Massa tuntut dibukanya draft RKUHP (IDN Times/Indah Permata Sari)
Dalam draft RKUHP, aliansi menilai, masih banyak pasal – pasal yang sarat dengan semangat pembungkaman kebebesan sipil dalam berpendapat. Ihwal penghinaan terhadap pemerintah, masih tertuang di dalam RKUHP dalam pasal 240. Bunyinya “Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda kategori IV”.
Adapun dalam penjelasannya, yang termasuk dalam bagian pemerintah adalah Presiden, Wakil Presiden, dan para menterinya. Sementara kerusuhan diartikan sebagai kondisi kekerasan pada orang atau barang yang dilakukan oleh sekelompok orang, paling sedikit tiga orang.
“Pasal tersebut merupakan pasal kolonial yang sudah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Pasal tersebut menunjukan watak kekuasaan saat ini yang anti kritik dan berusaha melegitimasi pembungkaman tersebut melalui KUHP bahkan coba menggiring narasi publik mengenai analogi anak yang menghina bapak yang bagi kami adalah suatu yang sesat pikir,” ujar Dinda.
Aturan lainnya yang dinilai anti demokrasi tertuang dalam pasal 256 mengenai unjuk rasa yang dapat dipidana. Meskipun pemerintah sudah mengklaim bahwa sudah ada perubahan dalam pasal tersebut namun bagi kami tidak ada perubahan yang substansial. “Ini jelas merupakan bentuk upaya pembungkaman dalam demokrasi,” katanya.
Padahal, lanjut Dinda dalam Undang – undang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum nomor 9 tahun 1999, menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan dilindungi.
Justru, pihak yang menghalang-halangi dengan kekerasan lah yang dapat dikenakan pidana. Selain itu juga ada pasal tentang makar di Pasal 160, 190-192, dan 193 ayat (1).
“Dari sini kita dapat lihat, hak-hak warga yang tidak dapat dibatasi itu dibatasi oleh Negara sedangkan hakhak yang bisa dibatasi justru dibatasi secara berlebihan oleh Negara. Serta aturan yang harusnya dibuat untuk melindungi warga malah rancang sedemikian rupa untuk melindungi kekuasaan,” ungkapnya.
RKUHP draf 9 November juga berpotensi besar menyebabkan penyempitan ruang akademik melalui pasal 188 tentang Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
“Ruang akademik yang harusnya memberikan kebebasan sepenuhnya pada seseorang untuk berpikir dan mengembangkan suatu diskursus justru dibatasi lewat RKUHP. Bagaimana bisa orang dipidana karena pikirannya. Semangat dekolonialisasi malah tidak tercermin dalam pasal-pasal tersebut,” ujarnya.