Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dentang Canang Kayu, dari Sawah Mendentang Panggung Dunia

WhatsApp Image 2025-11-20 at 21.23.06.jpeg
Salah seorang pemuda sedang memainkan Canah Kayu, alat musik tradisional asal Kabupaten Aceh Singkil. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Banda Aceh, IDN Times - Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Aceh menggelar Ekspedisi Sungai Singkil mulai 12 sampai 15 November 2025. Kegiatan ini berkolaborasi dengan sejumlah komunitas pemuda di Tanah Bertuah tersebut.

Perjalanan yang membawa 70 orang, mulai dari akademisi, konten kreator, budayawan, dan jurnalis ini melintasi Kabupaten Aceh Singkil serta Kota Subulussalam. Mulai dari menyusur empat gugusan pulau perbatasan dengan Sumatera Utara (Sumut) hingga Sungai Singkil.

***

Mentari mulai condong ke barat. Denting kayu berpadu dengan deru mesin Kapal Motor (KM) Sumber Usaha 01 yang mengarungi Sungai Lae Soraya, di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.

Di haluan kapal, Rafliansyah duduk bersilah sambil mengetuk dua stik ke lima bilah kayu berbeda ukuran. Bunyi ritmis dari Canang Kayu --alat musik tradisional Aceh Singkil-- mengisi udara, seolah menjadi penanda perjalanan yang merambat ke hulu.

Mulutnya komat-kamit melantunkan syair. Sesekali ia menatap aliran sungai yang memantulkan cahaya ke wajahnya. Kapal bercat biru muda dan maron itu tetap mengarung.

“Lae Singkil mesimpang dua. Lae Cinendang bakken Lae Soukahaya. Seni Budaya sama ta jaga. Soh mi anak bakken kempu ta,” ucap Rafliansyah, sambil terus mengetuk Canang Kayu.

Syair yang pemuda 33 tahun itu lantunkan adalah bagian dari sambutan dalam Tari Dampeng, tradisi yang tumbuh di sepanjang Sungai Singkil. 

Di dalamnya tersimpan pesan tentang Sungai Lae Soraya, budaya, dan warisan leluhur yang harus dijaga bersama. Termasuk Canang Kayu yang kini kembali dipopulerkan.


1. Alat musik yang lahir dari sawah dan batang kayu

WhatsApp Image 2025-11-20 at 21.23.06 (2).jpeg
Para pemuda sedang memainkan Canah Kayu, alat musik tradisional asal Kabupaten Aceh Singkil. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Perjalanan KM Sumber Usaha 01 kali ini berbeda. Kapal kayu ini biasanya mengarungi lautan, dari daratan Kabupaten Aceh Singkil menuju Kecamatan Pulau Banyak. Namun kali ini, nahkoda akan menyusuri sungai yang dikatakan memiliki banyak nilai sejarah.

Mesin kapal telah menderu sejak berlabuh dari dermaga di Desa Teluk Rumbia, Kecamatan Singkil, pada Kamis (13/11/2025) pukul 10.50 WIB. Raung diesel itu menggema perlahan, seiring kapal mengarung ke hulu. 

Lebih kurang enam jam kapal merambat sungai yang berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil tersebut hingga ke Desa Lentong, Kecamatan Kota Baharu, Kabupaten Aceh Singkil.

Rafliansyah tidak sendirian. Ia bersama akademisi, jurnalis, budayawan, dan pemuda lainnya menjadi bagian dari Ekspedisi Aceh Singkil. Perjalanan untuk mendokumentasikan kembali akar peradaban yang tumbuh sepanjang Sungai Singkil. 

Di setiap tikungan sungai, denting Canang Kayu yang ia mainkan seakan menjadi penanda ritmis perjalanan. Syair-syair kehidupan pun turut disenandungkan untuk menghibur diri. Di tengah riak airl, musik itu serupa penanda bahwa tradisi Singkil masih hidup.

Rafliansyah mengatakan Canang Kayu merupakan alat musik tradisional Aceh Singkil yang sudah ada sejak tahun 1970-an. Hal itu sebagaimana catatan dalam buku yang ditulis Bahauddin Pohan, seorang tokoh budaya Singkil.

Namun, menurut Rafliansyah, fungsi alat musik itu jauh lebih tua daripada catatan tersebut. Sebab, potongan bilah batang kayu tersebut lahir dari keseharian petani saat berada di sawah ketika hiburan nyaris tidak ada sehingga memanfaatkan yang tersedia di lingkungan.

Pohon cuping-cuping atau Terentang Putih yang tumbuh subur di daerah rawa dan aliran sungai, kata seniman Aceh Singkil itu, ditebang, dipotong, lalu dibelah menjadi empat bilah kayu. Hasilnya, alat musik sederhana yang kemudian dinamakan Canang Kayu.

“Dulu di bentangan Singkil ini kan orangnya rata-rata bersawah atau petani. Nah, kan kalau zaman dahulu kan tidak ada hiburan. Yang ada itu cuma memanfaatkan lingkungan yang ada,” kata Rafliansyah.

