Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Banjir Bandang Berskala Besar yang Pernah Terjadi di Sumatra Utara

ilustrasi banjir (unsplash.com/iqrorinaldi)
ilustrasi banjir (unsplash.com/iqrorinaldi)
Intinya sih...
  • Banjir bandang terbesar di Sumatra Utara terjadi pada November-Desember 2025, menewaskan 343 orang dan menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 10 triliun.
  • Tragedi Bahorok 2003 menimbulkan kesadaran akan hubungan langsung antara deforestasi dan risiko hidrometeorologi, dengan 146 korban jiwa.
  • Banjir bandang Nias 2001, Banjir Bandang Sibolangit 2016, dan Mandailing Natal 2018 juga menunjukkan pola konsisten bahwa ekstrem cuaca dipicu oleh kerusakan tata ruang.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banjir besar yang melanda Sumatra Utara pada akhir November hingga Desember 2025 menjadi pengingat keras betapa rentannya provinsi ini terhadap bencana hidrometeorologi. Hujan ekstrem, longsor, dan banjir bandang melumpuhkan puluhan wilayah mulai dari pantai barat hingga lereng Bukit Barisan.

Peristiwa 2025 ini bukan kejadian yang berdiri sendiri. Ia seperti mata rantai dengan pola yang terus berulang, curah hujan tinggi jatuh di wilayah dengan kondisi bentang alam yang rapuh dan daya tampung yang melemah. Dari Nias hingga Bahorok, dari Madina hingga Sibolangit, setiap bencana besar di masa lalu selalu meninggalkan jejak yang sama, perubahan lanskap yang cepat, tekanan pada daerah aliran sungai, dan kerentanan masyarakat yang semakin terasa.

Melihat kembali banjir bandang berskala besar yang pernah terjadi di Sumatra Utara membantu memahami bagaimana risiko ini akan terus mengancam dari tahun ke tahun. Berikut lima peristiwa banjir bandang besar yang tercatat dalam sejarah provinsi ini.

1. Tragedi Bahorok 2003

ilustrasi banjir (unsplash.com/GolamRob)
ilustrasi banjir (unsplash.com/GolamRob)

Tragedi Bahorok selama dua dekade dikenal sebagai rujukan nasional ketika membahas banjir bandang dan deforestasi. Pada November 2003, hujan deras mengguyur wilayah yang sudah kehilangan tutupan hutan. Gelondongan kayu berukuran besar hanyut bersama arus dan menghantam permukiman serta kawasan wisata dengan kecepatan tinggi.

Sebanyak 146 orang meninggal dunia dalam bencana ini. Bahorok membuka mata publik tentang hubungan langsung antara pembalakan liar dan risiko hidrometeorologi. Meski skalanya lokal, peristiwa ini menjadi katalis lahirnya diskusi publik soal tata ruang dan perlindungan kawasan hutan, terutama di daerah tangkapan air.

2. Banjir Bandang Nias 2001

ilustrasi banjir (unsplash.com/Misbahul Aulia)
ilustrasi banjir (unsplash.com/Misbahul Aulia)

Dua tahun sebelum Bahorok, Pulau Nias mengalami banjir bandang besar yang dipicu curah hujan ekstrem di wilayah perbukitan. Material longsor berupa tanah, kayu, dan batu terbawa arus menuju permukiman, menciptakan gelombang puing yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan luas.

Bencana ini mencatat puluhan korban meninggal dan merusak sejumlah fasilitas penting, mulai dari jalan hingga jembatan. Dampaknya terasa lama, terutama di wilayah pedesaan yang bergantung pada satu-satunya akses transportasi darat. Peristiwa ini juga menyoroti tingginya kerentanan kawasan kepulauan terhadap kombinasi cuaca ekstrem dan degradasi lingkungan.

