Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Tren Penyiksaan di Sumut Naik, Polisi dan TNI Kini Sama-sama Dominan

Ilustrasi penyiksaan. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ilustrasi penyiksaan. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Intinya sih...
  • Polisi dan TNI ‘kompak’ jadi aktor penyiksaan
  • 11 kasus melibatkan anggota kepolisian, 7 kasus melibatkan personel TNI.
  • Motif penyiksaan: mendapatkan pengakuan hingga penghukuman

Medan, IDN Times - Dalam momentum peringatan Hari Internasional untuk Mendukung Korban Penyiksaan yang jatuh pada 26 Juni, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara merilis catatan terbaru yang mengkhawatirkan. Sepanjang periode Juli 2024 hingga Juni 2025, tercatat sedikitnya 17 kasus penyiksaan terjadi di wilayah hukum Sumut. Angka ini meningkat dibanding tahun sebelumnya yang mencatat 12 kasus, dan lebih tinggi dibanding 14 kasus pada periode 2022-2023.

"Jumlah kasus tersebut bukan sekadar kumpulan angka, tetapi menunjukkan tren penyiksaan sedang berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan," ujar Adinda Zahra, Kepala Bidang Operasional KontraS Sumut, Kamis (26/6/2025).

Penyiksaan ini menyebabkan 36 orang mengalami luka-luka dan lima orang lainnya meninggal dunia. Kenaikan jumlah kasus dalam tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa praktik kekerasan yang kejam dan tidak manusiawi belum menunjukkan tanda-tanda menurun.

1. Polisi dan TNI ‘kompak’ jadi aktor penyiksaan

Ilustrasi penyiksaan oleh aparat penegak hukum. (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ilustrasi penyiksaan oleh aparat penegak hukum. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dulu, praktik penyiksaan di Sumut lebih banyak dilakukan oleh anggota kepolisian. Namun dalam setahun terakhir, KontraS menemukan bahwa prajurit TNI kini mulai sejajar. Dari total 17 kasus, 11 melibatkan anggota kepolisian dan tujuh kasus lainnya dilakukan oleh personel TNI. Bahkan terdapat satu kasus yang dilakukan oleh gabungan polisi dan TNI.

"Selama ini dominasi pelaku penyiksaan dilakukan oleh personel kepolisian karena mereka yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Kini dengan kembalinya TNI mengurusi persoalan di ranah sipil, pelaku penyiksaan justru makin bertambah," kata Adinda.

Salah satu penyebab meningkatnya angka penyiksaan menurut KontraS adalah masih kuatnya kultur impunitas di tubuh aparat. Para pelaku penyiksaan, baik dari kepolisian maupun militer, jarang dihukum secara adil. Jika pun ada proses hukum, sering kali hanya berupa sanksi disiplin internal.

"Negara tidak hanya gagal mencegah tetapi juga gagal memulihkan," tegas Adinda.

Korban kerap kali tak mendapatkan akses pemulihan yang layak. Banyak yang mengalami trauma jangka panjang, stigma sosial, bahkan kehilangan mata pencaharian. Menurut KontraS, ini adalah bentuk kegagalan sistemik dalam memberikan keadilan kepada korban.

2. Motif penyiksaan: mendapatkan pengakuan hingga penghukuman

Ilustrasi penyiksaan (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ilustrasi penyiksaan (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS mencatat dua motif utama penyiksaan yang terjadi di Sumut. Pertama, untuk mendapatkan informasi dan pengakuan dari korban. Kedua, sebagai bentuk hukuman atas tindakan yang telah atau diduga dilakukan. Mayoritas korban berasal dari masyarakat kelas menengah ke bawah yang minim pemahaman hukum dan akses bantuan.

Adinda menambahkan bahwa penyiksaan juga terjadi dalam konteks pengamanan bisnis sumber daya alam, seperti perkebunan dan pertambangan. Tiga kasus dalam setahun terakhir masuk dalam kategori ini, termasuk kasus penyiksaan terhadap Nico Silalahi (19) dan lima anggota Komunitas Masyarakat Adat Sihaporas.

3. Polisi dan TNI didesak berbenah, penyiksaan bukan solusi

Ilustrasi penyiksaan (IDN Times/Prayugo Utomo)
Ilustrasi penyiksaan (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS mendesak negara untuk menjadikan Hari Anti Penyiksaan sebagai momentum evaluasi menyeluruh. Diperlukan mekanisme pengawasan yang lebih transparan dan penggunaan teknologi seperti CCTV dan body cam agar akuntabilitas aparat bisa terjamin.

"Hal ini hendaknya menjadi refleksi dan evaluasi yang bermakna bagi seluruh lembaga negara untuk menihilkan praktik penyiksaan, supaya ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan bukan hanya sekadar coretan kertas kosong yang tidak berdampak apa-apa," pungkas Adinda Zahra.

KontraS juga menekankan pentingnya sinergi lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman, Komnas Perempuan, dan LPSK untuk memperkuat perlindungan dan pemulihan bagi para korban penyiksaan di Sumatera Utara.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us