TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Berburu Aktor Perdagangan Paruh Rangkong dan Sisik Tenggiling

Kehilangan rangkong dan tenggiling jadi petaka ekologi

Polres Tapanuli Utara menangkap dua orang masing-masing penjual paruh rangkong dan sisik tenggiling. (Dok: Polres Taput)

Medan, IDN Times – Kecerobohan Leonardo Rambe Sihombing (33) dan Sulaiman (44) menawarkan sisik tenggiling dan paruh burung rangkong gading lewat media sosial berujung jeruji. Keduanya ditangkap personel dari Polres Tapanuli Utara,  Sabtu (6/8/2022).

Semakin sempitnya pasar kedua komoditas bagian tubuh satwa dilindungi itu membuat para pedagang gelap mata. Ketimbang menimbun barang, jual cepat dengan harga murah pun terpaksa dilakoni.

Namun begitu, aksi kedua tersangka menunjukkan jika perdagangan ilegal masih belum tuntas tersapu. Aparat penegak hukum mesti lebih tegas lagi menggulung jaringan perdagangan, hingga akar-akarnya.

Penangkapan Leonardo dan Sulaiman dilakukan dalam satu hari. Leo merupakan warga Desa Bahal Batu III, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara. Sementara Sulaiman adalah warga  Desa Matang, Kecamatan Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh.

Baca Juga: Duka Konservasi, Matinya Sang Harimau Citra

Terang-terangan jualan di media sosial

Ilustrasi media sosial (Unsplash.com/Austindistel)

Penangkapan kedua tersangka bermula dari penelusuran polisi di media sosial. Leonardo  dan Sulaiman disebut menawarkan sisik tenggiling dan paruh rangkong gading.

“Di grup itu jelas tergambar. Mereka menawarkan dan informasi ini kita dalami,” kata Kapolres Taput Ajun Komisaris Besar Johanson Sianturi, via seluler kepada IDN Times, Selasa (9/8/2022) malam.

Berbekal informasi itu, polisi melakukan penyelidikan. Leonardo diketahui akan melakukan transaksi di salah satu Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kelurahan Hutatoruan, Kecamatan Tarutung, Tapanuli Utara. Begitu Leonardo muncul, petugas meringkusnya sekitar pukul 13.00 WIB.  Dia kedapatan membawa 38 Kg sisik tenggiling (manis javanica) yang disimpannya di dalam karung. Leonardo tidak bisa mengelak. Dia pun mengakui jika sisik itu miliknya.

Polisi juga menggulung Sulaiman di hari yang sama sekira pukul 18.20 WIB. Dia kedapatan membawa 10 paruh burung rangkong gading (Rhinoplax vigil) di dalam ranselnya di seputaran Tugu Lonceng, Kelurahan Huta Toruan VI, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Taput. Keduanya saat ini masih ditahan di Mapolres Taput untuk kepentingan penyidikan.

“Rencananya keduanya akan menjual sisik dan paruh burung tersebut ke Negara Tiongkok,” ujar Johansen.

Telusur jejak rantai jaringan

Polres Tapanuli Utara menangkap dua orang masing-masing penjual paruh rangkong dan sisik tenggiling. (Dok: Polres Taput)

Kata Johanson kedua tersangka yang ditangkap hanyalah pengepul. Kasus itu masih dikembangkan untuk mencari rantai jaringan lainnya. Termasuk soal asal tenggiling dan paruh rangkong itu.

“Rantai penjualannya cukup panjang,” kata Johanson.

Sumber terpercaya IDN Times menyebut jika paruh rangkong itu berasal dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Sulaiman juga terindikasi masih satu jaringan dengan Deny Azan (47) terdakwa kasus perdagangan 71 paruh rangkong gading, 28 kilogram sisik tenggiling, serta satu kulit dan tulang Harimau Sumatra. Deny ditangkap petugas gabungan di Jalan Lintas Bireuen – Takengon, Aceh Tengah, 3 November 2020 lalu. Deny divonis penjara selama satu tahun tiga bulan dan denda Rp100 juta.

“Sulaiman ini memanfaatkan pemburu jaringan itu. Ini masih satu jaringan,” kata sumber yang tidak ingin identitasnya disebut, Rabu (10/8/2022).

