Jejak Kelam Perbudakan di Sumut, Rasisme Hingga Kekejaman Fisik

Medan, IDN Times – Rasisme ternyata bukan hanya persoalan di era modern saat ini. Di era penjajahan, rasisme berkembang.
Di Sumatra Utara misalnya, rasisme terjadi saat kolonial membangun perkebunan. Budiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of Sydney mengungkapnya dalam tulisan yang dipublikasi The Conversation.
Perdagangan budak di era kolonial disebut sebagai istilah kuli kontrak. Minasny sudah melakukan riset mengenai tannah di Sumatra Utara dan mempelajari banyak riset yang dilakukan di zaman kolonial untuk mengetahui jenis tanah di daerah Deli.
Medan yang terkenal dengan tembakau Delinya ternyata menyimpan jejak kelam. Minasny menemukan banyak korban manusia untuk mengembangkan perkebunan di Sumatra Utara. Rasisme dan perbudakan terjadi secara besar-besaran di perkebunan yang dikelola oleh perusahaan kolonial.
Dampak kuli kontrak juga masih bisa dirasakan sampai sekarang dengan keturunan para buruh yang masih tinggal di perkebunan yang tidak pernah terlepas dari stigma kuli kontrak.
1. Ada patung di titik nol Kota Medan sebagai monumen kejayaan kuli kontrak

Sejarah perbudakan di Sumut memang menjadi hal langka yang dibicarakan umum. Banyak kasus kekerasan yang terjadi hingga memakan nyawa. Sampai akhir abad ke-20, pemerintah Belanda tidak pernah mempersoalkan kekerasan pada zaman kolonial.
“Padahal, fakta perbudakan dan rasisme itu jelas sekali,” tulis Minasny dalam artikelnya.
Medan yang dikenal sebagai kota perdagangan pada awal abad 20, pernah mendirikan dua monumen untuk memperingati kejayaan pedagang budak. Pada 1915, monumen air mancur di depan Kantor Pos Medan didirikan untuk memperingati Jacob Nienhuys sebagai “perintis” perkebunan Deli.
Monumen air mancur itu berada di depan kantor Pos Medan. Dikenal sebagai titik nol Kota Medan.
Pada 1928, patung Jacob Theodoor Cremer didirikan di depan gedung kantor Asosiasi Perkebunan Deli (sekarang rumah sakit militer Putri Hijau) dengan tulisan “Cremer, 1847-1923. Pendiri perkebunan tembakau Deli, pendiri perusahaan kereta api di Deli, pejuang yang tak kenal lelah untuk kepentingan negara perkebunan ini”.
Patung Cremer Kuli diresmikan pada 1928 di depan kantor Deli Planters Vereeniging, sekarang rumah sakit Militer Putri Hijau di Medan. Koleksi Kolonial Monumenten.
“Kedua monumen ini sudah tidak ada lagi, tapi warisan kuli kontrak dari kedua tokoh kolonial ini masih dapat dirasakan sampai saat ini di Sumatera Utara,” lanjut Minasny.
2. Cerita mula kuli kontrak di Tanah Deli

Cerita sejarah kuli kontrak di Sumut bermula saat Jacob Nienhuys, pedagang tembakau Belanda datang ke Labuhan Deli di Sumatera Utara pada 1863. Berbeda dengan Jawa, pantai timur Sumatera yang dikuasai oleh Sultan Deli masih belum banyak disentuh oleh pemerintah kolonial Belanda.
Labuhan masih merupakan kampung kecil dekat Belawan yang hanya didiami 2000 penduduk Melayu dan sekitar 20 orang Chinadan 100 orang India.
Saat itu, sistem cultuurstelsel (tanam paksa) baru dihapuskan. Pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Hindia Belanda yang terbuka untuk perusahaan swasta.
Sultan Deli, Sultan Ma’mun Al Rashid Perkasa Alam (1853-1924), berminat mengembangkan tanah di Deli sebagai daerah perkebunan. Dia memberikan konsesi tanah kepada Nienhuys untuk menanam tembakau. Masalah pertama yang dihadapi adalah kurangnya tenaga kerja. Orang Melayu dan Batak tidak mau bekerja sebagai buruh perkebunan.
Nienhuys kemudian mencari tenaga kerja dengan “mengimpor” 120 kuli Chinadari Penang, Malaysia pada 1864. Setelah percobaan beberapa tahun, Nienhuys dianggap mengembangkan tembakau Deli sebagai pembungkus cerutu berkualitas tinggi yang diminati perokok Eropa dan Amerika.
Dengan bantuan modal dari investor di Rotterdam, Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij dan mengembangkan perkebunan Deli secara besar-besaran.
3. Semakin banyak kuli kontrak yang didatangkan ke Tanah Deli

