Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

WALHI: Deforestasi Memperparah Risiko Bencana di Sumut

Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)

Batam, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menyebut tujuh perusahaan diduga menjadi pemicu utama bencana ekologis berupa banjir bandang dan longsor yang menerjang kawasan Tapanuli, Sumatera Utara.

Sejak Selasa (25/11/2025), delapan kabupaten/kota terdampak, dengan Tapanuli Selatan serta Tapanuli Tengah mengalami kerusakan terparah.

Puluhan ribu warga mengungsi, ribuan rumah dan lahan pertanian rusak, sementara 51 desa di 42 kecamatan dilaporkan terdampak. Kawasan Ekosistem Harangan Tapanuli sebagai penyangga hidrologis penting di Sumut menjadi pusat kerusakan.

1. Tuduhan kerusakan oleh korporasi

Ilustrasi ilegal logging. Penangkapan kasus illegal logging terbesar dalam Operasi Handroanthus GLO pada Desember 2020. (twitter.com/policiafederal)
Ilustrasi ilegal logging. Penangkapan kasus illegal logging terbesar dalam Operasi Handroanthus GLO pada Desember 2020. (twitter.com/policiafederal)

Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba menjelaskan, sebanyak tujuh perusahaan beroperasi di wilayah habitat satwa dilindungi seperti orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan tapir.

Ketujuhnya adalah PT Agincourt Resources (tambang emas Martabe), PT North Sumatera Hydro Energy/NSHE (PLTA Batang Toru), PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari Tbk (unit PKR), PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate.

Aktivitas industri ini dinilai memperparah degradasi hutan yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung dari bencana hidrometeorologi.

“Setiap banjir membawa kayu-kayu besar dan citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan,” kata Rianda, Kamis (27/11/2025).

Ia menekankan bahwa bencana ini bukan semata akibat hujan ekstrem, tetapi buah dari lemahnya pengendalian pemerintah atas industri ekstraktif.

2. Dampak tambang dan proyek energi terhadap hutan dan sungai

Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)

WALHI mencatat, PT Agincourt Resources telah menghilangkan sekitar 300 hektar tutupan hutan di DAS Batang Toru sejak 2015, menyebabkan air Sungai Aek Pahu kerap keruh ketika hujan.

Proyek PLTA Batang Toru oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) juga disebut menghapus lebih dari 350 hektar hutan di bantaran sungai dan menimbulkan sedimentasi yang memperburuk fluktuasi debit air.

Rianda menyoroti dokumen AMDAL yang menunjukkan rencana peningkatan kapasitas produksi tambang Martabe, yang akan membuka 583 hektar hutan baru dan menebang hampir 186 ribu ppohon

“Ekspansi ini jelas mengorbankan keselamatan warga yang tinggal di hilir kawasan,” tegasnya

3. Tuntutan penghentian industri ekstraktif dan pemulihan lingkungan

Banjir bandang di Sumatra
Potret banjir bandang di Sumatra. (Dok. BNPB)

Selain tambang dan PLTA, WALHI menyoroti praktik PKR dan skema PHAT oleh PT Toba Pulp Lestari yang mempercepat deforestasi, menyebabkan sedikitnya 1.500 hektar hutan pada koridor satwa Batang Toru terdegradasi dalam tiga tahun.

WALHI mendesak penghentian total aktivitas ekstraktif di Ekosistem Batang Toru, evaluasi menyeluruh perizinan perusahaan, serta penegakan hukum terhadap pihak yang merusak lingkungan. Mereka juga meminta negara menjamin pemulihan dan pemenuhan kebutuhan dasar warga terdampak.

“Kami berduka atas bencana ekologis yang menimpa Sumatera Utara. Negara harus bertindak dan menghukum para pelanggar agar bencana ini tidak terus berulang,” tutup Rianda.

Share
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

[BREAKING] Sumut Tetapkan Status Darurat Bencana 14 Hari

28 Nov 2025, 15:14 WIBNews