Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tak Ada Irigasi, Puluhan Tahun Petani Secanggang Bergantung Tadah Hujan

IMG_20251009_211201.jpg
Petani menunjuk hasil oplah di dekat areal sawah (IDN Times/Eko Agus Herianto)
Intinya sih...
  • Ribuan petani di Secanggang bertahan dengan sistem tadah hujan karena tidak ada irigasi
  • Distribusi air yang minim membuat pertanian warga rentan diserang hama dan biaya meningkat
  • Petani resah dengan oplah asal jadi yang membuat mereka kerepotan, dan alih fungsi lahan menjadi kebun sawit
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Langkat, IDN Times - "Areal pertanian 1.080 hektare kok tidak ada irigasinya? Padahal itu bisa untuk menopang swasembada pangan yang digembor-gemborkan pemerintah. Sumber air kami malah cuma parit tadah hujan saja."

Fakta yang rasanya mencabik sanubari ribuan petani di Desa Kebun Kelapa, Secanggang, itu disampaikan oleh Sigit Pamungkas. Di bangunan tanpa dinding yang sering disebut mereka sebagai "Saung", ia dan petani lainnya berteduh setelah seharian memantau padi-padi yang diperkirakan masih berumur 70 hari.

Sigit mengajak IDN Times melihat langsung satu-satunya sumber air yang menjadi harapan ribuan petani di sini. Mereka menyebutnya dengan nama parit tadah hujan yang berada tepat di samping persawahan.

"Dari zaman dulu di sini tidak ada irigasi. Itulah yang selalu kami impi-impikan. Padahal sawah kami dekat dengan sungai Wampu." Sigit hanya bisa tersenyum ironis.

1. Tak ada irigasi, ribuan petani di Secanggang bertahan dengan sistem tadah hujan

IMG_20251009_211226.jpg
Tadah hujan satu-satunya sumber air yang dimanfaatkan petani (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Giat bertani bukanlah suatu yang asing bagi pria yang hampir seluruh rambutnya memutih itu. Sebab sejak duduk di bangku sekolah, Sigit sudah memutuskan untuk "nyambi turun sawah".

Menjadi bagian masyarakat petani adalah suatu kebanggaan menurutnya, meskipun kerap terbentur sejumlah masalah yang kompleks. Bukan cuma hama dan ancaman gagal panen, namun tidak adanya irigasi kerap menjadi momok menakutkan bagi Sigit dan petani lainnya. Namun ajaibnya, mereka masih bisa bertahan dengan kondisi serba kekurangan.

"Yang paling kita butuhkan sebenarnya distribusi air, karena kita tidak punya irigasi. Sementara dalam bertani itu yang paling utama, ya, air. Makanya kita menginginkan adanya irigasi. Pemukiman kita dekat sungai Wampu yang bisa diharapkan untuk sumber air, tapi tidak ada irigasi dari sana," aku Sigit sembari menunjukan sawahnya seluas 1 hektare.

Katanya, bulir-bulir padi di sawah mereka bergantung pada parit tadah hujan. Sistem tadah ini hanya bersumber dari presipitas curah hujan tiap harinya. Artinya, jika curah hujan rendah otomatis para petani terancam gagal panen karena fenomena kekeringan, seperti apa yang mereka alami 5 tahun silam.

"Tadah hujan ini sudah ada sejak dahulu. Karena memang dari pemerintah belum ada (memberi) sistem irigasi. Hanya air hujan yang kami simpan. Kita tampung dengan tujuan agar sawah tidak kekeringan. Karena total areal persawahan di sini luasnya 1080 hektare," lanjutnya sambil menggaruk kepala.

Distribusi air tadah hujan dipakai terus-menerus oleh para petani. Air-air itu disedot saat masa tanam dan pemupukan, lalu dikeluarkan kembali setelah panen agar tak kehabisan air. Tak jarang karena "rebutan air" antar petani terlibat bersitegang.

"Sistem tadah hujan membuat padi akan mudah roboh. Karena air yang digunakan itu-itu saja, tidak berganti dengan air-air yang bersih. Kalau tadah hujan, kadar asam akan di situ-situ saja tidak mengalir dan tidak hilang. Tapi jika adanya irigasi, zat asam itu akan ikut mengalir. Karena ada pembuangan, pembersihan, dan ibaratnya sawah ini dicuci," ungkap Sigit.

