Tak Terbukti Curi Pasir Laut, 2 Kapal Isap Malaysia Dibebaskan PSDKP

Batam, IDN Times - Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah membebaskan dua kapal isap pasir berbendera Malaysia, MV Yang Cheng 6 dan Zhou Shun 9. Setelah penyelidikan menunjukkan tidak ada aktivitas pencurian pasir di perairan Indonesia.
Langkah PSDKP ini menimbulkan kritik dari beberapa pihak yang mempertanyakan alasan dan efektivitas penindakan di wilayah perairan Kepri yang dinilai tanpa memiliki dasar kuat.
Direktur Jenderal PSDKP, Pung Nugroho mengatakan, keputusan pelepasan kapal MV Yang Cheng 6 dan Zhou Shun 9 ini dilakukan setelah koordinasi dengan Tim TNI AL yang menyimpulkan tidak ditemukan indikasi pelanggaran hukum.
"Meski kedua kapal mematikan AIS saat melintasi perairan Indonesia, hal itu bukan untuk melakukan kegiatan ilegal," kata Pung Nugroho, Selasa (12/11/2024).
Sebelumnya, melalui kasus ini Pung menegaskan bahwa pencurian pasir laut benar-benar terjadi di perairan Indonesia. Dua kapal ini sebelumnya dituding telah mencuri 100.000 meter kubik pasir laut di perairan Kepulauan Riau setiap bulannya.
"Kami ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa pencurian pasir laut di wilayah kita benar-benar terjadi," ujar Pung, Rabu (9/10) lalu.
1. Penangkapan tanpa bukti kuat

Imam Prakoso, Senior Analyst dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengungkapkan, penangkapan kapal asing harus dilakukan berdasarkan indikasi pelanggaran yang jelas.
Menurutnya, penggunaan Automatic Identification System (AIS) sebagai deteksi awal seharusnya diimbangi dengan bukti pendukung yang cukup. Ia menekankan, tindakan terburu-buru tanpa bukti kuat hanya akan memperburuk citra pengawasan laut Indonesia.
"Penghentian kapal seharusnya hanya dilakukan jika ada bukti awal yang memadai. Penggunaan teknologi deteksi serta data lain sangat penting agar keputusan penangkapan tidak berdampak negatif pada hubungan diplomatik,” kata Imam.
2. Minimnya pemahaman hukum laut internasional

Imam juga mengkritisi kurangnya pemahaman hukum laut internasional di kalangan aparat penegak hukum PSDKP. Menurutnya, kedua kapal Malaysia tersebut sebenarnya hanya melintasi Traffic Separation Scheme (TSS), yaitu lintas damai yang dilindungi hukum internasional selama tidak ada pelanggaran eksplisit.
Ia menilai, insiden ini mencerminkan minimnya pemahaman aparat dalam menerapkan aturan lintas damai.
"Sesuai UNCLOS 1982, negara tidak dapat melarang lintas damai di TSS. Penangkapan seperti ini hanya akan membuka risiko gugatan dari negara asal kapal," tambah Imam.
Selain itu, lemahnya koordinasi antar-lembaga penegak hukum di laut turut disoroti IOJI. Imam menyebut, KKP seharusnya melibatkan pihak lain seperti Bakamla, TNI AL, dan Polri sebelum memutuskan tindakan terhadap kapal asing.
"Setiap institusi punya peran spesifik. KKP yang menjalankan patroli sebaiknya mengoordinasikan langkahnya dengan TNI AL atau Bakamla yang punya akses intelijen lebih lengkap. Insiden salah tangkap ini bisa dihindari jika koordinasi lebih baik," tegas Imam.
3. WALHI: Kebijakan ekspor pasir laut akan rugikan masyarakat pesisir dan negara

Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Parid Ridwanuddin turut mempertanyakan tindakan KKP yang melepaskan kedua kapal secara diam-diam setelah penangkapan.
"Waktu menangkap dulu KKP seolah ingin menunjukkan bahwa, daripada pasir laut kita dicuri, lebih baik dilegalkan saja tambang pasir laut," kata Parid.
Parid juga menegaskan bahwa KKP harus transparan di dalam penanganan setiap kasus yang ditangani oleh PSDKP. "Dalam melakukan penindakan, PSDKP harus memastikan tindak kesalahan yang dilakukan, bukan main asal tangkap dan gunakan kasus ini untuk melegitimasi kebijakan membuka ekspor pasir laut," ungkapnya.
Lanjut Parid, WALHI menyatakan keberatan terhadap kebijakan ekspor pasir laut yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 dan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut. WALHI menilai kebijakan ini dapat berdampak negatif terhadap ekologi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat di pulau-pulau kecil.
Selain itu, kebijakan ini menunjukkan kemunduran dalam tata kelola sumber daya pasir laut. "Dengan keluarnya Permendag Nomor 20 Tahun 2024, pemerintah tampaknya melupakan keputusan Ibu Megawati 20 tahun lalu yang menghentikan aktivitas tambang pasir laut," ujar Parid.
Parid menekankan, kerusakan yang ditimbulkan dari tambang pasir laut juga membutuhkan biaya pemulihan yang besar, mencapai lima kali lipat dari keuntungan yang diperoleh.
"Jika negara menerima Rp10 miliar dari satu juta kubik pasir yang diambil, biaya pemulihan ekosistemnya bisa mencapai Rp50 miliar," ujar Parid.
Atas dasar itu, WALHI akan terus mengeluarkan seruan agar pemerintah mencabut kebijakan ini. Parid menyampaikan, pihaknya juga akan meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan pencabutan Perpres Nomor 26 Tahun 2023.
"Kebijakan ini bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan komitmen perlindungan ekologi yang selalu dijunjung dalam forum internasional," ungkap Parid mengakhiri.