seksual terkadang terkaitpaut dengan relasi kekuasaan, termasuk relasi gender dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai subordinat dan tubuhnya sebagai objek seksual. Harunya. Pemerintah juga fokus dalam penanganan dengan mengesahkan payung hukum yang tegas.

“Sayangnya, hingga hari ini Indonesia belum memiliki sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur secara komprehensif dan spesifik terkait kekerasan seksual. Baik dari segi pendefenisian dan pemidanaan terhadap pelaku, pencegahan, penanganan, pelindungan, hingga pemulihan korban kekerasan seksual. KUHP yang sekarang diberlakukan misalnya, belum mengenal  kekerasan berbasis gender (gender-based violence), sehingga bentuk-bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan atau perbuatan cabul (hanya) dikategorikan sebagai kejahatan kesusilaan,” ujar Lely.

3. DPR harus pastikan RUU PKS disahkan

Kekerasan Seksual Masih Tinggi, HAPSARI Desak RUU PKS DisahkanANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

RUU PKS menjadi harapan bagi korban kekerasan seksual. Lely berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan menjadi undang-undang.

“Kami menuntut kepada Baleg dan semua Pimpinan Baleg, untuk memastikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk Prolegnas Prioritas 2020, dibahas melalui Baleg, sehingga bisa segera disahkan, sesuai harapan dari korban, keluarga korban dan masyarakat,” pungkasnya.

Lely juga meminta Presiden Joko Widodo melanjutkan komitmen mendukung RUU PKS sebagai kebijakan yang menjamin perlindungan korban. Jokowi harus mendesak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) serta Kementerian Hukum dan HAM bekerjasama dan berkoordinasi dengan Komnas Perempuan, Pusat Studi Wanita atau Pusat Studi Gender dan kelompok masyarakat sipil lainnya, agar melakukan upaya-upaya strategis memperkuat dibahasnya RUU PKS pada tahun 2020.

Baca Juga: FJPI Sumut Desak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Disahkan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya