Duka Pendidikan, Siswa SD Duduk di Lantai karena Tunggak SPP

“Mamak, saya malu duduk di bawah (lantai). Saya bilang, mamak belum punya duit nak. Sabar yah,”
--Lia, orangtua siswa yang dihukum duduk di lantai--
Tangis Lia pecah, saat melihat anaknya harus dihukum duduk di lantai oleh gurunya. Bukan karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) atau berbuat kesalahan di sekolah. Mail (nama samaran) yang menimba ilmu di kelas IV SD Swasta Abdi Sukma Kota Medan dihukum karena masih menunggak uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
Lia mengaku sudah tiga bulan menunggak SPP. Dia sudah berupaya bahkan hendak menjual ponselnya.
Biaya per SPP anaknya Rp60 ribu per bulan. Sehari-hari Lia bekerja sebagai relawan kesehatan. Sementara suaminya hanyalah buruh bangunan.
Namun Lia tidak terima jika anaknya harus dihukum seperti itu. Saat melihat anaknya dihukum, Lia berinisiatif merekam kejadian itu dengan kamera ponsel. Lia sempat berseteru dengan guru yang menghukum Mail. Guru kelas itu bersikeras bahwa Mail melanggar aturan.
Video itu diunggah Lia ke media sosial. Netizen langsung menghujat guru yang memberikan hukuman. Menjadi sorotan publik, kasus Lia mendapat perhatian.
Sudah minta dispensasi
Selama ini, uang sekolah Mail dan adiknya yang duduk di bangku kelas I terbantu dengan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Namun kata Lia, bantuan dari KIP belum masuk. Sehingga dia harus menunggak SPP.
Sebelum akhirnya viral, Lia sudah meminta dispensasi ke pihak sekolah agar mendapat tenggat waktu lebih lama. Sementara dia mencari uang untuk membayar SPP.
Sebelum Natal itu ujian, di situ saya memang belum bayar uang sekolah abang dan adiknya masing-masing tiga bulan. Saya sempat minta dispensasi kepada kepala sekolah agar anak bisa ikut ujian. Alhamdulillah dikasih ujian,” kata Lia kepada awak media di Medan, Jumat (10/1/2025).
Sebelumnya, Lia juga belum mengambil rapor Mail. Lantaran dia sedang sakit. Kemudian, Lia menjelaskan wali kelas Mail berinisial H mengirim pesan ke grup WhatsApp para orang tua siswa. Pesan itu menyebutkan para pelajar yang belum membayar uang SPP, uang buku, tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran.
Selanjutnya, Lia mengirimkan pesan suara ke H dengan maksud memberikan dispensasi kepada Mail agar bisa mengikuti pelajaran. Pada 6 Januari 2025, para siswa di SD Swasta Abdi Sukma kembali masuk sekolah. Namun, H kembali mengirim pesan imbauan serupa lewat grup WhatsApp.
“Akhirnya saya kirim voice note secara pribadi. Saya berkata izin belum bisa datang hari ini mungkin besok,” ucapnya.
Karena Mail masih menunggak uang bulanan, guru kelasnya melarang dirinya mengikuti pelajaran. Namun Mail tetap datang ke sekolah. Dia terpaksa harus duduk di lantai.

Kasus berujung mediasi
Sejak pagi, sejumlah mobil terparkir di halaman sekolah. Sekolah yang ada di Jalan STM, Kecamatan Medan Johor itu ramai. Awak media pun datang untuk meminta klarifikasi dari pihak sekolah.
Pihak Dinas Pendidikan Kota Medan datang ke sana untuk melakukan mediasi antara pihak sekolah dan Lia.
Usai Mediasi, Lia tetap menilai apa yang dilakukan guru sangat keliru. Harusnya, lanjut Lia, Mail tidak perlu dihukum. Karena persoalan uang SPP adalah tanggungjawab orangtua. Dia marah karena anaknya yang harus menjadi korban.
Video itu pun diunggah, kata Lia, karena dia kesal dengan guru yang menghukum anaknya. Bahkan, kata Lia, guru tersebut menantang agar video itu diviralkan. Lia pun bilang, itu dilakukan agar guru yang menghukum anaknya mendapat efek jera.
“Tidak punya niat untuk buat jelek sekolah, tidak. Ataupun yang lain. Saya hanya menyayangkan oknum gurunya,” kata Lia.
Lia juga kesal. Sampai saat ini, guru yang menghukum anaknya belum meminta maaf kepadanya dan anaknya.