Selain pohon Terentang Putih, Canang Kayu juga dapat dibuat dari pohon Kati Mahar dan Meranti kayu-kayu yang akrab dengan kehidupan masyarakat pesisir dan rawa Aceh Singkil.


2. Dari pengusir pipit hingga warisan budaya

WhatsApp Image 2025-11-14 at 23.01.19.jpeg
Rafliansyah sedang memainkan Canang Kayu, alat musik tradisional asal Kabupaten Aceh Singkil. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Sejak dahulu, kata Rafliansyah, Canang Kayu memiliki tiga fungsi utama pada masa lalu. Pertama sebagai hiburan bagi para petani ketika beristirahat di pondok pematang sawah.

Kedua sebagai alat untuk menghalau burung pipit yang memakan padi. Ketiga sebagai alat untuk membantu meredakan pegal setelah bekerja seharian. Sebab, dahulu Canang Kayu dimainkan dengan cara dipangku tanpa menggunakan alas kotak kayu sebagai resonator.

“Jadi fungsi kesehatannya juga ada. Itu sebagai alat menghilangkan pegal,” ucapnya.

Kebiasaan masyarakat berubah. Begitu juga dengan Canang Kayu. Denting alat tradisional ini pun turut mendengung dengan suasana kekinian.

Canang Kayu tak lagi hanya menjadi teman bagi para petani. Kini, dentingnya hadir dalam acara pernikahan, khitanan, penyambutan tamu, hingga perayaan hari besar. 

Perubahan itu pula beriringan dengan masuknya Canang Kayu sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) milik Aceh Singkil tahun 2016. 

Penetapan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kala itu, membawa tanggung jawab besar agar alat musik ini tidak hilang ditelan modernisasi.

Rafliansyah bersama rekan-rekannya membentuk berbagai komunitas, termasuk Rumah Canang Kayu, untuk membawa alat musik itu naik ke panggung yang lebih besar.

“Oleh karena itulah kami tergerak dari arena muda membuat pembaruan tanpa menghilangkan estetika tradisinya,” jelas Rafliansyah. 

Salah satu pembaruan yang mereka lakukan ialah menyusun kembali nada Canang Kayu. Alat yang awalnya hanya memiliki nada do, re, sa, dan si, kini menjadi do, re, mi, fa, serta so. 

Pembaruan ini untuk memudahkan ketika dikolaborasikan dengan alat, seperti rapa’i, gendang dua sisi, dan alat musik ketuk lain. Termasuk memadukan dengan musik modern. 

“Supaya lebih mudah untuk mengkolaborasikan dengan alat musik modern,” ujarnya.

Perubahan juga dilakukan pada cara memainkan alat itu. Dahulu, pemain duduk berselonjor dan bilah kayu diletakkan langsung di tanah atau paha. 

Namun karena kini sering dipakai dalam acara resmi, dibuatlah kotak resonator agar lebih layak dipentaskan.


3. Dentang canang kayu tak boleh hilang ditelan waktu

WhatsApp Image 2025-11-20 at 21.23.06 (1).jpeg
Salah seorang pemuda sedang memainkan Canah Kayu, alat musik tradisional asal Kabupaten Aceh Singkil. (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Memperkenalkan Canang Kayu kepada orang di luar Aceh Siingkil membuahkan hasil. Sejak 2016, permintaan terhadap Canang Kayu meningkat khususnya di sekolah-sekolah dan ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N).

Bahkan, Canang Kayu berhasil meraih juara satu lomba musik garapan tradisi di Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) pada 2018. Tahun yang sama, dentingnya bahkan hadir di panggung Asian Games 2018.

“Kedepannya kami ingin orang sampai beranggapan bahwa pemain Canang Kayu itu keren,” kata Rafliansyah.

Pemuda asal Kuta Simboling itu memiliki mimpi yang besar. Ia ingin setiap sekolah di Aceh Singkil memiliki Canang Kayu dan menjadikan alat musik tradisional itu sebagai ekstrakurikuler wajib. 

Malah bukan hanya dipelajari sebagai alat musik, tetapi juga diajarkan cara membuatnya. Ia dan komunitasnya terus mendesak agar program ini diakomodasi oleh dinas terkait.

Selain itu, mereka rutin membuat konten-konten kolaboratif di media sosial menggunakan lagu-lagu populer agar menarik minat anak muda. 

“Canang Kayu itu unik, tidak ada di tempat lain,” katanya.

Menurut Rafliansyah, Canang Kayu masih sangat muda dibanding kesenian Aceh lainnya seperti Saman dan Ratoh Duek. Karena itulah, alat musik dari Tanah Betuah ini rentan hilang bila tidak diperkenalkan secara intensif.

Ditambah lagi, kata pria berusia 33 tahun itu, selama ini banyak budaya Aceh Singkil yang mulai hilang. 

“Jika ini tidak diestafetkan, nanti siapa yang akan melanjutkan? Ini menjadi tanggung jawab moral kita, melestarikan Canang Kayu ini,” ucapnya.


Share
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest Travel Sumatera Utara

See More

Dentang Canang Kayu, dari Sawah Mendentang Panggung Dunia

21 Nov 2025, 07:00 WIBTravel