Accelerated English Centre, Dari Kosan hingga Lahirkan Ribuan Alumni

- Accelerated English Centre (AEC) berkembang dari les privat di kos-kosan menjadi ruko pertama di Medan. Irwan Wiseful Berutu membangun AEC dengan visi yang jelas dan tumbuh cepat hingga memiliki 9 cabang
- AEC memiliki cabang di berbagai kota dan menjaga standar kualitas pengajar melalui rekrutmen ketat.
- Bahasa Inggris kunci masa depan
Medan, IDN Times- Di balik kesuksesan sebuah lembaga kursus atau les bahasa Inggris populer di Kota Medan Accelerated English Centre (AEC), tersimpan kisah panjang tentang kegigihan seorang anak kampung bernama Irwan Wiseful Berutu. Lahir di Salak, Pakpak Bharat, tahun 1984, Irwan merintis jalan hidupnya dengan penuh keterbatasan, namun menjadikannya batu loncatan untuk menginspirasi banyak orang.
Ayahnya meninggal saat ia masih SMP. Sang ibu yang seorang petani menjadi tumpuan keluarga. Sementara keinginan Irwan untuk belajar bahasa Inggris terbentur biaya. “Saya sampai minta ke ibu ikut les bahasa Inggris di kampung karena saya yakin akan berguna. Ibu kerja keras jadi petani demi bisa meleskan saya,” kenangnya.
Namun keterbatasan itu tidak membuatnya berhenti. Usai tamat SMA pada 2002, Irwan memberanikan diri menawarkan les privat door to door di Medan. Dengan modal bahasa Inggris yang pas-pasan, banyak yang tak yakin.
“Saya sampai berhentikan anak-anak di jalan, tawarkan les. Banyak yang nggak percaya, lihat saya kecil, hitam, orang kampung. Tapi lama-lama mereka lihat hasilnya. Nilai anak-anak naik, akhirnya makin banyak yang mau ikut,” tuturnya.
Dari mulut ke mulut, jumlah muridnya terus bertambah. Saat kuliah S1 Bahasa Inggris tahun 2003, ia sudah mengajar puluhan siswa SD, SMP, hingga SMA. Karena banyak yang menuntut sertifikat, Irwan pun mengurus izin resmi ke Dinas Pendidikan. Tiga tahun kemudian, lahirlah lembaga kursus berizin bernama Accelerated English Centre (AEC).
1. Dari kosan ke ruko, lalu ekspansi

Les privat dari kos-kosan Sei Bilah kemudian berkembang jadi ruko pertama di Jalan Kangkung pada 2005. Dengan visi yang jelas, AEC tumbuh cepat. Tahun 2006, cabang mulai dibuka ke berbagai kota: Lubukpakam, Sidikalang, Kabanjahe, Pematangsiantar, hingga Jalan Yos Sudarso Medan. Ribuan siswa dari berbagai daerah pun lahir dari sistem pembelajaran yang ia rancang.
Di tengah kesibukannya membangun les Bahasa Inggris, Irwan mengatakan banyak yang tertarik dengan kisah hidupnya. Lalu memintanya memberi tips dan trik.
"Waktu itu kan saya mandiri. Tahun 2003 sudah mengirim uang ke orangtua dan bayar uang kuliah sendiri. Bisa beli mobil apa adanya. Banyak orang bertanya apa tip triknya. Diundang sharing. Terakhirnya motivator. Kisah hidup saya dituliskan di buku namanya Action Power diterbitkan best seller," kata Irwan.
Namun Irwan larut dalam aktivitasnya menjadi motivator hingga tempat lesnya sempat terbengkalai. Apalagi dihantam pandemik COVID-19. "Setelah itu saya sadar jika pendidikanlah yang tak pernah berubah dan saya bangun kembali AEC ini hingga bangkit seperti sekarang," bebernya.
2. AEC sudah punya 9 cabang, metode belajarnya juga update

Saat ini AEC sudah punya 9 cabang. Ada 4 di Kota Medan, selain itu 2 cabang di Kabanjahe, Sidikalang, Siantar dan Lubukpakam. Irwan menjaga standar kualitas pengajar lewat rekrutmen ketat: interview, micro teaching, tes TOEFL, hingga observasi langsung. Saat ini sudah ada 48 guru dan 1.300-an murid.
“Di manapun cabang kita, kualitasnya harus sama. Yang kita jaga itu kosakata dan confidence siswa. Tanpa kosa kata, tidak ada percakapan,” tegasnya.
Kelas-kelas yang ada mulai dari Soft Start, General English, Conversation Class, TOEFL Class, dan IELTS preparation. Biaya pendaftarannya Rp150 ribu dengan berbagai sesi mulai dari pagi, siang hingga sore dan malam.
Metode belajar AEC menekankan praktik speaking, story telling, hingga vocabulary building per level 700–1000 kata baru. Ada pula kegiatan kreatif seperti rujak party, watching movie, hingga outing class ke Berastagi, Parapat, atau Bukit Lawang—untuk bertemu bule dan melatih percakapan langsung.
“Jadi kita terapkan English Zone. Jadi kalau dia ngomong bahasa Indonesia denda. Kalau belajar bahasa Inggris tanpa praktik, itu sama saja kosong. Kita bawa murid untuk ngobrol langsung dengan bule. Dari situ mereka belajar confidence,” ujarnya.
Bagi Irwan, kesalahan dalam berbicara adalah bagian dari proses. “Kalau salah, ya kita koreksi. Justru semakin banyak ngomong, semakin kelihatan kesalahannya. Itu cara belajar yang sebenarnya. Bayi pun belajar bicara dengan banyak salah dulu, baru lancar,” katanya.
3. Bahasa Inggris kunci masa depan

Irwan meyakini bahasa Inggris adalah kunci membuka banyak peluang. Baik untuk melanjutkan studi, beasiswa luar negeri, maupun karier di dunia kerja. “Masuk TNI-Polri, Akpol, Akmil, bahkan perusahaan multinasional—semua butuh kemampuan bahasa Inggris. Minimal skor TOEFL 500. Itu syarat dasar sekarang,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, AEC juga membuka kelas untuk karyawan. Alumni AEC kini tersebar di berbagai profesi, bahkan ada yang berhasil melanjutkan studi ke luar negeri. Salah satu siswi yang sempat mencicipi kelas AEC adalah juara Indonesian Idol Lyodra Ginting. "Lyodra sempat belajar 4 tahun di AEC. Dia adalah murid yang punya kemauan yang kuat," katanya.
Kini, AEC tengah mempersiapkan ekspansi ke kota-kota besar: Jakarta, Surabaya, Pekanbaru, dan Bandung. Fasilitas kelas pun terus ditingkatkan, menyesuaikan dengan generasi muda yang semakin visual, kreatif, dan digital.
Irwan percaya, tantangan pendidikan tidak berhenti. Namun misinya jelas: melahirkan generasi yang percaya diri, kompeten, dan siap bersaing di dunia global.
Bagi Irwan, perjalanan hidupnya adalah bukti bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk sukses. “Yang penting fighting spirit. Dari kampung pun bisa mendunia, asal punya daya juang,” tutupnya penuh semangat.