Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Saringkulit Terang tanpa PLN

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Saringkulit, Kecamatan Ketangkuhen, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Dok. Saddam Husein for IDN Times)

Deli Serdang, IDN Times - Jam menunjukkan pukul 5 sore, langit sudah hampir gelap, Sembiring bergegas berjalan ke arah sungai Dusun Saringkulit. Tak begitu jauh, jaraknya sekitar 500 meter dari rumah, namun aksesnya hanya jalan setapak yang licin berlumut dan tidak bisa dilalui kendaraan.

Butuh waktu sekitar 10 menit berjalan kaki untuk tiba di Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) milik Dusun Saringkulit. Usai menyalakan generator, Sembiring kembali lagi ke rumahnya. Esok pukul 6 pagi ia kembali untuk mematikan generator. Itulah tugas sehari-hari sembiring belasan tahun terakhir. Ia adalah operator PLTMH Dusun Sarungkulit. Upahnya kecil, hanya Rp300 ribu per bulan, namun penerangan lampu dusun ini terletak di ujung jarinya.

"Di sini belum ada listrik dari PLN, sejak saya lahir emang gak pernah masuk Listrik (PLN) di sini, jadi warga hanya bergantung penerangan dan Listrik dari PLTMH ini," kata lelaki berusia 42 tahun itu.

Dusun Saringkulit berada di Desa Ketangkuhen, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Sebagian besar mata pencarian masyarakat adalah bertani, salah satu produk andalan dari dusun ini adalah asam gelugur untuk bumbu masakan khas Karo.

Jaraknya sekitar 55 kilometer dari pusat Kota Medan, Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Namun sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Dusun Saringkulit belum sekalipun menikmati Listrik dari PLN.

PLTMH sumbangan dari  Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Sukamakmur, Deli Serdang pada 1988 ini adalah satu-satunya sumber listrik di dusun ini. Sejak 37 tahun lalu, sudah beberapa kali dinamo PLTMH jebol disambar petir. Tetapi warga dusun berimprovisasi membetulkan dinamo agar PLTMH bisa terus menyala.

Meski sudah ada PLTMH, Sebanyak 29 KK yang ada di dusun terpencil ini hanya menikmati Listrik pada malam hari. Bahkan jika ada kegiatan siang hari, warga terpaksa menggunakan genset. PLTMH bisa dinyalakan jika ada hajatan kampung, itupun berdasarkan kesepakatan warga.

“Masyarakat di sini menikmati Listrik dari PLTMH mulai pukul 5 sore sampai jam 6 pagi. Siang hari di sini tidak ada listrik. Karena siang PLTMH dimatikan, gak bisa menyala 24 jam penuh” ujar Kepala Dusun Saringkulit, Ngamani Sembiring pada IDN Times, pada akhir Maret lalu.

Setiap Kepala Keluarga dikenakan biaya berkisar Rp20 ribu - Rp30 ribu per bulan untuk menikmati Listrik dari PLTMH. Ngamani lah yang bertanggung jawab mengutip uang iuran listrik dari rumah ke rumah setiap bulan. Dari iuran yang terkumpul, sebesar Rp300 ribu digunakan untuk mengupah operator, sisanya disimpan untuk biaya perawatan dan perbaikan jika terjadi kerusakan. Jika terjadi kerusakan parah, warga harus urunan lagi untuk memperbaikinya.

“Yang paling mahal itu kalau dinamonya kena sambar petir. Waktu itu butuh sekitar Rp5 juta untuk membeli dinamo baru. Kalau untuk kerusakan-kerusakan lain itu lebih murah, ada juga yang bisa kami perbaiki sendiri,” ujar pria 38 tahun ini.

Jalan amblas di Desa Suka Maju, akses satu-satunya menuju Desa Negeri Gugung, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Meski bertetangga dengan Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang bisa dibilang cukup jauh tertinggal soal energi listrik. Pada tahun 1986, total ada 11 Desa di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang yang belum tersentuh Listrik PLN. Prihatin dengan kondisi ini, Bidang Partisipasi Pembangunan (Parpem) GBKP Sukamakmur bekerja sama dengan Dinas Pertambangan dan Energi Sumut kala itu membuat program pengadaan PLTMH.

Selama 3 tahun ada 13 PLTMH yang dibagikan GBKP Sukamakmur untuk 11 Desa. Yakni Desa Sikeben, Desa Martelu, Desa Bukum, Desa Tangkuhen, Desa Sukamaju, Desa Cinta Rakyat, Desa Negeri Gugung, Desa Batu Layang, Desa Salabulan, Desa Buluawar, dan Desa Rumah Kinangkung.

Ke-13 PLTMH ini mampu menerangi 23 dusun dan dinikmati oleh lebih dari 1.000 Kepala Keluarga. Khusus tiga dusun di Desa Tangkuhen, masing-masing punya satu PLTMH karena jaraknya yang berjauhan dan akses jalannya buruk. Sedangkan 10 desa lainnya masing-masing mengelola satu PLTMH.

Hingga tahun 2020, sebanyak delapan desa sudah mendapatkan listrik PLN. Menyisakan Desa Bukum, Desa Negeri Gugung, dan Desa Ketangkuhen yang masih bergantung pada PLTMH karena akses jalan menuju desa masih buruk.

Setiap tahun ketiga kepala desa itu selalu membahas soal akses Listrik PLN dalam Musrenbang di tingkat Kecamatan. Pasca COVID-19, akhirnya PLN menyalurkan Listrik ke Desa Bukum dan Negeri Gugung. Kini hanya Dusun Saringkulit Desa Ketangkuhen yang belum menikmati Listrik PLN dan masih menggantungkan harapan dari PLTMH.

Kepada Desa Ketangkuhen, Jois Bangun mengaku setiap tahun menyurati PLN agar Dusun Saringkulit bisa dialiri Listrik. Tahun ini bersama Camat ia berjanji akan kembali menyurati PLN agar semua warga desanya bisa menikmati Listrik PLN.

“Karena terlalu jauh kata orang PLN waktu itu, jadi listrik belum bisa masuk,” kata Jois pada IDN Times.

Kades Negeri Gugung, Enda Sembiring mengatakan memang untuk masuk Listrik PLN ke Desa Negeri Gugung, Bukum dan Katengkuhen tidak mudah karena akses jalan buruk dan jaraknya jauh dari desa tetangga. Selain itu ada juga yang menolak memberikan lahannya untuk dibangun tiang Listrik.

“PLN waktu itu mau masuk ke sini juga gak mudah, akses jalan masih jelek dan jauh. Kemudian soal ganti rugi pohon yang ditumbangkan karena pembangunan tiang Listrik. PLN gak mau keluarkan uang, banyak warga yang menolak kalau gak diganti rugi pohonnya. Jadi terpaksalah uang pribadi saya keluar mengganti pohon-pohon warga ini, sekitar Rp300 ribu satu pohon aku membayar,” kenang Kades Negeri Gugung, Enda Sembiring.

Di satu sisi, Enda bersyukur listrik PLN kini sudah masuk ke desanya. Pasalnya pada November 2024 banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Sibolangit membuat PLTMH di Desa Negeri Gugung dan Desa Bukum tersapu air dan hilang. Kini PLN jadi satu-satunya sumber listrik masyarakat di dua desa tersebut.

Teknologi Hibrid ala Negeri Gugung

Kantor Desa Neger Gugung, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Meski sudah ada Listrik PLN, Enda bercerita dalam waktu dekat masyarakat desanya akan urunan untuk membeli PLTMH baru. Pasalnya Listrik PLN belum bisa menjangkau hingga ke sawah warga. Sedangkan PLTMH berada di sungai dekat dengan sawah sehingga mudah untuk digunakan menyalakan mesin untuk irigasi.

Dalam hal tarif, PLTMH jauh lebih murah. Kata Enda, rata-rata warga Desa Negeri Gugung harus membayar Rp150 ribu per bulan untuk membayar Listrik PLN. Lalu untuk mengairi sawah harus menggunakan genset.

Sedangkan selama puluhan tahun pakai PLTMH, warga hanya membayar Rp20 ribu hingga Rp 30 ribu per bulan. Jika ada warga yang menggunakan PLTMH untuk mengairi sawah, maka akan dikenakan biaya tambahan Rp20 ribu. Artinya maksimal warga Desa Negeri Gugung hanya membayar Rp50 ribu per bulan untuk Listrik PLTH, sepertiga lebih murah dibanding Listrik dari perusahaan Listrik milik Negara.

“Jadi kalau sudah ada PLTMH nanti, Listrik PLN untuk back-up pada siang hari saja. Malam hari, seperti kebiasaan dari dulu, kami pakai penerangan dari PLTMH dan mesin mengairi sawah pakai tenaga Listrik dari PLTMH,” kata Enda.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut tahun 2024, listrik dari PLN sudah menjangkau 99,23 persen rumah tangga di Sumut. Sedangkan sisanya 0,50 persen menggunakan listrik non-PLN dan sisanya, 0,27 menggunakan penerangan bukan dari Listrik. Sebagian besar adalah rumah tangga di Pulau Nias, Deli Serdang, dan Mandailing Natal.

