Harap-harap Cemas Guru Honorer dan Siswa Hadapi Kebijakan Efisiensi

Medan, IDN Times - Kritik pedas riuh disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto soal kebijakan efisiensi yang akan diterapkan di sejumlah instansi dan kementerian. Kebijakan tersebut termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang "Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025".
Salah satu yang terkena imbas dari kebijakan ini adalah bidang pendidikan. Timbul kekhawatiran di tengah guru honorer hingga siswa jika anggaran pendidikan dipotong. Sebab, imbasnya bisa membuat guru honorer kena PHK dan siswa tidak mendapatkan beasiswa KIP bila ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
1. Guru honorer khawatir kena PHK

Kerisauan soal penerapan efisiensi itu disampaikan langsung oleh guru honorer dari pulau terluar Sumatera Utara alias Nias. Seorang guru honorer bernama Cici (25) mengungkapkan bahwa dirinya takut jika kena PHK.
"Di sini memang belum ada imbasnya, akan tetapi sependengaran saya sudah ada guru honorer yang dirumahkan terkait pemutusan kerja (efisiensi) karena tidak termasuk pula dalam database pendidikan di Kabupaten lain. Kemungkinan ini karena jangka waktu pengabdian tidak sampai 2 tahun. Mirisnya, ada banyak lulusan sarjana pendidikan, mau ke mana? Sedangkan jika tidak dari honorer dulu, bakalan nunggu formasi yang cuma buka 1-20 orang saja," kata Cici.
Efesiensi di dunia pendidikan baginya masih sangat kurang memadai jika dijalankan. Hal ini ia sebut dikarenakan beban administrasi cukup banyak dibandingkan dengan tindakan mengajar.
"Guru bukan hanya berfokus pada materi ajar, akan tetapi penguasaan kelas dalam memahami keadaan dan kondisi siswa. Kegiatan berdiferensiasi yang berpusat pada siswa sebenarnya baik adanya jika difasilitasi dengan pembimbingan teknik secara langsung oleh para pakar di setiap sekolah khususnya daerah 3T. Bercerita tentang teknologi digital, bahkan masih banyak yang belum tersentuh jaringan, namun administrasi secara online tetap jalan. Mental siswa aman, guru bagaimana?" tanyanya.
2. Harap-harap cemas guru honorer gagal ikut program PPG

Tommy (28) yang merupakan guru SMP Negeri di Percut Sei Tuan masih ingat betul bahwa kala itu dirinya cukup senang mendengar janji kampanye Prabowo-Gibran. Sebagai guru honorer, yang paling ia ingat adalah janji pengangkatan bagi guru-guru honorer yang ada di Indonesia. Hadirnya kebijakan efisiensi anggaran pendidikan, dianggap Tommy justru memupuskan harapan pengangkatan status guru honorer.
"Kerisauan yang mendalam, sih, berkaitan dengan janji-janji pemerintah untuk guru. Seperti yang kita ketahui, janji-janji pemerintah berkaitan dengan pengangkatan guru-guru honorer selalu menjadi semangat baru untuk guru kala itu. Namun, pemerintah sebelumnya yang tidak melakukan efisiensi dana pendidikan saja, tidak melunasi semua janji-janjinya, konon pemerintah saat ini? Tentu ini menjadi hal yang merisaukan banyak pihak. Dengan banyaknya janji pemerintah saat ini untuk sisi pendidikan semasa kampanye, namun kenyataannya malah melakukan efisiensi dana pendidikan," beber Tommy.
Tidak sampai di situ saja, harapan mengikuti program PPG juga membuat Tommy harap-harap cemas. Sebab, PPG menjadi salah satu yang terkena dampak dari kebijakan efisiensi ini.
"Kuota PPG terpangkas bahkan sampai 50 persen. Kuota PPG tahun 2025 ini hanya menerima 401.600 orang dari angka sebelumnya yang mencapai 806.640. Tentu pemangkasan 50 persen kuota PPG ini semakin mempersempit kesempatan guru honorer. Saya ingat dahulu sarjana pendidikan bisa langsung mendapatkan sertifikasi mengajar begitu lulus kuliah, lalu ada kebijakan baru yang mengharuskan sarjana pendidikan wajib mengambil program PPG. Dan sekarang guru-guru honorer justru langkahnya semakin dipersempit kembali lewat efisiensi anggaran pendidikan sampai harus ada pemangkasan kuota PPG lagi," pungkasnya.
3. Siswa takut biaya beasiswa KIP dihapuskan

