Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Medan, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI di Medan (KPPPA) menggelar pelatihan tentang isu gender dan anak dalam pemberitaan bagi SDM Media, Rabu (14/8). Pelatihan yang berlangsung selama dua hari ini di di Hotel Grand Mercure Jalan Perintis Kemerdekaan.
Pelatihan isu-isu gender dan anak ini dibutuhkan untuk membantu dan mengevaluasi serta menganalisis pemberitaan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Media dalam perspektif gender. Hal tersebut disampaikan Nurlela, selaku Kepala Dinas KPPPA Sumut.
Kata Nurlela, melihat kasus gender dan anak masih sangat abu-abu untuk diberitakan yang selayaknya. Seperti, cara menulis berita oleh jurnalis mengenai anak, perempuan masih sangat bias dan cenderung menyalahkan perempuan sebagai penyebab dan korban.
"Perempuan sebagai masyarakat yang termarjinalkan untuk kebutuhan secara khusus. Padahal perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam konteks gender, keadilan dan hak lain," ujar Nurlela.
1. Sumut kota layak anak
IDN Times/Masdalena Napitupulu Nurlela berharap tahun mendatang di Sumatera Utara tidak ada lagi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Baik secara eksplorasi, perdagangan anak dan perempuan, dan kesenjangan sosial.
"Sebanyak 14 kabupaten/kota di Sumatera Utara menjadi kota layak anak. Tahun 2019 ini, Sumut menjadi penggerak kota layak anak," ujar Nurlela.
Ia juga berharap untuk kota lainnya akan menjadi kota layak anak. Terkhusus untuk di Nias yang Masih sangat jauh dari kota layak anak sebab regulasi dan struktural masih belum sesuai.
2. Dalam dunia pers, penulisan soal anak dan perempuan jangan hanya pelengkap
IDN Times/Masdalena Napitupulu "Perspektif gender merupakan hal penting dalam peliputan. Perempuan dan anak harus memiliki tempat yang sama, bukan hanya sebagai pelengkap. Sayangnya, di dalam dunia pers, hal ini justru belum menjadi perhatian," ujar Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Uni Lubis, Rabu (14/8).
Uni juga menyampaikan dalam semua jenis topik berita, mulai dari proses perencanaan, peliputan, produksi sampai penerbitan atau penayangan, harus memenuhi Kode Etik Jurnalistik Indonesia.
Selain itu, kata Uni, ada beberapa jenis pemberitaan yang memerlukan lebih dari sekedar memenuhi etika tertulis yang ada. Seperti meliput konflik dan bencana yang memerlukan perhatian khusus.
"Perlunya kode etik plus empati. Karena empati, maka kita sebagai jurnalis akan lebih hati-hati," ujar Uni.
Baca Juga: Iduladha 2019, BNI Syariah dan Jurnalis Kurban Dua Ekor Sapi
3. Mewawancarai narasumber bencana harus berhati-hati
IDN Times/Masdalena Napitupulu Mewawancarai narasumber korban bencana, misalnya, perlu dilakukan hati-hati. Berempati. Wartawan bisa memulainya dengan bertanya tentang kegiatan sehari-hari saat ini. Biarkan cerita mengalir, sampai kemudian tiba di satu titik narasumber bersedia menceritakan peristiwa traumatis itu.
"Saya melakukannya, termasuk saat mewawancarai Polwan Elfiana, untuk peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Elfiana kehilangan keluarganya saat tragedi tsunami di Aceh," kenang Pemimpin Redaksi IDN Times ini.
4. Gagasan soal perspektif hadir dari jurnalis sendiri, bukan di ruang redaksi
IDN Times/Masdalena Napitupulu Uni menuturkan, dalam news room atau ruang redaksi, pimpinan redaksi tidak memiliki kekuasaan absolut sehingga jurnalis harus bisa menuangkan gagasannya agar dalam pemilihan angle berita tetap berpegang pada perspektif gender.
“Sayangnya, jurnalis khususnya yang perempuan kalau sudah berada di ruang redaksi jadi enggan berdebat, makanya emang sulit. Media memang harus introspeksi diri soal perspektif gender ini. Empati itu harus dipakai oleh jurnalis karena akan membuat tulisan lebih tajam dan berhati-hati,” tutur Uni.
5. Jangan sampai tulisan malah membuat perempuan jadi korban untuk kedua kalinya
IDN Times/Masdalena Napitupulu Tanpa perspektif gender dalam peliputan kejahatan asusila, maka jurnalis akan cenderung memberitakan secara serampangan.
“Contohnya, dalam menuliskan identitas korban, jika menggunakan diksi yang salah dan akhirnya membuat perempuan menjadi korban untuk kedua kalinya setelah perlakuan kejahatan yang dialami,” ujar Uni.
6. Dalam liputan bencana, perempuan dalam pengungsi memerlukan lebih dari sekadar berita soal kebutuhan makanan
IDN Times/Masdalena Napitupulu Dalam meliput konflik, tanpa perspektif gender, jurnalis akan terperangkap dalam perang kata-kata antar elit yang membuat solusi damai menjadi utopia.
Perempuan dalam konflik akan digambarkan sebagai pihak yang lemah, tak berdaya. Sehingga menjadi pelengkap penderita.
Begitu pula dalam meliput bencana, jurnalis akan fokus hanya kepada melaporkan kebutuhan makanan yang biasanya dijawab dengan memasok beras, mie instan dan pakaian bekas.
Padahal perempuan dan anak-anak di pengungsian memerlukan lebih dari itu, hal-hal yang lebih spesifik.
Baca Juga: SLRT, Terobosan Baru Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak