OU Fest 2024, Kaum Muda Harus Terlibat Konservasi Orangutan

Tapanuli Selatan, IDN Times – Konservasi menjadi cara yang bisa dilakukan untuk penyelamatan orangutan sebagai satwa paling terancam punah. Metodenya pun kini bisa dilakukan dengan banyak cara.
Millennials dan Generasi Z memiliki peran penting dalam upaya konservasi. Menjadi garda terdepan dalam upaya perlindungan satwa yang memiliki gen paling mendekati manusia ini.
Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) punya cara sendiri untuk memberikan pengaruh positif penyadartahuan pentingnya konservasi orangutan terhadap kaum muda. YOSL-OIC menggelar OU Fest 2024 di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.
OU Fest dikemas dalam kegiatan conservation camp dengan melibatkan lebih dari 100 orang generasi muda. Dalam kegiatan yang digelar mulai 23-25 Agustus 2024 itu, para peserta mendapatkan berbagai pemahaman tentang konservasi.
OU FEST sendiri diselenggarakan untuk memeringati Hari Orangutan Internasional yang jatuh pada 19 Agustus setiap tahunnya. Tahun ini, tema yang diusung adalah Love for Orangutan. Dari Sumatera Utara, para pegiat konservasi orangutan dan habitatnya, berfokus pada tema Love from Tapanuli. Ini mengingatkan tentang Orangutan Tapanuli sebagai sebagai spesies yang baru diumumkan pada 2017 lalu. Setelah diumumkan, satwa bernama latin pongo tapanuliensis ini langsung dinyatakan terancam punah.
1. YOSL – OIC ingin kaum muda punya pemahaman konservasi sejak dini

Direktur YOSL-OIC Syafrizaldi mengatakan, kegiatan ini memang menyasar kaum muda sebagai agen konservasi yang baru. Kata Aal –sapaan akrabnya--, penyadartahuan kepada generasi millenial menjadi salah satu metode efektif dalam upaya konservasi.
“Pemahaman yang mereka dapat akan tertanam di alam bawah sadar. Ketika kelak mereka menempati pos-pos penting seperti kelak menjadi kepala dinas, bekerja di perusahaan, menjadi penulis dan lainnya, pemahaman tentang konservasi itu sudah ada. Pesan itu akan dibawa sampai mereka tua,” kata Aal kepada IDN Times, Minggu (25/8/2024).
2. Optimis kaum muda bisa bikin gebrakan untuk konservasi

Aal bercerita bagaimana pengalamannya bisa terlibat dalam dunia konservasi. Dia mendapatkan pemahaman tentang konservasi pada usia muda. Bagi Aal, tanpa sadar, ini merubah cara pandang hingga cara berpikir dirinya.
“Jadi ketika saya bertemu dengan siapapun itu mengobrol tentang konservasi. Mau dengan orang pemerintahan, non pemerintahan, kita berbicara konservasi. Ini yang membuat OIC, mendorong, generasi muda untuk bicara kobservasi sejak dini,” kata Aal.
YOSL-OIC optimis, kaum muda bisa bikin gebrakan dalam upaya konservasi. Penyadartahuan sejak dini, kepada kaum muda menjadi investasi penting.
“Sebenarnya, kaum muda ini paham betul bahwa bumi ini cuma satu. Tempat tinggal kita cuma satu. Saya masih optimis, saat ini anak anak muda memikirkan masa depan mereka. Walaupun cara berpikirnya berbeda dengan generasi sebelumnya,” katanya.
3. Meningkatnya pola konsumtif menjadi tantangan pada upaya konservasi