2. Distribusi air yang minim membuat pertanian warga rentan diserang hama

IMG_20251009_211146.jpg
Petani di Desa Kebun Kelapa, Sigit Pamungkas (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Karena hanya mengandalkan parit tadah hujan, membuat petani harus "hemat-hemat air". Akibatnya, distribusi air yang sedikit itu membuat padi-padi mereka rentan diserang hama.

"Tujuh tahun ini kita alami adanya penurunan hasil panen yang drastis. Terutama curah hujan yang tidak menentu, membuat distribusi air sedikit dan hama lebih gampang menyerang. Hama seperti keong, sundep, wereng, bahkan rumput semakin banyak mengganggu," beber Sigit sembari mengusap keringat di dahinya pakai baju.

Tak ayal Sigit sering mengaku kewalahan menghadapi beragam tantangan ini. Terlebih semakin hari hasil taninya semakin menipis.

"Sangat terasa (lelah) kali bagi kita mengendalikan hama. Semakin hari semakin meningkat penyakitnya. Karena dengan kondisi curah hujan yang tidak jelas, hama terutama jamur, membuat petani mengalami cekik leher. Musim ini saja sudah mulai padi-padi kena cekik leher," jelasnya.

Karena curah hujan rendah dan minim distribusi air, maka biaya untuk mengendalikan hama pun turut meningkat. Meskipun punya 1 hektare sawah, Sigit hanya untung sangat sedikit.

"Kemarin saya keluarkan biaya sedot air dan pupuk saja modalnya Rp8 juta. Sementara hasil panen cuma Rp9 juta." Sigit tersenyum hambar.

3. Oplah asal jadi bikin petani resah, terpaksa pindahkan air pakai mesin sedot yang habiskan banyak biaya

IMG_20251009_211201.jpg
Petani menunjuk hasil oplah di dekat areal sawah (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Sejauh ini petani mengatakan bahwa pemerintah memang sudah memberi bantuan berupa Operasi Lahan (Oplah) dan sumur dangkal. Namun bagi mereka itu tetap saja tidak efektif dan tidak bisa memenuhi kebutuhan air. Alih-alih hanya beberapa titik saja yang mendapat distribusi.

Petani lain bernama Ponimin mengajak IDN Times melihat parit tadah hujan yang baru saja dilakukan Oplah. Bukannya membantu petani, alih-alih hadirnya Oplah membuat mereka menjadi kerepotan.

"Waktu dicuci paritnya (Oplah), kami masuk masa tanam. Akhirnya sawah kami kehabisan air, kering karena tak dibuat bendungan. Air yang ada di sawah ini pun terakhir masuk (merembes) ke parit," aku Ponimin.

Memang, posisi sawah lebih tinggi dari parit yang sudah dilakukan Oplah. Pantauan IDN Times, permukaan parit lebih rendah 1,5 meter dibanding sawah yang berada di seberangnya.

"Petani jadi susah untuk menanam. Kami terpaksa mengambil dari parit itu menggunakan alat bantu mesin yang dimiliki oleh para petani. Akhirnya, ya, menambah biaya lagi," katanya.

Di Desa Hinai Kiri dekat Desa Kebun Kelapa, sudah banyak sawah yang beralih fungsi menjadi kebun sawit, jeruk, jagung, dan tumbuhan palawija. Alih fungsi lahan ini disebut Ponimin merupakan dampak dari tidak adanya sistem irigasi dan hanya mengandalkan tadah hujan.

"Terjadinya alih fungsi ini disebabkan beberapa faktor. Pertama harga gabah yang murah. Dan kedua karena sistem tadah hujan, kita tidak bisa memprediksi kapan datangnya hujan. Kalau untuk Desa Hinai Kiri ini lebih kurang sudah ada 80 sampai 100 hektar lahan yang dialihfungsikan," pungkasnya.

4. BITRA dampingi para petani dengan Sekolah Lapangan Iklim hadapi berbagai macam masalah pertanian

IMG_20251009_211136.jpg
Sekolah Lapangan Iklim di Saung (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Memahami apa yang menjadi aral gendala ribuan petani di Desa Kebun Kelapa, Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA) membuka Sekolah Lapangan Iklim (SLI). Di bangunan terbuka yang disebut "Saung" ini, para petani berkumpul untuk mengikuti pelajaran.