Sumber itu pun menyebut jika Sulaiman dan Leonardo adalah pemain lama. Mereka menjadi pengepul dari  para pemburu.

“Masih banyak barang yang beredar di pemburu. Barang terpendam, karena pasar luar negeri sedang sulit karena COVID-19. Sisik dan paruh ini pasarnya ada di Tiongkok,” katanya.

Aceh dan Sumut zona merah

Ilustrasi sisik trenggiling. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ditangkapnya Leonardo dan Sulaiman menjadi bukti bahwa jaringan penyelundup satwa ke luar negeri masih ada. Bahkan, dia menyebut kawasan Aceh hingga Sumatra Utara adalah zona merah perdagangan satwa, baik hidup atau pun mati. Terutama untuk sisik tenggiling dan paruh rangkong.

“Karena di sana masih punya kawasan hutan cukup luas. Ada KEL, ada Ekosistem Batangtoru, ada juga Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Di Sana karena tutupannya masih baik dan populasinya masih kaya, sehingga Sumut dan Aceh ini diidentifikasi sebagai daerah merah,” ungkap Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif FLIGHT Protecting Indonesia's Birds Marison Guciano, Rabu.

Hasil pemantauan FLIGHT dalam beberapa waktu terakhir, tidak sedikit pelaku perburuan dari luar masuk ke Sumut. Lantaran, melihat potensi alamnya yang masih kaya. Ini menjadi tantangan serius bagi otoritas terkait mewaspadai perburuan.

Marison meminta aparat bisa lebih  jeli lagi. Belakangan juga ada perubahan pola perdagangan yang dilakukan para pelaku kejahatan. Pola ini pun begitu cepat berkembang memanfaatkan teknologi.

Misalnya, dalam perdagangan sisik tenggiling dan rangkong. Saat ini para pelaku kesulitan mencari pasar. Karena bagian tubuh dua satwa dilindungi ini peminatnya ada di luar negeri. Khususnya Tiongkok.

Pandemik COVID-19 membuat pasar ekspor ilegal lesu. Sehingga, banyak barang yang sudah dikumpulkan para pengepul harus terendap. Ini membuat, para pengepul mencari pasar di dalam negeri (domestik).  

Sebelum pandemik, biasanya sisik tenggiling bisa dikirim berton-ton jumlahnya melalui jalur laut. Para ‘pemain’ juga diduga melakukan cara menyelundupkan sisik dengan komoditas lainnya.

“Terkadang komoditas lainnya jalur resmi. Tapi disisipkan di dalamnya sisik tenggiling,” ungkapnya.

Sepinya pasar membuat para pedagang ilegal itu membentuk ekosistem baru. Mereka tidak takut memajang satwa atau bagian tubuhnya melalui media sosial. Terutama pada sesama komunitas satwa.

Dugaan keterlibatan aparat korup muluskan perdagangan

Hasil sitaan paruh rangkong gading (mongabay.id/Junaidi Hanafiah)

Kajian FLIGHT juga menunjukkan jika perdagangan ilegal satwa dilindungi diduga melibatkan aparat korup. Misalnya,  penyelundupan  melalui jalur laut bisa lolos dari otoritas terkait. Contohnya, sisik tenggiling tidak jarang ke luar dari Indonesia melalui Riau. Kemudian masuk ke Port Klang, Malaysia dan tembus hingga Tiongkok.

“Kalau paruh rangkong, dia masuk ke Jakarta terlebih dahulu. Kemudian diselundupkan, melalui bandara dan Terbang ke Tiongkok. Dugaan keterlibatan aparat atau pun  petugas bandara yang korup juga kuat,”kata Marison.

Sebut saja, kasus pada Juli 2019. Seorang perempuan nyaris berhasil menyelundupkan 72 paruh rangkong melalui Bandara Internasional Soekarno – Hatta. Perempuan berinisial TLC (48) berencana terbang ke Hongkong dengan paruh – paruh tersebut. Ini menjadi pertanda bahwa para mafia mendapati celah di bandara.

Pola perdagangan ilegal paruh rangkong memang terbilang lebih rapi. Para pemburunya juga lebih profesional. Karena harus memiliki keahlian menembak dengan senapan canggih. Bahkan, para mafia di Tiongkok, pernah diketahui membiayai para pedagang dan pemburu.

“Mereka juga kadang menjemput  barang langsung. Memang pandemik COVID-19 mengubah peta itu.