Kata Aal, upaya konservasi masih dihadapkan dengan berbagai tantangan. Salah satunya pola konsumtif manusia yang berimplikasi pada ketergantungan industri. Perkembangan industri yang masif akan membuat kebutuhan lahan meningkat. Lahan-lahan yang harusnya menjadi habitat orangutan, menjadi sasaran industri.
Salah satu industri yang tengah menjadi sorotan adalah kelapa sawit. Pembukaan lahan-lahan baru pada industri minyak kelapa sawit sebagai bahan baku berbagai produk membuat penyempitan pada ruang habitat satwa.
Selain itu, tantangan besar lainnya adalah kasus perdagangan satwa yang masih masif. Melansir data Yayasan Suara Hutan Indonesia (Voice of Forest), ada 10 individu orangutan yang menjadi korban perdagangan mulai 2022 – 2024. Kasus-kasus ini terjadi di Aceh dan Sumatra Utara.
Kata Aal, meretas tantangan konservasi ini bisa dilakukan dengan cara konsolidasi lintas organisasi nonpemerintah (NGO). “Ditambah sinergitas pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Melakukan pengawalan bersama untuk upaya konservasi,” kata Aal.
4. Kearifan lokal di tingkat masyarakat perlu dihidupkan kembali

Aal menyoroti soal kearifan lokal tentang keberadaan satwa liar yang kini mulai hilang di tengah masyarakat. Sebenarnya, kata dia, local wisdom menjadi salah satu upaya konservasi. Khususnya pada masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan.
Di beberapa tempat, kearifan lokal ini masih hidup dan terjaga. Sehingga masyarakat bisa hidup berdampingan dengan satwa liar. Namun, di tempat lainnya ada yang sudah hilang. Dibuktikan dengan konflik antara satwa dengan manusia yang masih terjadi.
“Nah ini juga jadi tantangan tersendiri. Bagaimana kemudian mentransformasikan kesadaran baru bahwa coexistence hidup bersama berdampingan dengan satwa liar itu adalah sesuatu yang biasa. Nah di banyak tempat itu bahkan penerimaan terhadap satwa liarnya sangat bagus. Di beberapa tempat di sini saya menemukan ada orangutan yang bersarang di pohon durian. Dan itu dibiarkan oleh masyarakat,” kata Aal.
Aal pun berpesan kepada kaum muda. Upaya konservasi bisa dilakukan dengan banyak metode. Pada era kekinian, gadget bisa dimanfaatkan dengan membuat kampanye upaya perlindungan terhadap orangutan.
“Gadget mereka sangat berfungsi. Media sosial sangat membantu sekarang. Anak-anak muda harus menjadi garda terdepan upaya konservasi dengan metodenya sendiri,” imbuhnya.
5. Para peserta senang bisa dapat pemahaman tentang konservasi

OU Fest mendapat sambutan baik dari para peserta. Mereka terkesan, karena selama ini belum memahami apa itu sebenarnya konservasi.
Ihsan, salah satu peserta mengatakan, OU Fest mengajarkan dirinya banyak hal. Salah satu yang paling membekas adalah pemahaman tentang bagaimana upaya evakuasi orangutan yang menjadi korban konflik.
“Saya bisa mendapatkan pemahaman tentang penyelamatan orangutan. Saya berharap, acara seperti ini bisa terus dilakukan secara rutin,” katanya.
Sakura, dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendikia Tapanuli Selatan mendapat kesan mendalam saat mengikuti OU Fest. Sebagai siswi yang punya hobi menulis, dia mendapatkan inspirasi baru. Dia ingin, hobinya itu bisa menjadi bagian dari upaya konservasi orangutan.
“Ini menjad inspirasi dan semangat baru. Kami jadi lebih menyadari akan pentingnya alam. Khususnya orangutan sebagai satwa terancam punah,” kata Sakura.
OU Fest sendiri diinisiasi oleh YOSL-OIC sebagai organisasi yang selama ini menaruh konsentrasi pada perlindungan orangutan. Acara ini dilaksanakan oleh Sahabat Alam Lestari Indonesia (SALI) yang didukung oleh banyak lembaga dan kolaborator; KEHATI, The Body Shop, Konservasi Indonesia dan Voice of Forest.