TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perguruan Tinggi Geber Rumusan Kebijakan Kepemilikan Lahan Sawit

Konflik lahan juga pengaruhi kesejahteraan petani

Ilustrasi petani sawit. (Regina Safri for IDN Times)

Medan, IDN Times – Periset lintas disiplin ilmu di perguruan tinggi tengah menggeber rumusan kebijakan standar Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Ini dilakukan untuk memerkuat kajian kebijakan (policy brief) yang membahas rumusan kebijakan dalam rangka memperkuat dan memperbaiki posisi pekebun  dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan.

Para periset berasal dari Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia dan Program Universitas Jambi. Rumusan kebijakan ini difokuskan pada legalitas kepemilikan lahan untuk pekebun sawit di Provinsi Jambi.

Baca Juga: Pertama di Dunia, Petani Sawit Indonesia Dapatkan Sertifikasi RSPO

1. Produktifitas CPO di Jambi masih rendah

Ilustrasi petani sawit. (Regina Safri for IDN Times)

Ketua Tim Herdis Herdiansyah mengatakan jika perkebunan rakyat memiliki peran penting dalam mata rantai kelapa sawit di Jambi. Apalagi Jambi menjadi salah satu provinsi dengan pekebunan sawit yang cukup luas.

Namun, jika menilik produktivitas Crude Palm Oil (CPO) di Jambi ternyata masih lebih rendah dari provinsi tetangga seperti Sumatra Utara. Produktifitas CPO di Jambi berada di angka 2,3 ton per Hektare. Sedangkan di Sumut mencapai 3,3 ton per hektare.

Isu sawit yang berkelanjutan adalah untuk menciptakan keunggulan daya saing kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan. Teori keunggulan kompetitif secara ekonomi tidak cukup untuk menghadapi persaingan dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan efisiensi secara ekonomi dari kinerja rantai pasok kelapa sawit memang mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Namun, orientasi pertumbuhan ekonomi mengacu pada memaksimalkan keuntungan yang mendukung eksploitasi terhadap sumber daya alam secara maksimal.  Eksploitasi membawa dampak kerusakan lingkungan yang menyebabkan eksternalitas.  Selain itu, pertumbuhan ekonomi mampu menurunkan kemiskinan secara umum, tetapi tidak mampu memperkecil jarak ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari data BPS, dari terjadinya penurunan kemiskinan secara signifikan dari tahun 2012 sebesar 11,96 persen menjadi 9,41persen di tahun 2019,” ujar Herdis dalam keterangan resminya, Senin (11/1/2021).

2. Konflik lahan selalu menjadi polemik pelik

Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit (IDN Times/Sunariyah)

Di Jambi, konflik lahan masih menjadi sesuatu yang pelik. Sering kali perkebunan rakyat dihadapkan dengan asas kepemilikan. Karena selama ini sebenarnya mereka sudah mengelola lahan secara turun temurun lintas generasi.

Misalnya, di antara hamparan perkebunan besar terdapat kebun-kebun petani di dalamnya, sementara petani tidak memiliki kepemilikan lahan yang kuat.

“Begitu rumit yang terjadi, maka untuk memahami suasana yang ditemukan di lanskap saat ini, untuk membongkar lapisan masa lalu dari peraturan penguasaan lahan, mulai dengan masa kolonial. Meskipun Batin Sembilan (Provinsi Jambi), sudah diintegrasikan ke dalam organisasi politik dan ekonomi Kesultanan Jambi yang menguasai kawasan tersebut, dengan kategori penggunaan lahan dan lahannya sendiri hak sebelum penjajahan Belanda, itu adalah dengan Hukum Kolonial Belanda bahwa transformasi regulasi penggunaan lahan yang jauh sebelumnya telah dimulai,” ungkapnya.

Baca Juga: Gak Susah Kok! Begini Cara Bikin Cokelat dari Minyak Sawit

Berita Terkini Lainnya