Sihaporas Berdarah, KontraS: Konflik Menahun Karena Negara Abai

Medan, IDN Times – Konflik agraria antara PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan masyarakat adat Sihaporas terus memanas. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mengecam dugaan penyerangan brutal yang dilakukan pihak perusahaan terhadap warga pada Senin (22/9/2025) pagi.
Peristiwa itu disebut tidak hanya soal kekerasan fisik, melainkan juga bentuk perampasan tanah adat yang telah diwariskan turun-temurun. KontraS menilai, negara justru melakukan pembiaran karena tidak memberi kepastian hukum bagi masyarakat adat.
1. Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya bertanggung jawab

KontraS Sumut mencatat bahwa aksi kekerasan PT TPL bukan pertama kali menimpa masyarakat adat di sekitar Danau Toba. Sejak Maret 2024 hingga September 2025, setidaknya ada tujuh kali letusan konflik di tanah adat yang diklaim perusahaan. Bentuknya beragam, mulai dari intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan langsung.
“Alih-alih menyelesaikan konflik secara adil dan bermartabat, pola kekerasan yang terus terjadi menunjukkan bahwa perusahaan beroperasi dengan menghalalkan praktik represif,” tegas Adhe Junaedy, Staf Opini Publik KontraS Sumut dalam keterangan tertulis, Selasa (23/9/2025).
Menurut KontraS Sumut, pemerintah pusat maupun daerah seharusnya bertanggung jawab penuh atas berulangnya kekerasan di Sihaporas. Sebab, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi masyarakat adat dan ruang hidupnya.
“Berulangnya kasus kekerasan yang dilakukan TPL adalah cerminan bagaimana pemerintah telah abai dan gagal untuk menyelesaikan konflik agraria. Pemerintah pusat maupun daerah mestinya bertanggung jawab atas kejadian ini karena terus membiarkan PT TPL beroperasi meski berkali-kali terbukti menimbulkan konflik sosial hingga kerusakan lingkungan. Konflik menahun karena negara abai,” tegas Adhe.
2. Sebanyak 39 orang jadi korban, termasuk penyandang disabilitas

Berdasarkan informasi yang dihimpun, orang-orang berpakaian hitam dengan helm diduga dari kubu PT TPL menyerang masyarakat adat di Ladang Buntu Panaturan, Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Mereka membawa parang, tameng rotan, hingga alat setrum.
Serangan itu menyebabkan 33 warga menjadi korban, terdiri dari 18 perempuan dan 15 pria. Bahkan seorang korban di antaranya penyandang disabilitas mengalami luka di bagian kepala. Setidaknya ada 10 warga yang alami luka serius akibat serangan itu.
Sementara TPL membantah karyawannya melakukan penyerangan. Menurutnya pemicu dari masyarakat sendiri. Hal itu dikatakan Salomo Sitohang selaku Manager Corporate Communication TPL. Menurtnya warga Sihaporas melempari pekerja serta kendaraan perusahaan menggunakan batu. Ia juga menyebut warga memblokade jalan dengan kayu dan membakar mobil operasional. Total ada 6 karyawan terluka.
"Sekelompok orang menghadang dan melakukan pelemparan batu yang mengakibatkan enam orang mengalami luka-luka, yaitu Rocky Tarihoran selaku karyawan Humas, 3 orang petugas keamanan bernama Saut Ronal, Edy Rahman, dan Markus, serta seorang anggota mitra bernama Nurmaini Situmeang", kata Salomo.
3. TPL tempuh jalur hukum

Dua unit kendaraan perusahaan, yakni mobil patroli security Aek Nauli dengan nomor polisi BK F 8711 HK dan mobil truk fire safety, turut mengalami kerusakan berat akibat dibakar dalam kejadian ini. Perusahaan telah melaporkan kejadian ini kepada pihak berwenang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum.
“Perusahaan membantah keras tudingan yang tidak sesuai fakta terkait insiden ini. Yang terjadi adalah aksi anarkis sekelompok orang yang secara jelas mengganggu kegiatan operasional dan membahayakan pekerja, termasuk masyarakat lokal yang justru ingin bekerja. Kami meminta semua pihak menghormati kebenaran, tidak menyebarkan narasi keliru, serta menyerahkan sepenuhnya proses penanganan kasus ini kepada aparat penegak hukum,” tegas Salomo.