HUT Ke-80 RI, Pidato Presiden Prabowo Tidak Menyinggung soal Krisis Iklim

Medan, IDN Times – Pidato kenegaraan dan nota keuangan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD, jelang perayaan 80 tahun Indonesia merdeka, menuai kritik tajam.
Greenpeace menilai narasi yang disampaikan Prabowo sarat dengan klaim pencapaian ekonomi, namun minim makna kemerdekaan sejati. Alih-alih menjawab keresahan rakyat, selama ini kebijakan pemerintah disebut hanya menguntungkan segelintir kelompok. Isu krisis iklim yang semakin nyata justru tidak masuk dalam sorotan utama.
1. Pertumbuhan ekonomi dinilai tidak merata

Dalam pidatonya, Prabowo menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,12 persen per tahun. Namun, Greenpeace menilai pencapaian ini belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat kecil.
“Klaim Presiden terkait meningkatnya kesejahteraan masyarakat selama satu tahun kepemimpinan merupakan pernyataan yang tidak berdasar. Pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya tidak dirasakan oleh masyarakat, terutama mereka yang paling terdampak krisis iklim,” kata Juru Kampanye Keadilan Iklim, Jeanny Sirait dalam keterangan resmi, Minggu (17/8/2025).
Jeanny menegaskan, pemerintah menggunakan standar kemiskinan yang jauh di bawah standar Bank Dunia. Artinya, klaim penurunan angka kemiskinan pun perlu dipertanyakan.
2. Masyarakat adat dan krisis iklim yang terabaikan dalam pidato kenegaraan

Sekitar 5 dari 10 orang Indonesia telah merasakan dampak perubahan iklim secara signifikan dalam kehidupan mereka, melampaui persentase responden yang mengalami dampak serupa di negara-negara di belahan bumi utara. Sayangnya, kelompok paling terdampak krisis iklim ini bahkan tidak masuk dalam radar pidato kenegaraan Prabowo. Masyarakat adat dan komunitas lokal yang menjadi garda terdepan dalam upaya penanggulangan krisis iklim, tidak diidentifikasi sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan negara.
“Padahal selama ini, masyarakat adat dan komunitas lokal dalam praktik kehidupan sudah menjaga hutan, tanah dan air Indonesia, hal tersebut adalah praktik konkret solusi terhadap krisis iklim yang seharusnya diadopsi oleh negara sebagai bentuk keseriusan pemerintah. Jangankan dilibatkan, diakui keberadaannya pun tidak,” jelas Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Greenpeace menilai pengabaian ini menjadi tanda lemahnya komitmen negara dalam memastikan keadilan iklim.
3. Ambisi energi terbarukan masih kontradiktif

Prabowo menyatakan target ambisius untuk mencapai 100 persen energi baru terbarukan dalam 10 tahun. Namun, fakta di lapangan justru berlawanan.
Berdasarkan RUPTL, pada 2034 porsi energi terbarukan diperkirakan hanya 29 persen. Ironisnya, dalam lima tahun pertama, pemerintah malah menambah masif Pembangkit Listrik Tenaga Gas hingga 10,3 GW.
“Ambisi 100 persen energi baru terbarukan akan sulit tercapai jika pemerintah masih membuka jalan bagi pembangunan pembangkit berbasis fosil. Padahal, untuk mengejar ambisi ini, pemerintah harus segera fokus pada pembangunan pembangkit listrik terbarukan,” papar Iqbal Damanik, Manager Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Greenpeace mendesak agar pemerintah segera mengubah arah pembangunan energi jika ingin mewujudkan visi kemerdekaan sejati: rakyat sejahtera tanpa kehilangan hak atas tanah, udara bersih, dan sumber air.