5 Fakta Menarik Gelaran Piala Kemerdekaan 2025 di Stadion Utama Sumut

- Selebrasi "Nyungsep" menjadi pelajaran sportivitas bagi Timnas U-17
- Ledakan animo suporter Sumatera Utara yang memecahkan rekor nasional
- Berakhirnya penantian 40 tahun Sumut di panggung internasional
Piala Kemerdekaan U-17 2025 di Sumatera Utara resmi berakhir. Bagi masyarakat Sumut, ini adalah sebuah momen kebanggaan yang telah lama dinantikan. Melihat stadion kembali bergemuruh oleh puluhan ribu suara merupakan jawaban atas kerinduan panjang akan panggung sepak bola berkelas internasional di tanah Deli.
Di balik gemerlapnya acara, ada kisah-kisah menarik yang membuat turnamen ini begitu menyentuh. Ada cerita tentang penantian 40 tahun yang akhirnya usai, ledakan antusiasme suporter yang memecahkan rekor, hingga sebuah selebrasi viral yang justru mengajarkan kita semua tentang arti sportivitas yang sebenarnya.
Inilah alasan mengapa turnamen ini akan selalu punya tempat istimewa di hati masyarakat. Untuk itu, bersama IDN Times, mari kita lihat kembali lima momen dan fakta menarik selama Piala Kemerdekaan U-17 2025, di Stadion Utama Sumatera Utara.
1. Selebrasi "Nyungsep" viral

Salah satu momen yang paling menarik perhatian dari turnamen ini adalah selebrasi gol Mochammad Mierza Firjatullah. Striker Timnas U-17 ini berlari penuh semangat ke arah tribun usai mencetak gol. Namun, saat melompati papan iklan, ia tidak menyadari ada parit sedalam tiga meter di baliknya. Mierza pun terjatuh dan kejadian tersebut viral di media sosial.
Untungnya, Mierza dilaporkan hanya mengalami kram dan bisa melanjutkan permainan sejenak. Kejadian ini memicu tawa sekaligus kekhawatiran publik. Namun, yang membuat momen ini benar-benar unik bukanlah insidennya, melainkan apa yang terjadi setelahnya. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa di balik sebuah turnamen, terdapat proses pembentukan karakter yang terus berjalan.
Pelatih Nova Arianto memberikan reaksi tegas yang patut diapresiasi. Ia tidak membiarkan insiden tersebut lewat begitu saja, melainkan menjadikannya momen edukasi bagi seluruh skuad. Nova meminta para pemainnya untuk tidak lagi melakukan selebrasi berlebihan dan menekankan pentingnya "menghormati lawan". Insiden yang awalnya jenaka ini berubah menjadi pelajaran berharga tentang profesionalisme dan sportivitas.
2. Ledakan animo suporter yang pecahkan rekor nasional

Perhelatan ini sekaligus menjadi jawaban tegas atas keraguan terhadap gairah sepak bola di luar Pulau Jawa. Antusiasme suporter Sumatera Utara terbukti meledak. Di turnamen level U-17, dua laga terakhir Timnas Indonesia menghasilkan lebih dari 21.991 penonton, angka yang fantastis untuk kategori kompetisi usia muda.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, turut memberikan pujian. Ia menyebut "suporter Sumut benar-benar fans sejati" dan menegaskan bahwa jumlah penonton sebanyak itu untuk laga internasional U-17 belum pernah terjadi sebelumnya. Gairah ini sudah terasa sejak laga perdana, di mana lebih dari 12.000 suporter tetap setia memberikan dukungan di tengah guyuran hujan deras.
Ledakan jumlah penonton ini lebih dari sekadar angka. Hal ini menjadi bukti nyata keberhasilan kebijakan desentralisasi PSSI dan menunjukkan adanya "pasar yang lapar" di daerah. Kesuksesan ini hampir pasti akan menjadi pertimbangan serius bagi PSSI untuk menggelar lebih banyak laga Timnas, termasuk level senior, di Sumatera Utara pada masa mendatang.
3. Berakhirnya penantian 40 Tahun Sumut di panggung internasional