Lia akan memindahkan sekolah anaknya
Lia mengaku selama ini pihak sekolah memang membantunya. Namun karena kejadian ini dia kesal. Dia juga khawatir dengan kesehatan mental anaknya.
Lia sudah membuat keputusan. Dia akan memindahkan anaknya dari sekolah itu. Dia tidak ingin anaknya trauma dengan perlakuan guru kepadanya.
“Apa pun ceritanya dia masih tetap ketemu sama guru kan. Sama guru yang sama gitu. Ya saya tarik anak saya daripada nanti mental dia gimana-gimana. Saya nggak mau gitu. Karena saya sekolahkan anak saya bukan karena ketakutan dalam sekolah. Dia buat cari ilmu kan,” kata Lia.
Guru yang terlibat diduga bikin peraturan sendiri
Ketua Yayasan Abdi Sukma Ahmad Parlindungan kecewa soal sekolah di bawah yayasannya sampai viral di media sosial. Dia juga membantah soal aturan siswa yang tidak membayar SPP, tidak dibolehkan mengikuti pelajaran.
“Tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari sekolah dan yayasan. Tidak ada itu. Saya tegaskan,” kata Ahmad.
Dia juga menyayangkan guru kelas yang mengambil inisiatif membuat aturan sendiri. Sehingga berdampak kepada Mail.
“Pihak Yayasan pun akan mengambil langkah tegas. Kepala sekolah diberikan sanksi teguran. “Kalau kesimpulan kita tadi yayasan akan memberikan pembebasan tidak mengajar/skorsing sampai waktu yang ditentukan kemudian,” katanya.

Sekolah harusnya menjadi rumah aman bagi siswa
Kasus hukuman duduk di lantai karena tidak membayar SPP memantik komentar akademisi. Sosiolog dari Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh Yuva Ayuning Anjar menyayangkan peristiwa yang terjadi di institusi pendidikan itu. Kata Yuning, harusnya institusi seperti sekolah menjadi rumah aman bagi para peserta didik.
Hukuman yang diberikan jauh dari tujuan mulia memanusiakan manusia lewat pendidikan.
“Kita bukan berada di jaman tradisional yg memposisikan guru sebagai otoritas absolut. Dimana esensi merdeka belajar yang digaungkan pemerintah bila justru guru sendiri yang melakukan penindasan?” kata Yuning, Sabtu malam.
Persoalan penunggakan SPP tidak seharusnya dibebankan kepada peserta didik. Apalagi permasalahan itu terjadi akibat ketimpangan ekonomi dalam struktur sosial masyarakat.
“Harusnya, bisa dibangun dialog dengan peserta didik. Bagaimana kondisi keluarganya sehingga bisa menunggak. Guru semestinya menjadi fasilitator bisa membangun peserta didik memiliki kesadaran kritis dan bahkan guru bisa membantu problem yang dialami murid,” katanya.
Secara tidak langsung, hukuman yang diberikan adalah bentuk perundungan. Selama ini, segala bentuk perundungan tidak dibenarkan. Apalagi pada dunia pendidikan.
Kejadian ini memiliki potensi menghancurkan mental peserta didik yang menjadi korban. Yuning menyoroti soal dampak yang diterima peserta didik. Kata dia, pemerintah harus berperan aktif melakukan pendampingan psikologis pasca kejadian itu.
“Harus ada pendampingan psikologis yang dilakukan untuk kembali menyemangati anak korban perundungan itu,” pungkasnya.