Namun ini dikhawatirkan semenjak pandemik mulai mereda. Ada potensi perdagangan meningkat lagi. Ini harus diwaspadai,” kata Marison.

FLIGHT mencatat, dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2021-2022), pengungkapan kasus perdagangan Rangkong terus terjadi. Di wilayah Sumatra saja, mereka memantau ada enam kasus dengan total 91 paruh rangkong yang disita.

Tren perdagangan menurun, populasi rangkong kian langka

Enggang Gading, maskot Kalimantan Barat yang populasinya terancam (Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa)

Kasus di Tapanuli Utara juga menjadi perhatian lembaga Rangkong Indonesia. Kasus ini menjadi alarm waspada bagi para penegak hukum. Meski pun memang, tren kasusnya mengalami penurunan.

“Perkara ini semakin jarang. Ketimbang tujuh tahun lalu. Ini bisa karena berbagai alasan,” kata peneliti Rangkong Indonesia Yokyok 'Yoki' Hadiprakarsa. 

Alasannya bukan karena menurunnya perburuan, melainkan semakin langkanya populasi rangkong di alam. Ditambah, penegakan hukum memasukkan paruh rangkong gading menjadi prioritas daftar diwaspadai.

Selain perburuan, kelangkaan rangkong atau enggang, dipicu oleh fragmentasi habitat yang terus terjadi. Yoki juga menyoroti soal penegakan hukum yang biasanya tersendat sampai jaringan di tingkat bawah. Ini menjadi pekerjaan rumah serius bagi aparat penegak hukum.

“Tapi yang perlu diapresiasi, tetap terjadi penindakan. Tinggal bagaimana mendorong penindakan di tingkat atas seperti apa,” ungkapnya.

Penelitian Rangkong Indonesia menunjukkan, geliat perdagangan paruh rangkong gading muncul secara  masif terjadi sejak 2012. Ini terjadi seiring peningkatan perekonomian di Tiongkok. Bagi sebagian orang, memiliki paruh rangkong adalah investasi barang antik. Bahkan berdasar sejarah, Sejak jaman Dinasti Ming abad 17, para bangsawan Tiongkok telah mengincar cula atau balung (casque) rangkong gading untuk dijadikan berbagai bentuk hiasan.

“Ketika di awal-awal, paruh ini dijemput oleh orang kewarganegaraan Tiongkok jemput bola ke Indonesia. Artinya, jika mereka sampai jemput bola, ini sangat berharga banget. Permintaan paruh hanya dari Tiongkok,” katanya.

Investigasi Rangkong Indonesia bersama Yayasan Titian mencatat, pada 2013 sekitar enam ribu rangkong gading dewasa diburu untuk diambil paruhnya di Kalimantan Barat. Sementara, dari 2012 hingga 2019, diperkirakan sebanyak 3.480 paruh rangkong disita Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Tiongkok, dalam upaya penyelundupan.

“Pemerintah Tiongkok juga tidak diam. Pemerintah  juga mereka perbuat karena juga penangkapan di sana lumayan banyak juga . Hampir kurang lebih sekitar 40 persen paruh yang disita di seluruh dunia, juga datangnya dari Cina,” ungkapnya.

Pemerintah Tiongkok juga mendukung kegiatan penguatan untuk mengentaskan rantai panjang perdagangan ilegal paruh rangkong gading. Secara internasional, Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah (CITES) juga memasukkan burung bernama latin Rhinoplax Vigil itu dalam daftar yang tidak boleh diperdagangkan dengan bebas. Pun diperdagangjan, syaratnya sangat ketat.

Rangkong Indonesia juga menyoroti soal perdagangan ilegal rangkong lewat media sosial dan laman toko daring. Dilansir dari Mongabay Indonesia, sejak Januari 2017 hingga Agustus 2021, ada 51 kasus yang diidentifikasi.

Sebanyak 65 persen dari jumlah itu diperdagangkan di sosial media, terutama di Facebook 91 persen, Instagram 6 persen dan Kaskus 3 persen. Sementara di laman toko daring antara lain;  Tokopedia 59 persen, Bukalapak 23 persen dan Shopee 18 persen.

Baca Juga: Jaksa Minta Otak Pelaku Perdagangan Orangutan Segera Disidang

Berita Terkini Lainnya