Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Tanda Kamu Mulai Merasa Bersalah Saat Mengutamakan Diri Sendiri

ilustrasi wanita (pexels.com/Christina Morillo)
ilustrasi wanita (pexels.com/Christina Morillo)

Mengutamakan diri sendiri sering kali dianggap egois, terutama jika tumbuh dalam lingkungan yang menanamkan nilai bahwa “baik” berarti selalu hadir untuk orang lain, bahkan saat diri sendiri lelah. Padahal, merawat diri dan mendahulukan kebutuhan pribadi bukan bentuk keegoisan, melainkan tanda bahwa seseorang mengenal batas dan menghargai dirinya. Sayangnya, tidak semua orang bisa merasa tenang saat melakukan itu.

Banyak yang diam-diam menyimpan rasa bersalah ketika mengambil waktu untuk istirahat, berkata “tidak”, atau memilih hal yang membuat diri nyaman. Perasaan ini tidak datang dari kesalahan nyata, melainkan dari konflik batin antara keinginan diri dan ekspektasi orang lain.

Jika dibiarkan, rasa bersalah ini bisa menjadi beban emosional yang menggerogoti ketenangan. Berikut lima tanda bahwa seseorang mulai merasa bersalah saat mencoba mengutamakan diri sendiri.

1. Sering minta maaf setelah menolak permintaan orang lain

ilustrasi wanita (pexels.com/Alex Green)
ilustrasi wanita (pexels.com/Alex Green)

Setelah mengatakan "tidak", muncul dorongan untuk langsung meminta maaf, meskipun keputusan yang diambil sebenarnya wajar dan masuk akal. Permintaan maaf ini bukan karena melakukan kesalahan, tapi karena merasa tidak enak hati.

Rasa bersalah ini menunjukkan bahwa batas pribadi belum diakui sebagai sesuatu yang sah. Padahal, menolak permintaan bukan berarti menyakiti, melainkan menjaga keseimbangan agar bisa hadir dengan lebih baik di lain waktu.

2. Merasa tidak pantas mengambil waktu untuk istirahat atau menikmati hal yang disukai

ilustrasi wanita (pexels.com/MART  PRODUCTION)
ilustrasi wanita (pexels.com/MART PRODUCTION)

Saat ingin beristirahat atau melakukan sesuatu untuk diri sendiri, sering muncul perasaan “seharusnya aku melakukan hal lain yang lebih berguna.” Ini membuat momen relaksasi terasa tidak nyaman dan dipenuhi pikiran bersalah.

Padahal, waktu untuk diri sendiri adalah bagian penting dari kesehatan mental dan fisik. Jika terus merasa harus produktif demi orang lain, maka tubuh dan pikiran tidak pernah benar-benar mendapat ruang untuk pulih.

3. Membatalkan rencana pribadi demi menyesuaikan jadwal orang lain

ilustrasi wanita (pexels.com/Ono  Kosuki)
ilustrasi wanita (pexels.com/Ono Kosuki)

Sudah punya rencana yang ditunggu-tunggu, tapi langsung dibatalkan saat orang lain datang dengan permintaan atau kebutuhan mendadak. Keputusan ini sering kali diambil tanpa pertimbangan, karena takut dianggap tidak peduli.

Tindakan ini bisa terlihat fleksibel dari luar, tapi jika terjadi berulang, lama-lama membuat seseorang merasa hidupnya bukan milik sendiri. Setiap keputusan pribadi terasa tidak cukup penting dibanding kebutuhan orang lain.

4. Takut dianggap egois saat mengungkapkan kebutuhan atau ketidaknyamanan

ilustrasi wanita (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi wanita (pexels.com/Pixabay)

Menyuarakan kebutuhan atau mengatakan “aku butuh waktu sendiri” terasa berat. Ada kekhawatiran akan membuat orang lain kecewa atau menilai buruk. Maka akhirnya memilih diam, meski hati tidak nyaman.

Ketika ketakutan seperti ini muncul terus-menerus, artinya ada konflik antara keinginan untuk menjaga diri dan keinginan untuk diterima. Rasa bersalah jadi penghalang utama untuk jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain.

5. Selalu membandingkan kebutuhan pribadi dengan orang lain dan merasa kalah penting

ilustrasi wanita (pexels.com/Liza Summer)
ilustrasi wanita (pexels.com/Liza Summer)

Saat ingin membeli sesuatu, beristirahat, atau mengambil keputusan, sering muncul pikiran seperti “orang lain butuh lebih dari aku” atau “mereka lebih lelah, masa aku istirahat duluan?”. Ini membuat kebutuhan pribadi selalu dikesampingkan.

Membandingkan kebutuhan secara terus-menerus menciptakan keyakinan bahwa kebahagiaan orang lain selalu lebih penting. Padahal, setiap orang punya batas dan kebutuhan masing-masing yang sah untuk dihargai.

Mengutamakan diri sendiri bukanlah bentuk pengabaian terhadap orang lain, melainkan cara menjaga keseimbangan agar bisa hadir dengan versi terbaik dari diri sendiri. Jika terus merasa bersalah setiap kali ingin memenuhi kebutuhan pribadi, maka akan sulit untuk benar-benar merasa utuh dan damai. Belajar berkata jujur pada diri sendiri, menetapkan batas, dan memberi izin untuk merasa cukup adalah langkah penting menuju hidup yang lebih sehat secara emosional.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us