Perkembangan perkebunan semakin pesat membuat kebutuhan kuli semakin banyak. Setiap tahunnya, kuli kontrak asal China didatangkan dari Penang dan Singapura. Selain dari Jawa, Banjar, dan India juga didatangkan.
Pada 1890 tercatat lebih dari 20.000 kuli Chinadidatangkan ke Tanah Deli sebagai buruh kebun. Dengan upah kuli yang murah, usaha tembakau Deli sangat menguntungkan. Tahun 1896, tercatat penjualan 190.000 bal tembakau Deli di Amsterdam yang menghasilkan 32 juta guilder. Kalau dikonversi dengan uang sekarang sekitar US$450 juta atau Rp6,5 triliun.
Sejarah mencatat, penjualan tembakau Deli yang diraup pekebun kolonial dari 1864 sampai 1938 mencapai 2,77 miliar Guilder, atau konversi dengan uang sekarang sekitar US$40 miliar (Rp581 triliun).
4. Perbudakan melazimkan rasisme hingga kekerasan

Perbudakan kolonial membuat rasisme seakan hal yang lazim saat itu. Orang kulit putih dianggap sebagai penguasa mutlak.
Sebuah surat tertanggal 28 Oktober 1876 oleh Frans Carl Valck, Asisten Residen di Sumatera Timur mencatat: “Memang suatu keajaiban, kuli Chinabisa tertarik ke daerah perkulian untuk dipukuli hingga mati atau setidaknya diperlakukan dengan kejam sampai luka yang mendalam… Baru-baru ini saya mendengar cerita tentang seorang Eropa yang dengan bangga menceritakan bagaimana dia menggantung seorang kuli sampai mukanya menjadi biru”.
Nienhuys bahkan pernah menulis menulis bahwa “Orang China adalah penipu yang licik dan orang Jawa adalah malas” dan “Orang Batak adalah ras yang terbelakang”.
Artikel di Sumatra Post edisi 30 Mei 1913 menuliskan bahwa sekitar tahun 1867-1868, Nienhuys dituduh mencambuk tujuh kuli China sampai mati. Kasus ini tidak pernah terbukti. Meski saat itu Sultan Deli memerintahkan Nienhuys untuk meninggalkan tanah Deli dan tidak diizinkan kembali lagi.
Alih-alih semakin membaik, kondisi perbudakan sama saja setelah JT Cremer menggantikan nienhuys pada 1869. Untuk mengontrol ribuan buruh dari China dan Jawa, Cremer merancang Ordinansi (Peraturan) Kuli yang disahkan pemerintah Hindia Belanda pada 1880.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa para pengusaha kebun melakukan kontrak langsung ke sang kuli untuk bekerja penuh di kebun selama 3 tahun. Para pekerja dikontrak tiga tahun untuk membayar “utang” transportasi mereka ke tanah Deli.
Kelihatannya peraturan tersebut menaruh perhatian terhadap kehidupan buruh, namun peraturan tersebut juga membenarkan para pekebun melaksanakan pidana sanksi atas buruh yang mengingkari persetujuan tersebut. Ordinansi tersebut memberikan kuasa kepada para pekebun untuk menghukum para kuli yang diperkirakan tidak patuh, malas, atau melarikan diri.
5. Ada monopoli dan kebrutalan perkebunan terhadap kuli kontrak

