Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Warga Padang Halaban Tolak Eksekusi Lahan, Konflik Sejak Tahun 1969

Aksi yang dihelat untuk membela masyarakat Padang Halaban (Dok.Istimewa)

Labuhanbatu Utara, IDN Times – Perjalanan panjang menghadapi konflik agraria saat ini masih dihadapi oleh masyarakat yang berada di Perkebunan Padang Halaban, Labuhanbatu Utara. Gesekan yang mereka hadapi dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (PT. SMART) masih langgeng terjadi sejak tahun 1969.

Terkini koalisi masyarakat sipil mengecam keras upaya penggusuran penduduk yang dilakukan PT. SMART di lahan seluas 83,5 hektare. Penggusuran kemudian ditunda, dan kini masyarakat di sana merasa khawatir akan hilangnya tempat bermukim yang selama ini sudah mereka tempati selama 16 tahun lamanya.

1. Konflik agraria di Padang Halaban telah terjadi sejak orde baru

Potret masyarakat di Padang Halaban, Labuhanbatu Utara (dok.istimewa)

Perjuangan warga di Perkebunan Padang Halaban, khususnya yang tergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPH-S) sudah berlangsung sejak lama. Mereka sendiri merupakan korban pengusiran secara paksa (penggusuran) yang terjadi pada tahun 1969-1970.

Pada tahun tersebut, total ada 6 desa yang digusur yaitu Desa Sidomulyo, Desa Karang Anyar, Desa Sidodadi, Desa Purworejo, Desa, dan Desa Sukadame. Luas keseluruhan dari desa tersebut lebih kurang adalah 3.000 hektar dengan 2.040 kepala keluarga yang terdampak.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari koalisi masyarakat Padang Halaban, warga telah menduduki dan bermukim di wilayah ini sejak masa pendudukan Jepang. Di mana wilayah yang mulanya merupakan area perkebunan sawit dan karet milik perusahaan asal Belanda-Belgia selama periode penjajahan Belanda, perlahan berubah menjadi dusun-dusun dan area pertanian rakyat.

“Ini sejarah panjang dari peristiwa penggusuran yang terjadi tahun 1969/1970. Itu ada 6 desa seluruhnya, yang kemudian diambil secara paksa. Sehingga masyarakat pada waktu itu kehilangan desanya. Ada 2.040 kepala keluarga dengan luas 3.000 hektar. Sempat ada proses merebut kembali dengan berbagai cara, namun tidak menemukan titik temu. Sehingga tahun 1998 pasca keruntuhan Orde Baru, masyarakat kembali lagi memberanikan diri melakukan upaya pengembalian lahan mereka. Itulah kemudian masyarakat mengkonsolidasikan diri ke dalam sebuah wadah tani,” kata Swardi, pendamping masyarakat Padang Halaban.

Di bawah kepemimpinan Soeharto, Orde Baru menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT SMART yang mencakup area pemukiman dan pertanian rakyat di Perkebunan Padang Halaban itu. Akibat kebuntuan proses dan tidak mendapatkan kepastian, hingga pada 2009, secara kolektif perwakilan dari 6 desa warga perkebunan Padang Halaban menduduki (reclaiming) area yang merupakan bekas desa mereka seluas 83,5 hektar dari keseluruhan 3.000 hektare, yang telah menjadi HGU dari PT. SMART.

“Ada sekitar 300-an kepala keluarga saat ini. Dari lahan 3.000 hektare itu, masyarakat hanya menguasai sekitar 83,5 hektare (reclaiming) selama 16 tahun yang dijadikan pemukiman dan reparasi psikologis untuk mengembalikan desa mereka. Lalu dijadikan lahan bertahan hidup untuk kebutuhan dan mengembangkan alas sosial di sana,” jelas Swardi.

2. Konflik diwarnai aksi saling lapor, masyarakat Padang Halaban sepakat untuk berkomitmen menolak eksekusi lahan

Aksi masyarakat yang menolak eksekusi lahan di Padang Halaban (dok.istimewa)

Sepanjang 1998 sampai dengan saat ini, terjadi aksi saling gugat antara PT. SMART dengan masyarakat Padang Halaban. Putusan Pengadilan Negeri Rantau Prapat pada tahun 2014 yang diperkuat dengan Putusan Pengadilan Tinggi Medan pada tahun 2015 dan Putusan Mahkamah Agung pada tahun 2016 membuat warga terusir.

Swardi mengatakan bahwa ada sejumlah bersitegang antara kelompok tani dengan pihak perusahaan. Hal ini pula yang membuat beberapa pengurus kelompok tani mendapatkan hukum pidana.

“Masyarakat digugat mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, sampai pada kasasi. Intinya gugatan itu diterima dan dikabulkan sehingga putusannya dilakukannya eksekusi. Sehingga berdasarkan putusan inilah beberapa kali perusahaan mengajukan permohonan eksekusi. Berbagai upaya kelompok tani dengan jaringannya mencoba membuka ruang dialog. Sampai dengan hari ini, 16 tahun masyarakat menguasai lahan yang sekarang dijadikan pemukiman, rumah ibadah, dan lainnya, itu akan dilakukan eksekusi berdasarkan putusan hukum yang berlaku,” beber Swardi.

Ia mengatakan, di samping kepemilikan HGU PT. SMART, masyarakat punya latar belakang bahwa dan sejumlah fakta historis. Inilah yang membuat mereka kemudian melakukan berbagai upaya menyuarakannya sampai ke Komnas HAM dan Kementerian HAM.