Di balik kemeriahan turnamen, tersimpan cerita sejarah yang kuat. Angka "40 tahun" bukan sekedar kiasan, melainkan perhitungan nyata. Penantian panjang masyarakat Sumut terhitung sejak 1985, saat Stadion Teladan di Medan terakhir kali menjadi tuan rumah untuk ajang akbar Kualifikasi Piala Dunia 1986. Momen bersejarah itu adalah kali terakhir Sumut menggelar turnamen resmi Timnas, sebelum penantian itu berakhir pada tahun 2025.
Selama ini, event-event besar sepak bola nasional memang cenderung terpusat di Jawa. Oleh karena itu, penunjukan Sumut sebagai tuan rumah menjadi sebuah kehormatan besar. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menyebut event ini sebagai "pembuktian Sumut bisa gelar laga internasional".
Bagi masyarakat Sumut, ini bukan hanya soal menonton pertandingan, melainkan tentang pemulihan kebanggaan dan penegasan kembali posisi mereka di peta sepak bola nasional. Keberhasilan penyelenggaraan ini menjadi wujud nyata dari kebijakan strategis "Indonesia-sentris" yang diusung PSSI, yang bertujuan menyebarkan gairah sepak bola secara lebih merata ke seluruh penjuru nusantara.
4. Debut Stadion Modern ala Eropa dengan julukan lokal yang unik

Stadion Utama Sumatera Utara (SUSU) ini telah mencuri perhatian masyarakat Sumut. Stadion yang dirancang dengan konsep modern ala Eropa ini, adalah stadion khusus sepak bola yang tidak memiliki lintasan atletik. Desain tersebut membuat jarak antara tribun dengan lapangan menjadi sangat dekat, sehingga penonton dapat merasakan atmosfer pertandingan yang jauh lebih intim dan intens.
Dibangun dengan biaya mencapai Rp587 miliar, fasilitas berkapasitas 25.750 penonton ini telah berstandar internasional. Kemegahannya bahkan diakui dunia, saat masuk sebagai nominasi 23 stadion terbaik di dunia untuk tahun 2024. Stadion ini menjadi simbol pergeseran paradigma dalam pembangunan infrastruktur olahraga di Indonesia yang kini mulai memprioritaskan pengalaman penonton.
Namun, yang membuatnya lebih unik adalah bagaimana masyarakat lokal dengan cepat "memiliki" stadion ini secara kultural. Lahirlah julukan-julukan kreatif dan akrab seperti "Stadion Susu", yang merupakan akronim dari nama resminya, dan "GBK", singkatan dari Gelora Batang Kuis, merujuk pada lokasinya. Munculnya julukan ini menunjukkan bahwa stadion tersebut telah diterima dan menjadi bagian dari identitas serta kebanggaan baru masyarakat Sumatera Utara.
5. Mengingatkan Kembali Kenangan Marah Halim Cup, Turnamen Anak Medan yang masuk kalender resmi FIFA

Turnamen ini sebenarnya bukan tradisi yang benar-benar baru. Justru, ini seperti membangkitkan kembali sebuah warisan yang pernah tertidur. Jauh sebelum ini, Medan sudah sangat akrab dengan atmosfer sepak bola internasional. Kota ini pernah menjadi tuan rumah Marah Halim Cup (1972-1995), salah satu turnamen pramusim paling bergengsi di Asia pada masanya.
Hebatnya lagi, Marah Halim Cup diakui dan masuk dalam kalender resmi FIFA mulai tahun 1974. Bahkan di era 1950-an, klub lokal PSMS Medan mendapat julukan "The Killer". Penamaan itu lahir karena rekor sangarnya saat menaklukkan tim-tim kuat dari luar negeri di Medan.
Dengan sejarah yang kaya ini, Piala Kemerdekaan 2025 menjadi jembatan antara generasi baru dan warisan masa lalu. PSSI secara tidak langsung telah membangkitkan kembali "DNA" sepak bola internasional di provinsi ini. Turnamen ini menjadi pengingat bahwa Sumatera Utara memang layak kembali menjadi salah satu kiblat sepak bola di Indonesia.
Bagi masyarakat Sumatera Utara, Piala Kemerdekaan 2025 bukan sekadar rangkaian pertandingan sepak bola. Ini adalah jawaban atas dahaga dan penantian selama 40 tahun. Gema sorak-sorai puluhan ribu penonton yang membahana di stadion seolah menyambung kembali suara sejarah dari masa lalu, masa ketika PSMS dijuluki "The Killer dengan gaya Rap-Rap nya" dan Marah Halim Cup menjadi panggung kebanggaan Asia.
Untuk generasi yang lebih tua, ini adalah nostalgia yang membangkitkan kembali kenangan manis. Namun untuk generasi muda, ini adalah bukti nyata bahwa cerita-cerita hebat tentang kejayaan sepak bola di tanah mereka bukanlah dongeng belaka. Turnamen ini telah menyalakan kembali api semangat yang sempat meredup, merajut kembali memori lama dengan harapan baru. Semoga ini bukanlah akhir, melainkan fajar baru bagi kebangkitan sepak bola Tanah Deli, mengembalikan Sumatera Utara ke tempat terhomat sepak bola Indonesia.