Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kritik Adat Lewat Novel Merantau ke Deli Karya Hamka 

potret Vino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella dalam salah satu scene film Buya Hamka Vol. 1. (instagram.com/buyahamkamovie)

Novel Merantau ke Deli karya Hamka adalah cerita bersambung yang diterbitkan pada tahun 1939 oleh majalah Pedoman Mayarakat, sebelum perang dunia kedua. Hamka mengatakan bahwa latar belakang novel ini ditulis berdasarkan pengalaman Hamka sendiri ketika menjadi guru agama di suatu kota kecil.  Orang-orang dari berbagai daerah mencari nafkah sebagai kuli kontrak dengan ikatan Punale-Sanctie.

Deli sendiri adalah suatu daerah di Sumatera Utara yang membuka banyak perkebunan oleh pengusaha asing, maka di antara banyak kuli kontrak tersebut, ada yang dari pulau Jawa, Minangkabau, Banjar, Betawi, dan lain-lain. Orang-orang yang tinggal di sana pun banyak yang sudah menikah antar-suku sehingga menciptakan beragam perpaduan bangsa Indonesia.

Novel Merantau ke Deli menceritakan seorang pemuda bernama Leman yang berasal dari Minangkabau. Selama berdagang di Deli, ia jatuh hati pada seorang kuli kontrak juga – perempuan simpanan mandor besar, Poniem. Setelah menyatakan kesungguhannya, Leman pun memperistri Poniem. Perbedaan suku dan adat yang diangkat oleh penulis merupakan kritik terhadap orang-orang yang masih berpikir konservatif.

1. Pembongkaran struktur novel ini tidak bermaksud menghancurkan cerita

Novel Merantau ke Deli Karya Hamna (Sumber: gemainsani)

Dengan pendekatan dekonstruksi Derrida, pembongkaran struktur novel ini tidak bermaksud menghancurkan cerita, tetapi justru menyingkap makna yang tersembunyi -- kritik terhadap konflik adat dan kekayaan. Pada awalnya saya mengira penyebab utama Leman bercerai dengan Poniem adalah kedatangan orang ketiga, yaitu Mariatun yang merupakan gadis sesama suku Minangkabau.

Keberadaan Poniem, sebagai istri pertama menjadi terisisihkan ketika Leman lebih banyak mengasihi Mariatun, istri mudanya yang juga sesama orang kampungnya, sama satu suku Minangkabau. Tapi ketika ditelaah lebih dalam, pernikahan kedua Leman dengan Mariatun merupakan rencana dari saudara-saudara Leman di kampung.

Keinginan mereka itu disebabkan bahwa harta kekayaan Leman bisa jatuh kepada keluarga perempuan apabila ia memperistri gadis dari Minangkabau (Matrilineal). Oleh karena itulah, penyebab awal keretakan rumah tangga Leman dan Poniem sebenarnya bukan hanya karena kedatangan orang ketiga atau Poniem yang belum hamil, namun awal keretakan itu terjadi karena rencana kerabat di kampungnya.

2. Leman jatuh miskin setelah beberapa tahun bercerai dengan Poniem

Buya Hamka (wikipedia.org)
Buya Hamka (wikipedia.org)

Adat Minangkabau mengutamakan garis keturunan ibu dan kepemilikan harta oleh keluarga perempuan. Hal ini menjadi latar belakang rencana, sehingga kekayaan tetap di dalam lingkaran keluarga. Laki-laki hanya dianggap sebagai ’Gajah pengangkut debu’ karena harta kekayaannya akan habis dikirimkan untuk kampung dan keluarga perempuan.

Itulah pula yang dikatakan oleh Poniem, semasa ia masih menjadi istri Leman, bahwa orang-orang sekampungnya tidak menyapa dan memuji ketika ia masih seorang pedagang miskin, hanya ketika ia sudah menjadi kaya-raya, orang-orang kampungnya mulai membanggakan namanya dan mengajaknya pulang.

Padahal, sebelum pulang ke kampung, ia dan Poniem bahu membahu membangun usaha dan kemudian bahagia di perantauan, perniagaannya maju dan siapapun orang yang kesusahan dapat ditolongnya.

Pada akhir cerita, Leman jatuh miskin setelah beberapa tahun bercerai dengan Poniem, sementara Poniem hidup berbahagia setelah memulai usahanya kembali dengan Sujono, suami barunya. Seandainya Leman tidak mendengarkan omongan orang kampungnya, mungkin kini ia masih kaya dengan Poniem atau tidak terlalu jatuh miskin kembali, karena dirinya sendirilah, nasibnya yang sudah bagus kembali pahit lagi seperti sebelum ia merantau ke Deli.

3. Orang Jawa disebut dengan 'bukan orang awak'

Buya Hamka (dok. Falcon Pictures/Buya Hamka)(

Novel Merantau ke Deli karya Hamka ini seolah memberikan gambaran bagaimana sebuah adat yang dipegang erat oleh suatu suku malah membawa keretakan dalam hidup sepasang suami-istri, mungkin tujuan penulis mengarang cerita ini juga untuk mengkritisi adat dan budaya yang telah lama diturunkan oleh leluhur mereka.

Orang Jawa yang dikatakan sebagai ’bukan orang awak’ oleh saudara-saudara Leman justru adalah orang berbudi baik, yang perilaku dan tutur katanya tidak ada yang salah, lantas hanya karena berbeda suku, ia dianggap orang lain.

Kondisi Leman yang jatuh miskin menggambarkan dampak nyata dari ketidakbijaksanaannya dalam mengabaikan kesetiaan Poniem demi tradisi kampung yang pada akhirnya justru merugikan dirinya.

Dengan membongkar konflik dalam cerita ”Merantau ke Deli”, kita bisa tahu bahwa kerabat Leman akan merasa tenang karena kekayaan Leman tidak jatuh kepada orang lain, melainkan hanya untuk bangsa mereka sendiri.

Share
Topics
Editorial Team
Irhamna
EditorIrhamna
Follow Us