Hari Tani: Janji Gubernur Edy Belum Tuntas, Konflik Agraria Mengganas
Konflik eks HGU PTPN II masih mendominasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
“Satu tahun ini Insha Allah selesai,”
Itulah ungkapan Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi saat ditanyai awak media usai rapat paripurna perdana di gedung DPRD Sumut, saat disinggung soal penyelesaian konflik agraria yang terjadi di wilayahnya, Senin 10 September 2018 lalu. Saat itu, baru lima hari Edy Rahmayadi menjabat sebagai Gubernur Sumut bersama wakilnya Musa Rajekshah alias Ijeck.
Dua tahun Edy menjabat, konflik tak kunjung usai. Organisasi masyarakat sipil pun terus menagih janji itu. Janji Sang Gubernur menjadi sorotan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara.
Koordinator KontraS Amin Multazam Lubis mengatakan, konflk agraria di Sumut justru semakin menumpuk. Pemerintah masih melakukan pendekatan kovensional, cenderung mengesampingkan hak rakyat kecil dan pro pada pemodal-pemodal besar.
Monitoring KontraS sepanjang 2020, ada 30 titik konflik agraria yang terjadi di Sumatrra Utara. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya sebanyak 23 titik konflik.
“Kondisi demikian bukan hanya mengakibatkan terampasnya ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat, namun juga kerap mengakibatkan korban luka hingga kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya,” ujar Amin, Kamis (24/9/2020).
Baca Juga: Sunarto Tiba-tiba Pulang ke Rumah 6 Jam Setelah Dimakamkan Keluarga
1. Konflik agraria di Sumut mengakar, bahkan ada yang sampai puluhan tahun
Konflik agraria adalah soal klasik di Sumut. Saban kali ganti gubernur, konfliknya tidak juga selesai. Bahkan ada konflik yang sudah berlangsung selama puluhan tahun di beberapa wilayah.
Secara garis besar, KontraS membagi akar persoalan konflik agraria di Sumatera Utara menjadi 5 jenis. Pertama, konflik akibat tumpang tindih HGU. Kedua, Konflik diatas tanah eks HGU. Ketiga, konflik akibat masuknya pembangunan atau industri skala besar. Keempat, konflik imbas belum direalisasikannya kebun plasma. Kelima, konflik dikawasan hutan.
Kata Amin, konflik soal eks HGU PTPN II, paling banyak terjadi di kawasan Pantai Timur Sumut. Kawasan ini sangat potensial sebagai lahan perkebunan. Persoalan Eks HGU PTPN II didominasi seputar 5873,06 HA yang berada di Deli Serdang, Langkat dan Binjai.
Konflik imbas pembangunan dan masuknya industri skala besar terjadi di Deli Serdang, Langkat, Kawasan Danau Toba hingga Dairi. Konflik Persoalan kebun plasma dapat ditemui di sepanjang Pantai Barat Sumatra Utara. Sedangkan Konflik di kawasan hutan akibat izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menggerus tanah adat masyarakat hingga polemik perhutanan sosial tersebar merata di hampir seluruh Kabupaten/Kota.
Berbagai persoalan ini sejak bertahun-tahun menjadi penyumbang konflik pertanahan di Sumut. Titik konfliknya menyebar di hampir setiap kabupaten kota. Namun formulasi penyelesaian, atau seminimalnya upaya menekan angka konflik belum terlihat.
“Masing-masing kategori itu punya pendekatan dan cara penyelesaian yang berbeda, hal itu yang hingga dua tahun ini belum terlihat dikerjakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara” Kata Amin.
Baca Juga: 5 Zodiak Cewek Ini Friendly Banget, Banyak Cowok Jadi Sahabatnya