Sementara itu siswa yang saat ini duduk di bangku kelas 12, Amalia (17), mengaku bahwa kebijakan efisiensi menimbulkan pergolakan di batinnya. Ia sendiri sudah banyak membaca soal dampak-dampak yang akan terjadi bila efisiensi dalam ranah pendidikan juga diterapkan. Salah satunya ialah biaya pendidikan yang menjadi mahal.
"Saya sudah baca, berseliweran di twitter dan media sosial juga. Ternyata cukup banyak dampak efisiensi bagi dunia pendidikan. Saat ini saya duduk di bangku kelas 12. Karena beberapa bulan lagi lulus, saya berencana melanjutkan kuliah dan ingin mendapatkan beasiswa KIP. Tapi jujur ada ketakutan setelah membaca berita soal dampak efisiensi. Terlebih karena kebijakan ini memungkinkan untuk dihapusnya beasiswa KIP," aku Amalia.
Tak sampai di situ saja, Amalia juga takut manakala ia nanti berkuliah dengan status mahasiswa reguler, biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi meroket. Pertimbangan-pertimbangan ini telah ia pikirkan dengan matang, termasuk bila UKT tinggi ia akan lebih memilih untuk tidak kuliah.
"Takut repot juga bagaimana sih nanti ke depannya. Jika kemungkinan UKT naik akibat adanya efisiensi, ya, saya sebetulnya agak ragu untuk kuliah. Takutnya bukan cuma KIP saja yang ditiadakan, tapi UKT juga ikut naik. Gimana nanti saya mau bayarnya? Saya tidak ingin merepotkan orang tua," beber siswa SMA Negeri yang sebentar lagi lulus itu.
Bagi Amalia, banyak sektor yang terdampak dari kebijakan efisiensi anggaran. Jika menyentuh ranah pendidikan, akan banyak hal-hal komprehensif dan sentral yang akan terganggu.
"Semoga efisiensi ini tidak justru mengurangi anggaran pendidikan. Karena susah kita mau kuliah, apalagi jika beasiswa KIP dihapuskan," pungkasnya.
Sejalan dengan Amelia, Yudha (17) yang merupakan siswa kelas 12, juga memiliki pandangan serupa. Baginya ranah pendidikan tidak seharusnya menjadi korban pemotongan anggaran.
"Program peniadaan KIP sebenarnya berdampak bagi semangat siswa. Sebab banyak siswa yang berharap dengan KIP. Dengan adanya kebijakan efisiensi, menurut saya bisa memperburuk situasi pendidikan Indonesia. Menurut saya, efisiensi ini tidak layak menyentuh ranah pendidikan. Pendidikan harus diutamakan, dijunjung, dan harus jadi prioritas utama. Pendidikan ini batu loncatan bagi nasib bangsa Indonesia," pungkas Yudha.
4. Pengamat minta alokasi anggaran daerah dikaji ulang

