Sistem Penjurusan SMA Comeback, Guru: Ada Konsekuensi Bagi Siswa

Medan, IDN Times - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, tampaknya serius meninggalkan kurikulum yang digagas di masa Nadiem Makarim. Salah satu dari sikap tersebut ialah membentuk rencana yang dapat mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA. Kebijakan tersebut nantinya dimulai untuk tahun ajaran baru 2025/2026.
Bagi guru salah satu sekolah negeri yang ada di Kota Medan, mengembalikan kembali sistem penjurusan di SMA bisa mempermudah proses pembelajaran di kelas. Terlebih hal ini memungkinkan siswa menggali bidang yang diminati.
Namun di samping itu, ada konsekuensi lain yang bisa saja melanda. Seperti potensi hilangnya kesempatan siswa untuk mengeksplorasi bidang lain secara kompleks dan komprehensif, hingga minimnya penguasaan lintas disiplin (multitalent) yang semakin hari semakin dituntut di zaman modern.
1. Tantangan guru SMA menjalankan Kurikukum Merdeka

Guru asal SMA Negeri 21 Medan sekaligus Duta Muda Pendidikan Sumut 2025, Lili Sartika, memberi pandangannya terkait bagaimana sistem kurikulum bekerja. Selama menggeluti profesi sebagai guru SMA, Lili mengaku telah menjalani berbagai macam tantangan pada kurikulum sebelumnya yakni Kurikulum Merdeka.
"Tantangan terbesar yang saya hadapi dalam sistem Kurikulum Merdeka tanpa jurusan adalah memfasilitasi minat dan bakat siswa yang sangat beragam. Kami harus berupaya menyediakan diferensiasi pembelajaran yang mengakomodasi berbagai tingkatan pemahaman dan ketertarikan siswa dalam satu kelas," aku Lili kepada IDN Times.
Bukan hanya itu, ada tantangan lain yang dihadapi guru-guru di kurikulum merdeka. Salah satunya adalah mengakomodasi kebutuhan dan minat siswa yang beragam. Giat ini tentu membuat sebagian guru merasa cukup kewalahan.
"Selain itu, merancang asesmen yang adil dan komprehensif untuk mengukur penguasaan kompetensi siswa dengan latar belakang minat yang berbeda, juga menjadi tantangan tersendiri. Terkadang, kurangnya sumber daya dan pelatihan yang spesifik untuk implementasi diferensiasi secara efektif juga menjadi kendala," sebut Lili.
2. Siswa bisa memperdalam minatnya namun minim menguasai disiplin lain

Ia juga menyoroti rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa untuk anak SMA. Secara praktis, sistem penjurusan dapat mempermudah kegiatan belajar mengajar.
"Menurut saya, pengembalian jurusan berpotensi mempermudah proses pembelajaran di kelas terkait kedalaman materi. Dengan siswa yang memiliki minat relatif sama, guru dapat lebih fokus dalam menyampaikan materi yang lebih mendalam dan spesifik. Perencanaan pembelajaran dan materi ajar juga bisa menjadi lebih terarah. Namun, perlu diingat bahwa ini juga bisa menimbulkan konsekuensi lain seperti potensi hilangnya kesempatan siswa untuk mengeksplorasi bidang lain," ujar Lili.
Namun, guru muda berusia 24 tahun itu mengaku ada sedikit kekhawatiran yang timbul. Di mana konsekuensi lain dari sistem penjurusan SMA adalah dapat mempersempit peserta didik mengembangkan minat lintas disiplin.
"Ya, saya khawatir pembagian jurusan dapat berpotensi menghambat siswa dalam mengembangkan minat lintas disiplin. Di era yang semakin kompleks ini, kemampuan untuk menghubungkan berbagai bidang ilmu menjadi sangat penting. Jika siswa terlalu dini terpaku pada satu jurusan, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk menemukan minat atau bakat terpendam di bidang lain, serta kurang terlatih dalam berpikir secara holistik dan interdisipliner," ungkap Lili.
3. Perubahan yang terlalu sering dapat menimbulkan ketidakstabilan dan inefisiensi dalam sistem pendidikan

Sebagai pengajar, Lili paham betul bahwa implementasi harus disertai dengan kesiapan. Baginya, sejauh mana kesiapan sekolah jika sistem jurusan diberlakukan kembali, akan sangat bergantung pada berbagai faktor. Salah satunya adalah infrastruktur dan kesiapan tenaga ajar.
"Beberapa sekolah mungkin sudah memiliki infrastruktur dan tenaga pengajar yang memadai untuk mengimplementasikan sistem jurusan. Namun, banyak sekolah lain mungkin akan menghadapi tantangan dalam hal penataan rombongan belajar, penyediaan guru yang sesuai dengan bidang keahlian, serta penyesuaian kurikulum dan program pembelajaran. Diperlukan persiapan yang matang dan dukungan yang memadai dari pemerintah untuk memastikan transisi berjalan lancar dan adil bagi semua sekolah," kata guru yang menyandang gelar Duta Muda Pendidikan Sumut 2025.
Ia menambahkan, perubahan kurikulum yang terlalu sering memang berpotensi merugikan proses belajar siswa. Setiap perubahan kurikulum memerlukan adaptasi dari guru, siswa, dan orang tua. Ketidakpastian dan kebingungan yang timbul akibat perubahan yang terlalu cepat menurut Lili dapat mengganggu fokus belajar para peserta didik.
"Selain itu, konsistensi dalam materi ajar dan sistem penilaian juga menjadi terganggu. Meskipun perubahan kurikulum mungkin bertujuan untuk perbaikan, frekuensi yang terlalu tinggi dapat menimbulkan ketidakstabilan dan inefisiensi dalam sistem pendidikan. Idealnya, perubahan kurikulum dilakukan berdasarkan evaluasi yang mendalam dan implementasinya dilakukan secara bertahap dengan persiapan yang matang," pungkasnya.