Jejak Peninggalan Huta Siallagan di Samosir

Samosir, IDN Times - Sejumlah destinasi wisata di Pulau Samosir tentunya merupakan tempat wisata paling favorit bagi wisatawan lokal hingga mancanegara. Seperti Huta Siallagan yang memiliki sejarah. Dalam bahasa Batak, Huta Siallagan memiliki arti Kampung Siallagan.
Siallagan diambil dari nama Raja Siallagan yakni, sang pendiri dari kampung ini.
Kampung ini terletak di Pulau Samosir, Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
Berikut IDN Times rangkum jejak peninggalan Huta Siallagan di Samosir.
1. Huta Siallagan dilengkapi dengan benteng dan bambu

Huta Siallagan merupakan sebuah desa kuno yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, dibangun pada masa pemerintahan pemimpin Huta pertama, yaitu Raja Laga Siallagan. Siallagan adalah keturunan Raja Naimbaton yang mengikuti garis Raja Isumbaon, putra kedua Raja Batak.
Dalam silsilah garis keturunan kemudian dikembangkan pada masa pewarisnya, yaitu Raja Hendrik Siallagan, turun ke keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan.
Sejumlah keturunan Raja Siallagan masih tinggal di sana, hingga hari ini di Desa Ambarita, makam nenek moyang mereka masih dapat ditemukan di daerah tersebut.
Huta Siallagan sendiri memiliki luas sekitar 2.400 meter persegi dan dikelilingi oleh tembok batu setinggi 1,5 sampai 2 meter. Dibangun dari batu-batu terstruktur yang licin, dinding itu dulunya dilengkapi dengan benteng dan bambu yang tajam untuk melindungi desa dari binatang liar dan serangan dari suku lain.
2. Meja dan Kursi terbuat dari batu berusia ratusan tahun yang di pergunakan untuk mengadili para kriminal

Ketika memasuki perkampungan ini, para wisatawan akan melewati gerbang dengan patung dan tulisan aksara Batak, dan menjumpai deretan rumah-rumah adat Batak yang berjejer rapi.
Selain itu, terdapat pula kumpulan meja dan kursi, atau yang sering di sebut dengan “Batu Persidangan“.
Lokasi batu persidangan berada di depan rumah raja, dan tepat berada di bawah pohon Hariara. Sebuah pohon yang di keramatkan oleh suku Batak.
Meja dan Kursi yang terbuat dari batu ini, di perkirakan telah berusia sekitar 200 tahun. Dahulu kala, tempat ini di pergunakan untuk mengadili para kriminal.
Tindak kejahatan tersebut bisa berupa mencuri, membunuh, memperkosa, dan menjadi mata-mata musuh. Hukumannya pun tidak main-main. Jika kejahatannya kecil, maka akan diberikan sangsi berupa hukuman pasung. Namun jika kejahatannya tergolong kejahatan berat maka pelaku akan dijatuhi hukuman pancung alias potong kepala.
Tanggal eksekusi pun akan ditentukan dari hari paling lemah si penjahat atau hari baiknya kapan. Pasalnya, rata-rata orang yang berani melakukan kejahatan diyakini mempunyai ilmu hitam. Untuk menentukan hari kapan untuk di eksekusi, dahulu menggunakan Manitiari atau Primbon Suku Batak.
Setelah tiba hari pemancungan pelaku kejahatan akan ditempatkan di sebuah meja batu dengan mata tertutup kain ulos. Tidak sampai di situ Jansen menuturkan Hukum pancung dibuat sedemikian dramatis. Pertama-tama penjahat akan diberi makan yang berisi ramuan dukun untuk melemahkan ilmu hitam.
Kemudian, pelanggar akan dipukul menggunakan tongkat tunggal panaluan, yaitu tongkat magis dari kayu berukir gambar kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa rambut panjang.
3. Huta Siallagan menjadi destinasi favorit bagi wisatawan Pulau Samosir

Tour guide Huta Siallagan menjelaskan, dalam melakukan eksekusi pakaian para penjahat terlebih dahulu dilepaskan untuk memastikan tidak ada jimat yang masih tersisa.
Setelah itu, seluruh bagian tubuh disayat-sayat. Jika sudah terluka dan berdarah, bisa dipastikan ilmu hitam yang biasanya membuat orang kebal, telah hilang.
Kalau tubuh telah mengeluarkan darah, maka disiram dengan air asam sampai si penjahat semakin lemah. Setelah itu, baru hukum pancung dilakukan.
Momen yang menyeramkan adalah setelah proses eksekusi selesai, jantung dan hati penjahat tersebut dimakan agar menambah kekuatan sang raja. Sementara, kepala yang sudah terpisah dari badan akan diletakkan di meja berbentuk bulat, badannya diletak di meja berbentuk persegi.
Badan pelaku dibuang ke Danau Toba selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu pula para penduduk dilarang melakukan aktivitas di dalam Danau.
Sedangkan, kepalanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan sebagai pemberi peringatan kepada raja lain atau rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan dibalik kampung, dan selanjutnya warga akan dilarang beraktivitas di hutan selama 3 hari.
Penghukuman ini merupakan penghukuman yang termasuk sadis, sudah berakhir pada abad ke-19 saat agama Kristen mulai masuk dan diperkenalkan oleh misionaris asal Jerman, yaitu Ludwig Ingwer Nommensen ke kawasan Danau Toba.
Jejak peninggalan Huta Siallagan merupakan kampung wisata di Pulau Samosir, dengan sejarah hukum pancung dan kisah kanibal yang sudah tak berlaku. Kini, tempat tersebut menjadi destinasi favorit di Pulau Samosir bagi para wisatawan.