Manager Komunikasi dan TJSL PLN UID Sumut, Surya Sahputra Sitepu hingga saat ini belum memberikan data secara rinci berapa jumlah desa di Sumut yang belum dialiri Listrik PLN. Saat ditanya kapan Desa di Deli Serdang 100 persen dialiri Listrik, ia juga tidak bersedia memberikan penjelasan hingga berita ini ditayangkan.

Berdasarkan penelusuran IDN Times, Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Deli Serdang memiliki potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang sangat besar.Di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).

Beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM meresmikan PLTBm di Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang dengan kapasitas 1 x 9,9 MW. PLTBm cocok untuk daerah perkebunan dan pesisir yang berada di Deli Serdang. PLTBm ini memanfaat limbah kayu karet dari perkebunan yang ada di sekitarnya.

Selanjutnya baru-baru ini Pemkab Deli Serdang meresmikan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) di Sungai Buaya dengan kapasitas 2 x 1,5 MW. Memanfaatkan banyaknya aliran sungai yang ada di Deli Serdang yang bermuara di laut lepas Deli Serdang.

Sedangkan potensi PLTMH juga sangat besar di Deli Serdang. Di Kecamatan Sibolangit saja ada 4 sungai besar yang mengalir. Potensi ini yang dilirik GBKP Sukamakmur untuk membantu warga membangun PLTMH di 11 desa di Kecamatan Sibolangit yang pada masa itu belum terjangkau PLN.

PLTMH Menjaga Hutan dan Sungai

Sungai penggerak PLTMH di Dusun Saringkulit, Kecamatan Ketangkuhen, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Dok. Saddam Husein for IDN Times)

Lokasi ke-13 PLMTH dari GBKP Sukamakmur di 11 Desa ini sebenarnya saling berdekatan. Berada di sekitar Taman Huta Raya (Tahura) Sibolangit dan dikelilingi hutan lindung. Di hutan lindung yang mengelilingi 11 desa inilah mengalir sedikitnya empat sungai atau Lau dalam Bahasa Karo. Yakni Lau Seruai, Lau Petani, Lau Paipai dan Lau Jabi. Keempat sungai ini yang dimanfaatkan warga dan Parpem GBKP sebagai sumber utama penggerak PLTMH.

Keberadaan PLTMH, menurut Enda, lebih dari sekadar untuk memenuhi kebutuhan Listrik rumah tangga, namun membangkitkan semangat gotong royong dan kepedulian terhadap lingkungan. Warga bergotong royong untuk bersama-sama menanggung honor operator dan biaya perawatan PLTMH.

Warga juga bergotong-royong merelakan sebagian tanahnya seluas 2 rante (40x40 meter) sebagai lokasi pembangunan PLTMH. Jika terjadi kerusakan pada parit yang mengalirkan air ke bendungan penampung dan pintu air, warga juga bergotong royong untuk memperbaiki parit tersebut.

Dari sisi kepedulian terhadap lingkungan, warga sepenuhnya sadar bahwa ketika sungai dan hutan tetap terjaga, maka sumber air untuk PLTMH akan terjamin kelangsungannya. Dengan demikian, listrik akan terus hadir ke desa mereka. Karena itulah, warga berprinsip hutan dan sungai harus dijaga, apapun taruhannya. Ketika hutan dan sungai rusak, maka bencana yang akan datang dan secara otomatis PLTMH yang menjadi satu-satunya sumber listrik warga tidak berfungsi lagi.

“Ibarat keluarga, maka hutan dan sungai adalah saudara kami. Jika hutan dan sungai rusak, air tak mengalir dengan baik, maka yang rugi kami sendiri. Tugas kami untuk menjaganya. Kami bersyukur, selama 37 tahun kami mampu menjaganya dengan baik. Listrik mengalir dengan baik. Saat orang di kota sering mati lampu saat beban puncak, kami di sini hampir tak pernah mengalaminya. Lampu tetap hidup. Kami tetap bisa menonton, memasak nasi, mencharge ponsel atau menyeterika,” kata Ngamani.

Info Grafis Kelebihan dan Kelemahan PLTMH (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)

Divisi Lapangan Parpem GBKP, Guntur Tarigan menambahkan, selama lebih dari 30 tahun bergerak dalam layanan PLTMH pihaknya melihat bahwa lingkungan hutan dan sungai di desa yang terdapat PLTMH lebih terjaga. Masyarakat dengan kesadaran penuh bersama-sama menjaga kelestarian hutan dan sungai, karena merupakan tangkapan air dan modal untuk keberlangsungan PLTMH. 

“Selama puluhan tahun, masyarakat setempat memegang teguh prinsip, menjaga  hutan dan menjaga sungai agar tidak rusak demi keberlangsungan hidup yang lebih baik,” kata Guntur.

