Konflik Agraria di Sumut, Tanah Eks HGU Kerap Jadi Pemicu Masalah

dan, IDN Times - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merupakan organisasi yang bergerak mendampingi bukan dari sisi advokasi hak atas tanahnya melainkan advokasi hak asasi manusia di Indonesia.
Di beberapa tahun belakangan ini, kontraS lebih mengadvokasi dampak peristiwa penggusuran atau dari konflik agraria. Dalam penggusuran biasanya terjadi kekerasan, KontraS masuk mengadvokasi kasus-kasus yang berkaitan dengan penggusuran paksa dan kekerasan aparat keamanan.
Karena dapat dikategorikan menjadi sumber masalah, dari peristiwa penggusuran paksa itu KontraS bergerak mengadvokasi masyarakat yang berada di situasi konflik agraria.
Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis mengakan konflik agraria masih menjadi persoalan esensial di Sumatera Utara.
“Terkait situasi konflik agraria di Sumatera Utara, setidaknya saya kira kita bisa mengkategorikan itu jadi beberapa sumber masalah,” ujarnya.
Ibarat benang kusut, konflik agraria di Sumatera Utara sulit diurai bahkan semakin menumpuk dan belum ada penyelesaian yang efektif.
1. Konflik Eks HGU PTPN II

Seluas 5873,06 hektar tanah Eks Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II menjadi permasalahan sengketa tanah menjadi konflik yang menonjol saat ini. Artinya ada lahan yang dulunya jadi HGU setelah habis masa berlakunya maka tanah itu jadi eks HGU, kemudian ada mekanisme yang dikembalikan ke negara dan ada mekanisme penyelesainya.
“Yang pertama di atas tanah tanah eks HGU, yang paling menonjol adalah eks HGU di PTPN II ada 5873,06 hektar tanah eks HGU yang sampai hari ini jadi persoalan dan selalu aja menimbulkan angka konflik di lapangan,” kata Amin.
2. Konflik tumpang tindih HGU di atas tanah

Selain itu Amin juga menyebutkan, izin HGU yang tumpang tindih akhirnya juga memicu konflik agraria. Secara geografis konflik seperti itu berpotensi dijumpai pada wilayah pantai timur Sumatera yang merupakan wilayah perkebunan dan tambang.
“Persoalan di Sumatera Utara disebabkan di tanah-tanah yang ada HGU-nya, artinya ada tumpang tindih HGU di atas tanah itu. Dalam artian disatu sisi perusahaan menganggap bahwa mereka punya hak secara kuat bahwa mereka memiliki HGU tadi, tapi di sisi lain HGU masyarakat yang ada di wilayah itu keberatan dengan terbitnya HGU. Dari geografis konflik kayak gini bisa kita lihat di wilayah pantai timur Sumatera yang menjadi wilayah perkebunan dan tambang potensial,” katanya.
3. Konflik kawasan hutan

Menurut Amin, kawasan hutan juga bisa menjadi konflik ditengah tengah masyarakat. Ada banyak kawasan melalui izin konsesi dikelola oleh perusahaan tertentu tapi di sisi lain masyarakat menganggap bahwa itu hutan adat mereka.
“Wilayah ulayat dan sebagainya atau ada persoalan persoalan yang sifatnya lebih di konflik horizontal, terkait pengelolaan perhutanan sosial ditengah tengah masyarakat. Jadi semenjak ada aturan di perhutanan sosial masing masing kelompok masyarakat dan kelompok tani itu bisa membentuk kelompoknya untuk mengelola perhutanan sosial. Itu juga menimbulkan persoalan konflik di tengah tengah masyarakat,”katanya.
4. Konflik program pembangunan strategi nasional

Proyek strategi nasional (PSN) juga dinilai menjadi konflik agraria, akibat proses pengadaan tanah untuk pembangunan infrastuktur. Salah satunya pembangunan di kawasan Danau Toba masyarakat Adat Sigapiton.
“Konflik-konflik agraria yang asalnya akibat program pembangunan strategi nasional gitu, ada program pembangunan strategi nasional yang dibangun di Sumtera Utara seperti di kawasan Danau Toba, pembangunan jalan tol, pembangunan pelabuhan dan sebagainya juga selalu menimbulkan konflik konflik ditengah tengah masyarakat,” ujar Amin.
5. Konflik di atas lahan Kebun Plasma

Amin menambahkan perusahan perkebunan sawit harus menyediaan plasma untuk masyarakat sekitar, karena plasma diatur oleh undang undang. Konflik perkebunan plasma terjadi sering di pantai barat Sumatera yaitu di Mandailing Natal.
“Ada aturan yang menyatakan bahwa setiap perusahan perkebunan yang beroperasi perkebunan sawit juga harus membangunkan plasma 20 persen untuk masyarakt setempat. Nah itu sering terjadi konflik belum adanya realisasi kebun kebun plasma sebelum nya yang dijanjikan oleh perusahan dan yang diatur oleh undang undang. Pantai barat Mandailing Natal misalnya konflik perkebunan plasma terjadi konflik hal yang umum dsana,” tandasnya.