Perguruan Tinggi Geber Rumusan Kebijakan Kepemilikan Lahan Sawit
Konflik lahan juga pengaruhi kesejahteraan petani
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times – Periset lintas disiplin ilmu di perguruan tinggi tengah menggeber rumusan kebijakan standar Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Ini dilakukan untuk memerkuat kajian kebijakan (policy brief) yang membahas rumusan kebijakan dalam rangka memperkuat dan memperbaiki posisi pekebun dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan.
Para periset berasal dari Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia dan Program Universitas Jambi. Rumusan kebijakan ini difokuskan pada legalitas kepemilikan lahan untuk pekebun sawit di Provinsi Jambi.
Baca Juga: Pertama di Dunia, Petani Sawit Indonesia Dapatkan Sertifikasi RSPO
1. Produktifitas CPO di Jambi masih rendah
Ketua Tim Herdis Herdiansyah mengatakan jika perkebunan rakyat memiliki peran penting dalam mata rantai kelapa sawit di Jambi. Apalagi Jambi menjadi salah satu provinsi dengan pekebunan sawit yang cukup luas.
Namun, jika menilik produktivitas Crude Palm Oil (CPO) di Jambi ternyata masih lebih rendah dari provinsi tetangga seperti Sumatra Utara. Produktifitas CPO di Jambi berada di angka 2,3 ton per Hektare. Sedangkan di Sumut mencapai 3,3 ton per hektare.
Isu sawit yang berkelanjutan adalah untuk menciptakan keunggulan daya saing kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan. Teori keunggulan kompetitif secara ekonomi tidak cukup untuk menghadapi persaingan dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan efisiensi secara ekonomi dari kinerja rantai pasok kelapa sawit memang mampu memberi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Namun, orientasi pertumbuhan ekonomi mengacu pada memaksimalkan keuntungan yang mendukung eksploitasi terhadap sumber daya alam secara maksimal. Eksploitasi membawa dampak kerusakan lingkungan yang menyebabkan eksternalitas. Selain itu, pertumbuhan ekonomi mampu menurunkan kemiskinan secara umum, tetapi tidak mampu memperkecil jarak ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari data BPS, dari terjadinya penurunan kemiskinan secara signifikan dari tahun 2012 sebesar 11,96 persen menjadi 9,41persen di tahun 2019,” ujar Herdis dalam keterangan resminya, Senin (11/1/2021).
Baca Juga: Gak Susah Kok! Begini Cara Bikin Cokelat dari Minyak Sawit