3. Banjir Bandang Sibolangit 2016

ilustrasi banjir (unsplash.com/Iqro Rinaldi)
ilustrasi banjir (unsplash.com/Iqro Rinaldi)

Sibolangit dikenal sebagai kawasan wisata alam, tetapi pada 2016 hujan deras memicu banjir bandang yang menghantam lokasi pemandian dan jalur wisata. Aliran air membawa material besar seperti batu dan kayu, menyapu area rekreasi Air Terjun Dua Warna yang saat itu ramai pengunjung.

Peristiwa ini menewaskan 17 orang, mayoritas wisatawan. Banyaknya wisatawan asing yang menjadi korban mengundang mata dunia internasional terhadap tragedi ini. Tragedi Sibolangit menjadi peringatan keras bahwa kawasan wisata alam tidak kebal dari risiko bencana. Pengelolaan kawasan yang kurang mempertimbangkan kapasitas lingkungan ikut memperbesar dampaknya, memperlihatkan perlunya manajemen risiko bahkan di lokasi yang dianggap aman.

4. Mandailing Natal 2018

ilustrasi banjir (unslpash.com/Salah Darwis)
ilustrasi banjir (unslpash.com/Salah Darwis)

Hujan ekstrem di Mandailing Natal pada 2018 memicu banjir bandang yang menghantam sekolah, desa, dan sejumlah ruas jalan. Material longsor dan gelondongan kayu terbawa arus deras, menciptakan kerusakan besar di wilayah yang sebelumnya sudah mengalami pembukaan lahan.

Lebih dari 20 orang meninggal dunia, termasuk sejumlah pelajar. Tragedi ini menyoroti hubungan paling eksplisit antara alih fungsi lahan, bukit gundul, dan percepatan aliran banjir. Setiap lereng yang kehilangan vegetasi berubah menjadi jalur percepatan air, yang pada akhirnya meningkatkan magnitudo bencana.

Lima bencana ini memperlihatkan pola yang konsisten. Ekstrem cuaca memang pemicu utama, tetapi kerusakan tata ruang adalah pengganda risikonya. Banjir bandang yang terjadi merupakan hasil akumulasi dari perubahan ekologis yang dibiarkan terlalu lama. Ketika hutan hilang dan DAS melemah, hujan deras berubah menjadi arus destruktif.

Sumatra Utara kini berada pada titik kritis. Krisis Desember 2025 menjadi alarm paling keras bahwa bencana hidrometeorologi tidak lagi bersifat lokal. Tanpa rehabilitasi hutan, pengendalian alih fungsi lahan, dan pembenahan manajemen DAS, risiko di masa depan hanya akan semakin besar. Sejarah sudah memberi peringatan sekarang tinggal keberanian untuk mengambil langkah konkret.

5. Krisis Hidrometeorologi 18 Kabupaten/kota November-Desember 2025

antarafoto-dampak-banjir-bandang-di-tukka-tapanuli-tengah-1764786673.jpg
Warga melintas di area banjir bandang dan longsor di Kelurahan Huta Nabolon, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Rabu (3/12/2025). (ANTARA FOTO/Yudi Manar)

Banjir bandang yang dimulai 25 november yang efeknya terus berlanjut hingga Desember 2025 disebut sebagai bencana terbesar karena skalanya tidak pernah terjadi sebelumnya. Hujan ekstrem akibat interaksi bibit siklon 91S dan tanah yang sudah jenuh air menciptakan aliran permukaan masif yang menghantam 18 kabupaten/kota di Sumatera Utara secara simultan.

Dampaknya mencengangkan dari kejadian ini, per kamis 12 desember sudah ada 343 korban jiwa di Sumut, dan 98 hilang. Infrastruktur rusak parah, jalan nasional terputus, jembatan ambruk, dan kerugian ekonomi mendekati Rp 10 triliun. Tragedi ini memukul seluruh paradigma mitigasi bencana di Sumut, karena untuk pertama kalinya cuaca ekstrem memperlihatkan dampak sistemik lintas wilayah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Doni Hermawan
EditorDoni Hermawan
Follow Us

Latest News Sumatera Utara

See More

Perwakilan Sumut, MAN Labuhanbatu Raih Penghargaan Adiwiyata Mandiri

12 Des 2025, 08:50 WIBNews