"Penggunaan pupuk kimia ini sangat tinggi di Indonesia termasuk juga di Kabupaten Langkat. Jadi Sekolah Lapangan Iklim sebagai tempat belajar petani mengetahui apa sebenarnya budidaya pertanian organik, khususnya untuk padi. Setiap Minggu mereka punya topik-topik khusus layaknya di sekolah, misalnya mata pelajaran tentang hama, tanaman, sampai pembuatan pupuk organik," kata Berliana Siregar, Staf BITRA yang mengkordinatori SLI.

Mereka tahu betul bahwa petani di Desa Kebun Kelapa menghadapi tantangan berupa banyaknya hama dan krisis distribusi air. Di SLI mereka juga berembuk untuk menentukan benih padi apa yang sesuai.

"Mereka difasilitasi oleh BITRA mendiskusikan jenis benih apa yang mau ditanam. Jadi rata-rata teman-teman ini menanam mentik susu, tapi ada juga di lahan ini menggunakan Cibatu. Di sekolah lapangan ini kita belajar, mengamati, dan menemukan solusi. Kita juga membuat perangkap hama dan tanam tanaman penolak hama. Kita menggunakan cara yang lebih alami. Misalnya dengan memberikan media lain untuk serangga, supaya tidak menyerang padinya," rinci Berliana saat meneduh dari teriknya matahari di Saung.

5. Ribuan petani inginkan irigasi air dari sungai Wampu yang hanya berjarak 1 Kilometer

IMG_20251009_211249.jpg
Koordinator Spesialis Lingkungan dan Perubahan Iklim BITRA, Iswan Kaputra (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Bagai pungguk merindukan bulan, begitu juga petani di Secanggang yang merindukan adanya irigasi. Sebab dari tahun ke tahun mimpi mereka bisa panen melimpah selalu terjerat dengan nihilnya irigasi.

Masalah ini sudah dilihat BITRA bertahun-tahun lalu. Yang disayangkan mereka, pemerintah tak jua melihat masalah ini sudah menimpa ribuan petani. Padahal secara geografis, areal pertanian mereka cukup dekat dengan sungai Wampu.

"Warga sudah mencita-citakan punya irigasi yang bagus dan permanen, ya. Tapi selama ini yang dilakukan apa? Usulan-usulan dari desa masing-masing itu secara parsial. Kita ketahui bahwa sampai sekarang perencanaan untuk bendungan atau bendung di Sungai Wampu itu tidak masuk ke sini. Padahal ini ada 1080 hektare pertanian milik Desa Kebun Kelapa, Desa Sungai Ular, Desa Hinai Kiri, dan Desa Tanjung Ibus," kata Koordinator Spesialis Lingkungan dan Perubahan Iklim BITRA, Iswan Kaputra.

Berbagai diskusi telah BITRA helat, baik dengan para petani, pemerintah desa, Balai Wilayah Sungai, sampai Dinas PUPR. Sehingga mengerucut usulan dari petani yang mengatakan bahwa mereka butuh irigasi permanen dari sungai Wampu. Minimal 50 tahun dapat bertahan dan bisa mengairi 1080 hektare

"Sungai Wampu itu kan airnya bagus, dan terus berganti. Kalau yang ada di sini (tadah hujan? kan PH-nya tinggi, payau dan beberapa persoalan-persoalan lain sehingga pertumbuhan padinya itu tidak maksimal. Nah kalau diari sungai Wampu, lalu jalurnya di atas dan bisa ke tengah sawah sana, distribusinya nanti akan efektif. Jika kalau volumenya besar, mudah-mudahan bisa mengairi semua, itu harapan kita. Karena kalau yang selama ini, kan, parsial dan cenderung tidak efektif," harap Iswan.

Apa yang diinginkan masyarakat petani ia nilai sebagai bentuk mewujudkan swasembada pangan. Jika PR distrubusi air tak dapat selesai, maka wacana swasembada pangan di Langkat baginya omong kosong.

"Warga sangat khawatir dan pesimistis kalau permohonan masyarakat yang sudah dikaji secara mendalam, partisipatif, dan menurut masyarakat tidak mungkin salah lagi kaliannya, malah tidak dipenuhi. Kemungkinan besar yang namanya swasembada pangan itu cuma cerita di atas meja atau di layar televisi saja," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Tak Ada Irigasi, Puluhan Tahun Petani Secanggang Bergantung Tadah Hujan

09 Okt 2025, 22:47 WIBNews