Menurut Guntur ada dua skema pendanaan pembangunan PLTMH yang dilakukan Parpem GBKP selama ini. Pertama adalah Parpem GBKP mencari dana melalui hibah murni pihak ketiga dan kedua melalui bantuan pemerintah. Selanjutnya Parpem melakukan kegiatan pembangunan dan pengorganisasian. Dalam proses pembangunan, Parpem akan melibatkan masyarakat, misalnya dalam hal penyediaan lahan.

Setiap kepala keluarga yang menggunakan listrik PLTMH rata-rata mendapatkan daya listrik sebesar 2 ampere atau 450 watt. Daya listrik ini cukup untuk menonton televisi, menghidupkan lampu, memasak nasi dengan rice cooker, menyalakan kulkas dan men-charge baterai ponsel secara bersamaan.

Daya listrik ini juga masih dapat digunakan untuk menyeterika pakaian, tetapi dengan syarat beberapa peralatan elektronik yang cukup banyak menggunakan arus seperti rice cooker dan televisi harus dimatikan.

Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Dusun Saringkulit, Kecamatan Ketangkuhen, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Tugas Parpem GBKP, ungkap Guntur, tak berhenti saat PLTMH berdiri. Setelah PLTMH terpasang, tugas selanjutnya adalah mengorganisir masyarakat untuk membentuk Kelompok  Pengelola. Kelompok Pengelola memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang berisikan susunan kepengurusan, aturan-aturan, jumlah iuran, sanksi dan denda, hak dan kewajiban pelanggan serta hak dan kewajiban pengurus. Pengurus kelompok bersama-sama dengan kepala dusun akan menagih iuran listrik dari masing-masing kepala keluarga selambat-lambatnya tanggal 15 setiap bulan.

“Pemerintah dan Parpem yang membangun. Selanjutnya pengelolaan diserahkan kepada warga dengan membentuk Kelompok Pengelola yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Pengurus kelompok inilah yang memungut iuran PLTMH, pemasangan listrik ke rumah warga hingga perawatan PLTMH. Setiap Kepala Keluarga (KK) dipungut iuran Rp 20 ribu. Iuran ini yang digunakan untuk  membayar honor operator dan perawatan PLTMH,” kata Guntur.

Dari sisi iuran, tambah Guntur, masyarakat lebih terbantu karena berdasarkan perhitungan pihaknya, biayanya jauh lebih murah, maksimal 50-70 persen dari biaya listrik PLN. Menurut Guntur, iuran Rp20 ribu hingga Rp30 ribu. Memang di siang hari listrik tidak hidup. Tetapi di tengah banyaknya desa-desa di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara yang masih gelap karena belum dialiri listrik PLN, maka listrik PLTMH di 11 desa di kecamatan Sibolangit sangat membantu warga setempat kala itu.

“Kalau mau dihidupkan di hari-hari tertentu karena ada kegiatan yang penting, tetap bisa dihidupkan. Semuanya tergantung kesepakatan warga desa setempat dan diatur dalam peraturan desa,” kata Guntur.

Selain menagih iuran listrik dan melakukan perawatan PLTMH, pengurus Kelompok Pengelola PLTMH juga yang bertanggungjawab terhadap pemasangan sambungan listrik baru ke rumah pelanggan.

Untuk biaya pemasangan, pengurus memberlakukan harga yang berbeda yakni jika warga Desa asli biaya pasang baru sebesar Rp900 ribu dan jika dari desa tetangga membayar Rp1,5 juta.

“Biaya ini sudah termasuk kabel sambungan dari tiang listrik ke rumah warga sepanjang 25 meter dan MCB. Jika kabel lebih dari 25 meter, maka kelebihannya menjadi tanggungjawab pelanggan,” kata Enda.

Ia mengakui iuran Rp30 ribu sebenarnya pas-pasan untuk kebutuhan operasional PLTMH di Desa Negeri Gugung yang mencakup honor operator dan perbaikan kerusakan ringan fasilitas PLTMH. Jika terjadi kerusakan berat, maka dana dari iuran tidak akan mencukupi.

“Tahun 2004 parit irigasi rusak karena longsor Dan tahun 2015 kami harus keluar uang Rp50 juta untuk perbaikan bendungan yang jebol. Pernah juga dinamo mesin PLTMH tersambar petir. Kalau kerusakan sudah besar seperti ini, biasanya warga bergotong royong lagi mengumpulkan dana tambahan untuk memperbaikinya,” ungkap Enda.

Tulisan ini merupakan Fellowship Liputan Khusus Energi yang diberikan untuk Jurnalis dari Greenfaith Indonesia bekerjasama dengan Mosaic.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
Doni Hermawan
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us