Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dampak Perubahan Iklim, Waspadai Peningkatan Ular Kobra di Perkotaan

Ular kobra jawa (inaturalist.org/manderson80)
Ular kobra jawa (inaturalist.org/manderson80)

Medan, IDN Times – Perubahan iklim ternyata bisa meningkatkan populasi ular berbisa di kawsan perkotaan. Ini disebabkan oleh perubahan suhu dan kelembaban. Kondisi ini membuat tingkat keberhasilan penetasan teluru ular naik.

Kondisi ini perlu diwaspadai. Tingkat kematian akibat bisa ular di Indonesia mencapai 10 persen per tahun. Dilansir Mongabay, ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN.

“Perubahan iklim menyebabkan beberapa spesies ular berbisa, bertambah populasinya. Ini dikarenakan adanya pengaruh suhu yang menyebabkan keberhasilan penetasannya meningkat. Jika penetasan naik, otomatis populasinya juga semakin banyak,” ungkap Amir Hamidy, peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN.

1. Kobra termasuk jenis yang paling banyak ditemukan

Ular kobra palsu (commons.wikimedia.org/Rohit Naniwadekar)
Ular kobra palsu (commons.wikimedia.org/Rohit Naniwadekar)

Kata Amir, tidak semua jenis ular bisa beradaptasi dengan iklim. Dia menyontohkan, Jawa sebagai role model, yang sekitar 60 persen penduduk Indonesia terkonsentrasi di pulau ini. Dari 35-36 jenis ular teresterial yang ada di sini, sekitar 13 jenis merupakan ular berbisa. Dari jumlah tersebut, terdapat 4 atau 5 jenis ular berbisa yang mampu hidup di sekitar manusia, misalkan kobra, weling atau welang, dan ular hijau.

“Di Jakarta atau Jabodetabek, ular yang paling banyak dijumpai adalah kobra, jenis paling mematikan. Ular ini tidak lagi hidup di hutan-hutan lebat, tetapi juga berada di pekarangan rumah, persawahan, atau sekitar permukiman manusia,” ungkapnya.

Saat beru lahir, bayi kobra memiliki bisa mematikan. Bayi ular menggunakan bisanya untuk bisa bertahan hidup dan juga kemudahan baginya untuk mengolah makanan. Kadang, beberapa jenis ular justru dosis bisa anakannya lebih mematikan dibandingkan ular dewasa.

2. Predator ular hilang jadi efek domino

ilustrasi hutan yang gundul karena penebangan liar (unsplash.com/Collab Media)
ilustrasi hutan yang gundul karena penebangan liar (unsplash.com/Collab Media)

Ular memiliki predator alami. Kucing hutan, elang dan lainnya. Persoalannya, predator ini pun jumlahnya kian berkurang. Penyebabnya akibat perburuan manusia atau hilangnya habitat karena alih fungsi lahan.

Kondisi ini menjadi efek domino. Populasi ular meningkat ditambah kontribusi perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan suhu tahunan. Pakannya seperti tikus juga melimpah di perkotaan.

“Perlu diketahui populasi tikus itu lebih banyak dibandingkan manusia. Maka ketika pakan melimpah, predatornya menghilang, serta suhu mendukung maka peningkatan populasi. Terhadap kondisi ini, yang dirugikan adalah manusia itu sendiri,” jelasnya.

3. Kasus kematian akibat bisa ular cukup tinggi

Ular kobra merupakan salah satu ular yang memiliki kantung bisa (inaturalist.org/ehreneksteen)
Ular kobra merupakan salah satu ular yang memiliki kantung bisa (inaturalist.org/ehreneksteen)

Dalam buku pedoman “Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa dan Keracunan Tumbuhan dan Jamur” yang diterbitkan Kementerian Kesehatan [2023], dijelaskan bahwa Indonesia memiliki 350 sampai 370 spesies ular yang 77 jenis merupakan berbisa.

Angka insiden setiap tahun diperkirakan sekitar 135.000 kasus berdasarkan laporan sepanjang 10 tahun terakhir yang dilakukan oleh Indonesia Toxinology Society dengan angka kematian 10 persen per tahun.

“Data tersebut masih belum bisa menggambarkan keadaan sebenarnya, karena hanya berdasarkan laporan para klinisi di lapangan yaitu dari rumah sakit dan puskesmas serta masyarakat. Belum dikumpulkan secara resmi oleh Kementerian Kesehatan,” ungkap para penulis dalam buku yang dipimpin Tri Maharani.

Dengan angka kematian mencapai 10 persen pertahun di Indonesia, merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Ini membuat pekerjaan dunia medis sangat besar. Banyak orang Indonesia yang percaya pada mistis dan mitos sehingga menyebabkan tindakan medis terhalang.

“Tindakan yang harus dilakukan adalah pertolongan pertama yang benar. Caranya, dengan melakukan pertolongan kegawatdaruratan, menyediakan obat penolong antibisa ular, dan melakukan edukasi gigitan dan sengatan hewan berbisa,” jelas Tri Maharani.

Dengan angka kasus yang tinggi, lanjut Amir, pemerintah harus bisa menyediakan antibisa ular. Hal paling penting adalah ketika terjadi kasus gigitan ular, ada informasi rumah sakit terdekat yang menyediakan antibisa.

“Tidak ada pertolongan lain, selain medis dan harus ada antibisa juga,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us