Asosiasi Pekebun Tembakau Deli juga didirikan pada 1879 untuk memonopoli perkebunan tembakau di Deli. Cremer juga melobi pemerintah Belanda agar mendatangkan buruh langsung dari daratan China. Pada 1900, sebanyak 6.900 buruh langsung didatangkan dari pelabuhan Swatow di Provinsi Guangdong dan Hong Kong. Dari tahun 1888-1930, lebih dari 200.000 buruh China telah “diimpor” ke tanah Deli.
Di awal 1910, pekerja dari Jawa juga didatangkan dalam jumlah yang besar. Mereka dipekerjakan untuk membuka lahan baru untuk perkebunan karet. Pada 1930 terdapat 26.000 orang China, 230.000 orang Jawa dan 1000 orang India yang bekerja di perkebunan Deli.
Mereka dipekerjakan tidak manusiawi. Bekerja 10 jam per hari selama sepekan penuh. Mereka hanya mendapat jatah libur 1 hari per dua minggu saat gajian.
Kebrutalan para pengusaha kebun diungkap Van Der Brand, seorang pengacara Belanda di Kota Medan. Kebrutalan itu diungkap dalam pamflet yang berjudul “Jutawan dari Deli (De Millionen uit Deli)”. Publikasi Van der Brand ini dianggap sebagai Multatuli tanah Deli.
Pemerintah kolonial merasa wajib untuk merespons dan mengirim jaksa J.L.T. Rhemrev menyelidiki kasus tersebut. Laporan Rhemrev pada 1904 menggambarkan perlakuan yang amat buruk terhadap kuli kontrak. Namun laporan itu hanya disimpan dalam berkas, dan hanya pada 1987 ditemukan oleh Jan Breman, peneliti Universitas Amsterdam.
Tan Malaka, tokoh di Indonesia mengungkap bagaimana kehidupan kuli kontrak yang kejam di Sumatra Utara. Setahun mengajar anak-anak kuli kontrak di Deli pada 1920-an dia menuliskan “Deli memang tanah emas dan surga bagi kelas kaum kapitalis, namun hanya tanah untuk meneteskan keringat dan air mata, tanah kematian dan neraka bagi kaum buruh,”
Para kuli melakukan kerja paksa, mereka adalah budak. Para kuli membanting tulang dari dini hari sampai malam, mendapat upah yang cukup buat pengisi perut dan penutup punggung, tinggal di bangsal seperti kambing dalam kandangnya, sewaktu-waktu dipukul dan dimaki godverdom, sewaktu-waktu bisa kehilangan istri dan anak gadisnya yang dikehendaki ndoro tuan.
Breman memperkirakan seperempat dari kuli kontrak tewas sebelum kontrak mereka berakhir.
6. Warisan kuli kontrak masih terlihat di sistem perkebunan

Setelah kemerdekaan Indonesia, kasus perbudakan ini sudah dilupakan, baik di Belanda maupun di Indonesia. Selain merusak kemanusian, perusahaan kolonial Belanda dan Eropa dalam mengembangkan perkebunan di Sumatera Utara telah membabat hutan secara besar-besaran. Karl Pelzer, akademisi dari Yale University, memperkirakan lebih setengah lahan di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat telah dibabat menjadi perkebunan saat zaman Belanda.
Daerah Sumatera Utara sekarang terkenal menjadi daerah perkebunan. Namun warisan sistem perkebunan zaman Belanda masih diterapkan. Setiap kebun memiliki administrator (ADM), asisten kebun, kerani, mandor, dan buruh. Walau sang buruh sekarang tidak lagi terikat dalam kontrak, namun upah buruh masih minimum.
7. Romantisme yang kerap mengaburkan sejarah

Minasny menuliskan riwayat tanah Deli yang kaya banyak diromantisasi sebagai wisata warisan sejarah. Kota Medan yang telah modern pada awal abad ke-20, pernah dijuluki Parijs van Sumatra. Daerah Kesawan terkenal dengan restoran Tip Top, pusat perbelanjaan Warenhuis dan Seng Hap.
Esplanade (Lapangan Merdeka) memiliki bangunan bersejarah (Harrison Crossfield - sekarang London Sumatera), balai kota, kantor pos, hotel de Boer (sekarang Grand Inna), jalur kereta api yang menghubungkan semua perkebunan di Sumatera Utara.
Bersamaan dengan roman yang indah ini, Nienhuys diceritakan sebagai pendiri kota Medan modern. Monumen Kolonial Belanda mengagungkan Cremer sebagai sang kolonial dengan cita-cita tertinggi yang membawa peradaban, kemakmuran, kedamaian, dan ketertiban.
Nienhuys dan Cremer menjadi kaya raya dari hasil perkebunan Deli. Cremer bahkan menjabat sebagai menteri kolonial di pemerintah Belanda (1897–1901).
Kata Minasnya, romantisme sejarah Medan jangan sampai melupakan keringat dan darah ratusan ribu kuli kontrak yang diperbudak di perkebunan saat kolonial. “Agar sejarah terhadap pekerja kebun tidak terulang lagi, pemerintah dan masyarakat mestinya memperhatikan pendidikan dan kesejahteraan mereka agar bisa keluar dari jeratan kemiskinan turunan. Jika generasi milenial tidak lagi berminat menjadi pekebun atau petani, akan berdampak terhadap kelanjutan pertanian di Indonesia,” tutup Minasny.