Dr. Muhammad Rizal, pengamat pendidikan dari Unimed dan Larispa menyoroti kebijakan Pemerintah terkait efisiensi anggaran agar tidak merugikan dunia pendidikan. Menurutnya, efisiensi anggaran bagus dilakukan karena masyarakat melalui sekolah swasta sudah banyak berpartisipasi membangun dunia pendidikan melalui penyediaan sekolah-sekolah swasta.
"Jadi, akses pendidikan buat masyarakat khususnya untuk sekolah mulai jenjang SD, SMP hingga SMA itu bagus menurut saya," katanya pada IDN Times, Minggu (23/2/2025).
Namun, menurutnya juga harus memperhatikan geografis apalagi zonasi. Sesuai perintah UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU nomor 20/2003 Tentang Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1). Setiap tahun, pemerintah pusat menggelontorkan Rp400-500 triliun untuk pendidikan. Aturan ini sudah berlaku sejak 2009 lalu.
Meski dengan kondisi anggaran yang begitu besar, kita masih saja mendengar adanya bangunan sekolah yang rusak parah di sejumlah wilayah. Selain itu, gaji guru dan guru honorer pun masih rendah.
Di tengah rencana efisiensi anggaran yang diputuskan pemerintah pimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dunia pendidikan pun tak terkecuali.
Presiden menetapkan target efisiensi anggaran sebesar Rp306,69 triliun pada tahun 2025. Pemangkasan itu mencakup pengurangan belanja kementerian atau lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan pengurangan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun.
Menurutnya, hal tersebut harus memperhatikan pos-pos tentang biaya tetap seperti pengeluaran gaji yang tidak bisa dianulir atau diefisiensikan. Kemudian, ada sifatnya yang variabel mungkin berisi pengembangan, pelatihan, sosialisasi, pertemuan atau FGD yang sebenarnya bisa diefisiensikan.
Lalu, untuk Kabupaten/Kota dalam hal ini mengkaji anggaran mana yang bisa diefisiensikan. Seperti Alat Tulis Kantor (ATK) yang manualenjadi digital. Namun, ada hal tertentu seperti biaya operasional gaji, tenaga honorer tidak boleh diefisiensikan.
"Kan gak mungkin kerjanya hanya 2 hari, ada sekolah yang gemuk. Guru-gurunya yang banyak dan yu tidak merata pada sekolah-sekolah seharusnya diberdayakan agar bisa produktif jadi tidak mengandalkan tenaga honorer. Saya lihat di bidang pengawasan terlampau lemah, dan slalu ada saja celah yang digunakan oleh pengambil keputusan untuk menghalangi standar yang sudah ditentukan dan ada juga guru yang mengajar dengan jumlah yang tidak sesuai," sambungnya.
Baginya, pengurangan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan dilakukan pemilahan pada masing-masing mata anggaran khususnya yang ada di Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk dana agar tidak merugikan masyarakat.
"Seperti kemajuan ekonomi dan kualitas, kita harus berpikir untuk perkembangan didunia pendidikan. Sgingga harus dilakukan pengkajian yang mendalam," pungkasnya.
5. Pemko Medan rencanakan 85 SD Negeri digabungkan dan 1 sekolah ditutup

Sebagai dampak efisiensi, Pemko Medan berencana menggabungkan 85 SD Negeri dan 1 sekolah ditutup. Dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Medan bakal me-regrouping atau menggabungkan seratusan lebih sekolah dasar negeri (SDN) guna meningkatkan mutu pendidikan melalui revitalisasi pelayanan pendidikan.
"Dari 382 SDN di Kota Medan, di antaranya 142 SDN regrouping menjadi 57 SDN dan 85 SDN bergabung," ucap Kepala Disdikbud Kota Medan Benny Sinomba Siregar, pada Selasa (11/2/2025).
Sementara sisanya, sebanyak 239 SDN berstatus tetap, dan terdapat satu SDN ditutup karena tidak ada siswa yang belajar di Kota Medan. Hal ini sesuai visi misi Pemkot Medan dalam meningkatkan mutu pendidikan, yakni memajukan masyarakat Kota Medan melalui revitalisasi pelayanan pendidikan.
Tujuan regrouping ini, menurut Benny, untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan bagi masyarakat Kota Medan, efisiensi penyelenggaraan pendidikan, efektivitas pengawasan, dan mencapai pendidikan unggul. Sedangkan dasar melakukan penetapan SDN regrouping karena dalam titik lokasi terdapat dua atau lebih sekolah, sehingga kurang efektif.
"Jumlah siswa yang kurang, sarana dan prasarana kurang memadai, penyebaran tenaga guru yang tidak sesuai, dan tidak memiliki sertifikat tanah," tutur Benny.
Namun M Rizal mengingatkan, seharusnya dilakukan penelitian sebelum menutup dan menyatukan sekolah-sekolah tersebut.