“Rencana eksekusi yang seharusnya tanggal 28 memang sementara ini ditunda. Karena kemarin ada teman-teman utusan kelompok tani buat pengaduan ke Komnas HAM dan Kementerian HAM sehingga membuat ditunda prosesnya. Namun kondisi hari ini masih ada alat berat sekitar 6 unit lagi, yang sebelumnya ada 13. Setelah penundaan tersebut, ada surat dari pengadilan menjadwal ulang eksekusi akan dilaksanakan tanggal 6 nantim" katanya.

"Nah kondisi masyarakat di sini tentu dalam posisi yang siaga. Artinya, masyarakat tetap akan mempertahankan tindakan eksekusi. Kita sudah meminta pihak terkait untuk menghentikan proses itu dulu dan mengedepankan ruang dialog sehingga ada solusi yang lebih mengedepankan prinsip Hak Asasi Manusia,” sebut Swardi.

3. Masyarakat harap rekonsiliasi dan kuasai kembali lahan seluas 83,5 hektare

Aksi yang dihelat untuk membela masyarakat Padang Halaban (Dok.Istimewa)

Bagi Swardi, masyarakat Padang Halaban hanya merupakan korban pelanggaran HAM masa lalu, yang terjadi tahun 1965-1966. Baik pemerintah maupun perusahaan menurutnya harus bisa memberikan tanggung jawab kepada 300 lebih kepala keluarga yang menempati area reclaiming.

“Negara memiliki kewajiban memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemulihan terhadap masyarakat. Nah, sementara korporasi juga memiliki tanggung jawab Hak Asasi Manusia sebagaimana kemudian komitmen mereka tentang bisnis dan HAM seperti dalam bentuk protect, respect, dan remedy. Maka hari ini yang mau kita dorong adalah harapan warga. Warga berharap negara dan korporasi memberikan pemulihan kepada mereka,” tutur Swardi.

Bentuk pemulihan yang dimaksud Swardi dapat berupa rekonsiliasi antara PT. SMART dengan masyarakat. Bahwa tidak hanya membatalkan eksekusi, tapi menyerahkan apa yang disebutnya telah menjadi milik masyarakat.

“Dari 6 desa dan 3000 hektare yang hilang dari masyarakat, setidaknya 83 hektare (reclaiming) yang hari ini sebagai sumber penghidupan itu, diserahkan kepada mereka. Sehingga dapat menjadi pemukiman dan tempat bertahan hidup. Terlebih untuk mengembangkan sosial budaya mereka di tempat ini,” pungkasnya.

Perwakilan masyarakat sudah mengadu ke Komnas HAM Jakarta pada 27 Februari 2025 yang diinisiasi Keompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) dan tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. 

"Koalisi masyarakat sipil mengecam keras upaya penggusuran penduduk yang dilakukan oleh PT SMART di Perkebunan Padang Halaban," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Padang Halaban dalam keterangan resmi, dikutip pada Sabtu, 1 Maret 2025.

Pengadilan Negeri Rantau Prapat mengumumkan penundaan eksekusi lahan Padang Halaban lewat surat nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025. "Bersama ini, kami beritahukan bahwa pelaksanaan eksekusi tersebut ditunda, dan dijadwalkan kembali pada Kamis, 6 Maret 2025," demikian pernyataan dalam surat yang dirilis amnesti internasional.

4. PT. SMART sebut telah berupaya mencari jalan damai, meski keputusan pengadilan mengatakan masyarakat tidak memiliki dasar

Aksi masyarakat yang menolak eksekusi lahan di Padang Halaban (dok.istimewa)

Sementara itu Stephan Sinisuka selaku Head of Corporate Communication Sinar Mas Agribusiness and Food mengatakan bahwa status tanah yang saat ini dipersoalkan berstatus HGU. Di mana selama bertahun-tahun, kasus tersebut telah bolak-balik masuk ke pengadilan.

"Untuk status tanah adalah HGU. Selama 1 dekade terakhir, kasus ini telah melewati berbagai proses pengadilan, dan setelah diperiksa dalam proses peradilan Indonesia. Klaim lahan oleh masyarakat yang dipermasalahkan tersebut tidak berdasar," kata Stephan kepada IDN Times, Kamis (6/3/2025).

Masyarakat meminta upaya rekonsiliasi. Begitu pula dengan PT. SMART yang disebut Stephan berupaya mencari jalan damai.

"Perusahaan telah berupaya mencari jalan damai sebagai itikad baik Perusahaan untuk menyelesaikan situasi ini, walaupun berbagai keputusan pengadilan telah memutuskan bahwa klaim masyarakat terkait tidak memiliki dasar. Perusahaan akan melakukan upaya terbaik untuk meminimalisir segala bentuk gangguan dan kendala yang timbul dari upaya tindak lanjut atas keputusan pengadilan," lanjutnya.

Masyarakat Padang Halaban sempat melakukan aksi tolak eksekusi. Namun terkait dengan rencana eksekusi lahan itu, Stephan mengatakan bahwa pelaksanaannya ditunda.

"Saat ini pelaksanaan keputusan pengadilan negeri ditunda hingga waktu yang belum di tentukan," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Eko Agus Herianto
Doni Hermawan
Eko Agus Herianto
EditorEko Agus Herianto
Follow Us