Kata BAKUMSU, Ini 3 Alasan Kenapa Publik Harus Menolak UU TNI

Medan, IDN Times - DPR RI resmi mengesahkan Revisi UU TNI No. 34 Tahun 2004 menjadi UU TNI pada Kamis (20/03/25). Pengesahan itu dilakukan di tengah gelombang protes dari masyarakat sipil dan mahasiswa. Jamak pihak khawatir bahwa revisi ini akan membuka kembali jalan bagi dwi fungsi ABRI yang pernah ditolak keras pada era Orde Baru.
Selain itu, pembahasan yang dilakukan secara tertutup juga memunculkan berbagai pertanyaan terkait transparansi dan kepentingan di baliknya. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU) membeberkan tiga alasan kenapa revisi UU TNI ini mendapat penolakan luas. Simak guys!
1. Proses pembahasan tidak transparan dan diduga cacat prosedur

Direktur Eksekutif BAKUMSU Juniaty Aritonang dalam keterangan tertulisnya mengatakan, pengesahan revisi UU TNI dianggap dilakukan dengan tergesa-gesa dan tanpa melibatkan partisipasi publik.
Revisi ini bahkan tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025. Namun, DPR tetap membahasnya secara diam-diam di sebuah hotel mewah, bukan di kantor resmi yang telah disediakan negara. Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011.
“Masih banyak RUU yang pengesahannya telah lama dinantikan oleh masyarakat, diantaranya RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Pembahasan dan pengesahan Revisi RUU TNI yang serba cepat ini mengindikasikan bahwa revisi RUU TNI ini sarat dengan kepentingan politik pemerintah, terlebih karena Presiden Prabowo berlatar belakang tentara,” kata Juni, Senin (24/3/2025).
Ditambah lagi, naskah revisi tidak dipublikasikan secara terbuka, sehingga publik sulit mengakses informasi mengenai perubahan yang dilakukan.
Pembahasan RUU TNI di hotel mewah ini juga bertolak belakang dengan kebijakan efisiensi anggaran yang baru diberlakukan oleh Presiden Prabowo. DPR RI punya kantor sendiri yang telah dibiayai negara khusus untuk merumuskan perundang-undangan, tidak selayaknya menggunakan ruang lain yang akan menambah pengeluaran negara.
Selain itu, pembahasan RUU TNI di hotel mewah ini dinilai melanggar asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam kepentingan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999. Menurut ICW, anggaran yang dihabiskan dalam pembahasan RUU TNI ini hingga mencapai Rp.1,2 M.1 Jika benar demikian, maka ada potensi pelanggaran terhadap asas-asas yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mensyaratkan pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung-jawab.
2. Potensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI

Salah satu kekhawatiran terbesar dari revisi ini adalah semakin luasnya peran TNI dalam ranah sipil. Revisi Pasal 7 UU TNI menambahkan tugas baru bagi TNI dalam menanggulangi ancaman siber, padahal isu ini sebelumnya ditangani oleh lembaga sipil seperti Badan Siber dan Sandi Negara serta Kominfo.
“Hal ini juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang misalnya pemantauan berlebihan terhadap warga sipil atas dalih keamanan, hingga ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan hak privasi warga negara,” katanya.
Selain itu, revisi Pasal 47 memperluas jumlah kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh perwira aktif TNI, dari 9 menjadi 15. Hal ini dikhawatirkan semakin menguatkan pengaruh militer dalam pemerintahan sipil, yang bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi.
Bahkan, pasal 47 ayat (2) versi revisi membuka ruang sipil seluas-luasnya untuk TNI. “Hal ini jelas memperkuat dugaan akan menguatnya militerisme di Indonesia kedepa,” katanya.
3. Berisiko meningkatkan intimidasi terhadap masyarakkat sipil
Selain menambah pengaruh TNI dalam ranah pemerintahan sipil, RUU TNI ini juga tetap mempertahankan struktur komando teritorial (Kodam, Korem, Kodim, Koramil, Babinsa), yang diketahui struktur ini dalam sejarah memungkinkan ABRI (TNI) memiliki pengaruh langsung di berbagai lapisan masyarakat, baik dalam urusan keamanan maupun politik hingga sekarang.
Patut dikhawatirkan intervensi komando teritorial ini akan semakin menguat terhadap masyarakat sipil sebab Presiden Prabowo diduga akan menambah 22 Kodam baru di wilayah provinsi di Indonesia, di mana menurut pernyataan KSAD pada tahun 2025 ini akan menambahkan 5 Kodam lebih dulu.
Melalui struktur komando teritorial, ABRI (TNI) tidak hanya menjalankan fungsi pertahanan, tetapi juga turut campur dalam aspek politik dan pemerintahan, ekonomi, dan sosial masyarakat.
“Dalam praktiknya selama ini, pejabat militer ataupun purnawirawan (yang memiliki pengaruh) kerap menduduki posisi strategis di pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, BUMN, dan lainnya, atau diduga dapat mengintervensi kebijakan yang ada di wilayah atau daerah,” tukasnya.
BAKUMSU menuntut dan mendesak DPR RI harus mencabut dan membatalkan Pengesahan RUU TNI. Mereka juga mendesak TNI tidak boleh dilibatkan dalam penyelesaian konflik agraria yang seharusnya menjadi ranah sipil.
“Keterlibatan TNI dalam konflik lahan berpotensi melanggengkan intimidasi dan kekerasan terhadap masyarakat yang berjuang mempertahankan hak atas tanahnya,” ungkapnya.
BAKUMSU juga mendorong seluruh elemen masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa menolak RUU TNI yang mengancam demokrasi, kebebasan sipil, dan reformasi yang telah diperjuangkan pasca-1998.