Melihat Pengelolaan Kemenyan di Desa Simardangiang Taput

Medan, IDN Times- Desa Simardangiang, Kecamatan Pahae Hulu, Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu sentra penghasil getah haminjon (kemenyan) di wilayah Tapanuli. Desa ini pekan lalu dikunjungi Kelompok Kerja Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Sumatra Utara (Pokja Penurunan Emisi GRK).
Pokja Penurunan Emisi GRK dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Sumut untuk mendalami praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat adat sekaligus meninjau potensi implementasi kegiatan REDD+ berbasis komunitas.
Dalam kunjungan ini, Pokja didampingi tenaga ahli REDD+ Provinsi Sumatra Utara, Dr. Solichin Manuri dan Sarah Agustiorini, serta akademisi dari Fakultas Kehutanan Universitas Sumatra Utara, yakni Prof. Rahmawaty dan Dr. Bejo Slamet.
1. Jenis kemenyan yang dibudidayakan Haminjon Toba dan Haminjon Gurame

Kunjungan difasilitasi oleh Yayasan Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI) sebagai lembaga perantara (lemtara) Program Result-Based Payment (RBP) REDD+ di Sumut.
Tim disambut langsung oleh Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul. Disebutkannya jenis kemenyan yang dibudidayakan masyarakat adalah Haminjon Toba dan Haminjon Gurame. Kemenyan menjadi komoditas utama yang menopang ekonomi mayoritas penduduk—sekitar 99 persen dari 204 Kepala Keluarga (KK) di desa ini.
Masyarakat Simardangiang mempraktikkan sistem agroforestry, mengombinasikan pohon kemenyan dengan tanaman seperti petai, kakao, jengkol, dan durian. Namun, selama dua tahun terakhir, durian tidak lagi berbuah, dan masyarakat belum menemukan penyebabnya.
2. Proses pembuatan kemenyan

Penyadapan kemenyan dilakukan berdasarkan kriteria tertentu. Jenis Haminjon Toba dipanen pada Mei hingga Juli dan ditandai dengan adanya bunga, sementara Haminjon Gurame bisa dipanen sepanjang tahun dan dikenali dari kondisi daunnya.
“Satu KK bisa memiliki ribuan batang, dan satu pohon menghasilkan sekitar setengah kilogram getah per tahun,” jelas Kepala Desa Tampan Sitompul.
Dijelaskannya, getah dijual langsung di desa kepada para pengepul (toke) dengan harga fluktuatif, saat ini sekitar Rp60.000/kg untuk kualitas nomor tiga.
Desa Simardangiang telah memperoleh pengakuan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) melalui SK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Agustus 2024, setelah sebelumnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah oleh Bupati.
3. Langkah awal dalam memperkuat integrasi pengetahuan lokal dengan pendekatan ilmiah

Proses ini didampingi oleh organisasi Gerakan Jaga Indonesia (GJI). Saat ini, satu kelompok MHA tengah menyiapkan pembentukan Kelompok Tani Hutan untuk mengelola area seluas 2.917 hektare.
Direktur PETAI, Masrizal Saraan, Jumat (16/5/2025), menjelaskan, kunjungan lapangan Pokja Penurunan Emisi GRK ini menjadi langkah awal dalam memperkuat integrasi pengetahuan lokal dengan pendekatan ilmiah.
“Tentunya dalam upaya menurunkan emisi berbasis lahan secara partisipatif dan berkelanjutan di Sumatra Utara,” pungkasnya.